Toga Sinaga: Toga Situmorang Jadi Adik dan Kakak

Ada yang terasa mengusik ketika penulis sekali waktu berkunjung ke salah satu toko buku di Pematang Siantar. Peristiwa itu sudah lama sekali, sekitar awal tahun 1990-an silam. Sambil berjalan perlahan, saya teliti dan baca  judul  buku yang tersimpan di etalase satu  per satu. Sekilas terlihat sebuah buku tentang tarombo dan adat Batak, lalu saya minta pelayan toko untuk mengambilnya.  Saya mulai dengan membaca daftar isi kemudian membalik lembar halaman demi halaman. Sebagai orang Batak sudah seharusnya mengetahui sedikit banyak tentang adat istiadat maupun tarombo Batak— itulah yang terbersit dalam pikiran saya ketika itu.

Tiba di halaman yang memuat silsilah si Raja Lontung, terlihat ada yang tidak pas dengan urutan nama keturunannya disana. Anak pertama tercantum Toga Situmorang lalu diikuti  Toga Sinaga, Toga Pandiangan sampai dengan Toga Siregar. Setahu saya—demikian informasi yang saya dapat dari orangtua maupun beberapa tokoh adat Batak—anak sulung dari si Raja Lontung adalah Toga Sinaga. Ternyata penempatan urutan yang keliru juga terdapat pada beberapa situs tarombo Batak saat ini. Yang lebih aneh, posisi Toga Simatupang dan Toga Siregar pun ikut tertukar mengakibatkan Toga Siregar menjadi anak kelima dan Toga Simatupang menjadi anak ketujuh.

Nama anak-anak si Raja Lontung dari yang tertua hingga termuda menurut beberapa literatur maupun praktek dalam pelaksanaan adat Batak sehari-hari adalah:

  • Toga Sinaga
  • Toga Situmorang
  • Toga Pandiangan
  • Toga Nainggolan
  • Toga Simatupang
  • Toga Aritonang
  • Toga Siregar

Boru si Raja Lontung ada dua orang yaitu,

  • Si Boru Anakpandan—kawin dengan marga Sihombing
  • Si Boru Panggabean—kawin dengan marga Simamora

Sebenarnya apa yang menyebabkan sehingga silsilah keturunan si Raja Lontung  bisa berobah dan dibolak-balik seperti itu? Mestinya ada penjelasan atau klarifikasi dari para tokoh adat agar tidak menimbulkan kebingungan bagi anak cucu keturunan si Raja Lontung sendiri. Mereka tidak selalu terusik oleh pertanyaan seputar siapa sebenarnya anak sulung dari si Raja Lontung—Toga Sinaga atau Toga Situmorang? Apabila kekeliruan ini tidak diluruskan, kuatir akan timbul perdebatan berlarut-larut yang seharusnya tidak perlu. Sangat diharapkan, para  penulis buku maupun situs tarombo Batak betul-betul paham tentang silsilah keturunan si Raja Lontung sehingga apa yang diinformasikan tidak malah memperkeruh suasana.

Sebenarnya, pertanyaan yang belum terjawab tuntas ini tidak terlepas dari peristiwa kelam di masa silam dan gemanya terus bergaung hingga sekarang. Si Raja Lontung mempunyai putera tujuh orang serta puteri dua orang. Anak sulung—anak yang lahir terdahulu (dalam bahasa Batak disebut Buha Baju)—adalah Toga Sinaga.  Kemudian lahir  Toga Situmorang lalu disusul oleh adik-adik yang lain sesuai urutan tadi. Seiring dengan perjalanan waktu, anak-anak itu tumbuh menjadi dewasa sehingga sudah pantas untuk berumah tangga. Orangtua tentu saja mengharapkan agar Sinaga selaku anak tertua menikah lebih dahulu, baru disusul oleh adik-adiknya.

Sebagaimana lazimnya dalam sebuah keluarga, si Raja Lontung dan isteri memberi kesempatan sepenuhnya kepada Sinaga untuk mencari dan menemukan sendiri jodohnya. Hari demi hari pun berlalu dan   keluarga sudah bersabar menunggu cukup lama. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata Sinaga kelihatan adem ayem saja. Dia seolah-olah  tidak merasa terusik dengan urusan berumah tangga, padahal usianya sudah tidak terbilang muda lagi. Atau, barangkali belum juga ketemu perempuan yang cocok, yang bisa meluluhkan hatinya yang keras? Waktupun berjalan terus, usia Sinaga—begitu pula adik-adiknya—semakin bertambah. Dalam istilah Batak, Sinaga dijuluki “Doli-doli Jerman”, artinya orang sudah berumur tetapi belum berumah tangga.

