Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 4

Setiap menaiki 10 anak tangga langsung berhenti. Lalu jari tangan saya lipat 1. Demikian kulakukan seterusnya. Tiap 10 anak tangga lantas berhenti lalu melipat jari lagi satu.  Tepat pada anak tangga ke-40 seorang anak gadis tampak berdiri. Dia lagi istirahat sambil bersandar pada tiang tangga. Napasnya tersengal-sengal kelelahan. Tiba disini, mau tak mau aku harus berhenti.  Kalau tidak hasil perhitungan bisa buyar. Terlihat jelas dia protes ketika saya memaksakan diri untuk berhenti.

Begitu saya berhenti sehingga harus berdiri berdesakan, lalu dia bilang:

“Aduh, Paaak! Koq berhenti disini, sempit sekali. Bapak tolong naik ke atas saja!” Maksudnya anak tangga ke-41. Langsung aku pasang aksi, seolah-olah tidak tahan lagi.

“Sorry!  Tidak tahan lagi, Dik. Habis tenaga, nanti malah bisa ambruk disini,” jawab saya pura-pura ngosngosan.

Kelihatan dia bisa terima lalu mengalah. Dia  lantas naik satu tingkat ke anak tangga 41. Dalam hati saya amat berterima kasih. Gadis ini  begitu baik sehingga hitungan  sejauh ini masih fokus. Pada anak tangga  100, seluruh jari tangan saya sudah terlipat. Lalu aku mendongak ke atas. Astaga, ternyata ini masih separuh jalan. Masih ada seratus lebih anak tangga lagi yang harus saya daki. Menyerah? Hoho, tidak! Tak ada istilah untuk menyerah. Lagi pula  puncak sudah di depan mata, dan pekerjaan ini akan segera berakhir.

Kini kesepuluh jari tangan sudah terlipat. Kalau ada orang memperhatikan kelakuan saya pasti merasa geli. Dua-dua tangan terkepal seolah mau main tinju. Tapi, bodo amat!      Sebenarnya saya mampu menapaki 20 anak tangga sekaligus tanpa istirahat. Cuma salah-salah perhitungan bisa buyar dan perjuangan sia-sia. Pada anak tangga 110 seluruh jari diluruskan kembali. Seratus besar kusimpan di otak. Lalu mulai melipat satu jari lagi dari awal. Tiba di anak tangga 200 ternyata jalan masih panjang. Berarti jari harus diluruskan untuk memulai hitungan 210. Kini 200 besar sudah tersimpan aman di otak. Wah, pekerjaan ini cukup asyik dan menantang!

Akhirnya saya lolos ke final pada hitungan 51. Berarti seluruh anak tangga ada 251 buah. Tentu bisa jadi bahan cerita dengan teman-teman setiba di Surabaya nanti. Atau, bahkan ke anak cucu. Siapa tahu kalau diberi usia panjang? Tiba di atas saya langsung terduduk. Capek baru terasa setelah tujuan tercapai. Tadi semangat begitu bergelora sehingga tak terpikir sama sekali bahwa pendakian ini merupakan suatu pekerjaan berat. Rasa ingin tahu melihat kawah kutahan dulu untuk menenangkan diri sambil menunggu tenaga pulih kembali.

Tak lama rasa letihpun hilang. Mataku mulai mencari posisi teman-teman di bawah sana. Ternyata mereka masih jauh dari tangga. Kini mereka bertiga sudah bergabung dan berjalan bersama. Lalu saya bangkit dan mendekat ke pagar pembatas untuk memandang ke kawah. Tampak asap putih tebal mengepul dari dalam. Lobang kawah sama sekali tidak kelihatan karena tertutup asap. Kucoba memandang dari posisi lain, hasilnya sama. Sudah itu aku mulai mengambil foto-foto. Kumulai dari kawah lalu pemandangan  Lautan Pasir dan Puncak Bromo di kejauhan. Udara saat itu sangat cerah sehingga foto yang dihasilkan cukup bagus.

Asap Putih Mengepul dari Kawah Tengger

Puas mengambil foto saya bersandar lagi pada pagar pembatas sambil memandang ke kawah. Kemudian saya mencari-cari ke bawah tangga, ingin tahu mereka sudah sampai dimana. Ternyata hanya Sudaryadi yang terlihat melangkah naik. Imam dan sopir sedang  berhenti tepat pada pertengahan tangga. Mereka berdua agaknya tidak bersemangat lagi untuk mencapai puncak. Sambil menunggu Sudaryadi, saya bangkit lalu memutar untuk melihat kawah dari sisi lain. Tetapi tidak ada ruang kosong untuk memandang. Sepanjang pagar pengaman dipadati oleh pengunjung yang memandang maupun foto-foto.

Tiba-tiba angin berembus kencang sambil berputar. Asap putih dalam kawah semula tenang lalu terangkat naik dan bertebaran mengenai orang disekitar itu. Mata saya terasa perih terkena asap dan napas sesak. Bau asap belerang itu amat menyengat. Sambil menutup mulut dan hidung aku berlari ke arah tangga. Pengunjung lain juga melakukan hal yang sama. Sudaryadi baru saja tiba ketika saya mau turun. Kuminta dia ikut turun segera karena situasi sekitar kawah cukup berbahaya. Lantas dia ikut turun tanpa sempat melihat kawah, walau sesaat.

Tangga Menuju Kawah Tengger

Sekitar 15 menit berlalu situasi tenang kembali. Rupanya anginnya tidak lama. Meskipun begitu orang-orang tetap saja turun. Sambil turun kami saling mengambil foto di tangga sebagai kenangan. Cukup memprihatinkan, perjuangan Imam dan sopir pada kesempatan berharga ini hanya separuh tangga. Mereka harus rela pulang tanpa menjejakkan kaki di puncak Tengger. Setiba di bawah para penunggang kuda sudah berebutan hendak menyongsong. Tanpa pikir panjang kuputuskan kali ini naik kuda saja. Badan sudah terlalu penat untuk dipaksa jalan kaki. Kupesan empat ekor kuda sambil menanyakan harga. Tawar menawarpun terjadi. Setelah tercapai kesepakatan, kamipun segera naik.

Ternyata naik kuda tidak segampang yang kukira. Sebelum berangkat pemilik kuda memang telah memberitahu cara maupun posisi duduk ketika jalan menurun. Mula-mula  terasa gamang dan sedikit takut. Kuatir ketika sedang menurun sedang di sisi jalan sebelah kiri terdapat lembah. Kalau terjatuh dari kuda saja mungkin tidak begitu berbahaya. Bagaimana kalau kuda tergelincir lalu ambruk ke lembah? Namun perasaan  ini hanya sesaat. Tak lama saya mulai terbiasa dan sedikit tenang. Barangkali pengalaman  menunggang kerbau semasa kecil di kampung halaman di Sarimatondang Kabupaten Simalungun turut membantu.

Setelah bisa mengendalikan diri, pemilik kuda kutanya:

“Mas, sehari bisa berapa kali bolak balik dari bawah ke atas?”

“Yah, kalau banyak pengunjung sampai enam kali bisa.”

“Enam kali? Tidak sedikitpun merasa capek? Kami baru sekali ini saja sudah ampun. Bahkan, ada yang tidak berhasil sampai ke puncak.”

“Sudah biasa, Pak. Sejak kecil sudah terbiasa jalan kesana. Tidak masalah.”

“Ada berapa ekor kuda sewaan disini?”

“Lebih kurang seratus.”

“Kudanya jenis apa?”

“Kuda Sumbawa.”

“Kuda-kuda ini asli dari Sumbawa atau sudah lahir disini?”

“Asli dari Sumbawa. Entah kenapa kuda yang lahir disini tidak kuat dipakai untuk bekerja. Padahal jenisnya sama.”

“Orang Tengger itu sebenarnya ada dimana?”

“Saya salah satunya. Seluruh penunggang kuda disini serta pengemudi mobil Hardtop adalah orang Tengger.”

“Berarti mereka semua termasuk Mas adalah penganut agama Hindu?”

“Ya, benar!”

Dalam hati saya memuji kelincahan dan kekuatan orang ini. Tapi, bila diperhatikan pemilik kuda lainpun memiliki kemampuan sama. Gerakan mereka cukup gesit dan lincah. Postur tubuh memang cocok dengan alam setempat. Tinggi badan umumnya sedang dan perawakan  langsing─bukan berarti kurus. Tak seorangpun kelihatan gemuk. Bisa jadi pengaruh alam yang keras menempa mereka jadi seperti itu. Bagi pendatang, berjalan tanpa membawa apapun harus istirahat sampai beberapa kali. Sebaliknya mereka kelihatan biasa saja. Tetap mantap ketika jalan kaki sambil menuntun kuda bahkan pada jalan mendaki sekalipun.