Akhirnya Situmorang tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi. Terlebih dia sudah punya calon yang dinilai cocok dan mau diajak menikah. Lalu dia mengambil inisiatip dengan mengemukakan niatnya untuk menikah lebih dahulu melangkahi kakaknya. Si Raja Lontung dengan rasa berat hati terpaksa meluluskan permintaan anak keduanya ini. Dia kuatir anak-anaknya yang lain akan terhambat untuk menikah kalau menunggu lebih lama lagi. Lalu bagaimana pula reaksi Sinaga tentang rencana pernikahan adiknya ini? Ternyata bagi dia tidak masalah. Dia mempersilahkan adiknya untuk menikah lebih dahulu.

Akhirnya Situmorangpun jadi menikah. Isteri Situmorang ini mempunyai seorang adik perempuan yang cantik rupawan. Sebagai seorang adik, dia sering datang berkunjung ke rumah kakaknya Situmorang. Melihat kecantikannya, Sinaga amat terpesona dan lama-lama mulai tertarik. Dia amat mengagumi perempuan itu sehingga perlahan tapi pasti, bibit cinta mulai bersemi. Ternyata Sinaga tidak bertepuk sebelah tangan. Pernyataan cinta yang dia ungkapkan diterima dengan tulus oleh wanita yang  masih tergolong “anggiboru” ini, dimana dalam tradisi Batak  hubungan seperti ini adalah merupakan suatu tabu. Tetapi, kalau namanya cinta sudah melekat mau bagaimana lagi?

Singkat cerita, Sinaga pun akhirnya menikah dengan wanita pilihannya—adik dari isteri Situmorang, adiknya sendiri.  Pernikahan ini sudah barang tentu ditentang oleh pihak keluarga, baik dari pihak Sinaga maupun isterinya sendiri. Disamping tidak diperkenankan oleh adat karena tabu, pernikahan ini sudah pasti akan mengacaukan jalannya “partuturon”, yakni hubungan kekerabatan antar keluarga. Tampaknya pernikahan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari perdebatan tentang siapa yang lebih tua antara Sinaga dan Situmorang yang terus berkelanjutan hingga saat ini.

Apakah konsekwensi dari pernikahan Sinaga ini dalam hubungan kekerabatan selanjutnya dengan adiknya Situmorang? Bila dilihat dari garis isteri, kedudukan Situmorang memang sepantasnya dituakan karena isterinya lebih tua dari isteri Sinaga yang masih saudara kandung. Setiap mengikuti acara adat yang berlangsung di pihak hula-hula, status Sinaga sebagai pariban dari Situmorang harus rela diperlakukan sebagai adik  karena isterinya lebih muda. Tetapi  kalau dari garis si Raja Lontung, sampai kapanpun anak sulung tetaplah Sinaga karena dia lahir terlebih dahulu.

Semasa bermukim di Pematang Siantar hingga akhir 1996, penulis amat terkesan dengan apa yang dilihat dan dialami setiap mengikuti jalannya acara adat Batak. Pembagian “jambar” (sepotong daging merupakan simbol penghormatan) untuk keturunan si Raja Lontung selalu diserahkan satu persatu, tidak boleh dilakukan sekaligus secara simbolis. Sebelum penyerahan, protokol akan berseru lantang, “Tu sude pomparan ni si Raja Lontung, hupasahat hami ma jambar tu hamu (kepada keturunan si Raja Lontung, kini akan disampaikan “jambar”): Sinaga!  Situmorang! Pandiangan! Nainggolan!  Simatupang! Aritonang! Siregar!” Lalu satu per satu yang mewakili datang untuk menerima jambar masing-masing. Ketika dipanggil, sama sekali tidak ada yang protes. Semua berjalan dengan damai, dan tentu saja ini sangat melegakan!

.

Surabaya, 31 Agustus 2009 – Oleh Farel M. Sinaga