Foto di Laut Pasir dengan Latar Belakang Puncak Bromo

Lebih kurang setengah jam kemudian kami tiba di mobil. Setelah kumpul, kami berfoto  dengan latar belakang puncak Bromo. Selesai foto langsung menuju  mobil untuk kembali ke hotel. Kami harus gedor-gedor pintu mobil karena ternyata sang sopir lagi tidur nyenyak. Dia segera terbangun sambil minta maaf. Lalu kamipun berangkat. Dalam perjalanan kami ditanya, apakah masih ingin melihat tempat lain sekedar berfoto? Kuminta pendapat teman-teman. Ternyata mereka lebih suka langsung ke hotel saja.

Dalam perjalanan kami melewati rombongan penunggang kuda yang mau pulang. Berjalan beriringan laksana cowboy dalam film Western. Bedanya, mereka tidak pakai topi sombrero. Tampak dua orang penunggang memacu kudanya kencang-kencang di hamparan pasir yang luas. Asyik juga kalau lautan pasir ini dijadikan arena reli maupun ajang lomba pacuan kuda.

Menuju Mobil Mau Balik ke Hotel

Tak sampai satu jam kami sudah masuk perkampungan Ngadisari. Langit kelihatan mendung kehitaman tanda hujan akan turun. Tepat pukul 11.00 kami tiba di hotel. Sisa rekening sewa kenderaan berikut kamar hotel segera kami lunasi. Jam chek-out hotel adalah pukul 13.00, berarti masih ada waktu 2 jam untuk istirahat sambil kemas-kemas. Makan siang kami putuskan dalam perjalanan saja. Sisa roti yang dibeli tadi malam masih banyak tersisa. Cukup untuk menopang perut sebelum tiba waktu makan siang.

Pukul 12.30 kami mulai siap-siap. Seluruh barang-barang kami masukkan dalam mobil. Kami cek ulang sekali lagi memastikan tak ada yang terlewatkan. Setelah semua beres, kami masuk mobil. Belum sempat masuk hujan sudah turun. Memasuki jalan raya sampai keluar perkampungan hujan semakin lebat. Sepanjang jalan arah Probolinggo kabut mulai turun. Gunung sebelah kiri maupun kanan jalan tidak kelihatan sama sekali karena tertutup kabut tebal. Sayang sekali panorama indah pegunungan ini tidak bisa kami nikmati. Tiba di kota Probolinggo hujan baru reda. Bahkan kontras dengan apa yang kami alami barusan. Kini kami melaju di bawah terik matahari dan jalan sedikit berdebu.

Sebelum kota Pasuruan kami berhenti di depan sebuah restoran untuk makan siang. Mobil travel tumpangan Sudaryadi rupanya sering singgah disini sepulang dari Denpasar. Restoran itu cukup bagus dan bersih. Pelayanan cukup prima. Masakan juga lezat terutama tempe goreng yang dipotong agak besar. Ketika disuguhkan masih terasa panas. Harus menunggu sejenak sebelum bisa dilahap. Lupa nama restoran itu, tetapi agaknya cukup terkenal. Mobil yang singgah banyak pakai plat luar daerah Pasuruan. Ada dari Bali, Surabaya, Mojokerto, Semarang, bahkan dari Jakarta. Tetapi yang pasti meski sudah payah mencari-cari, plat BK asal daerah saya di Sumatera Timur tidak ada.

Habis makan kami melanjutkan perjalanan. Situasi dalam perjalanan lancar, tidak ada kendala. Masuk Gempol jalan mulai tersendat. Terdapat antrian kenderaan cukup panjang. Penyebab kemacetan bisa ditebak, pasti akibat tertahan di sekitar danau lumpur Porong Sidoarjo. Lambatnya arus kenderaan menyebabkan kebosanan dan rasa kantuk. Tambahan lagi baru makan siang, biasanya jam begini sudah tidur sebentar. Cuma kami tak berani tidur, takut sopir ikut mengantuk. Imam yang duduk di depan berusaha tetap terjaga. Sekali-sekali dia mengajak sopir mengobrol. Bagaimana pula Sudaryadi? Sobat ini dari tadi sudah mimpi. Kelihatan lelap sekali, tak ingat apa-apa lagi.

Tepat di Pujasera pinggir jalan tol kami berhenti. Mau istirahat sebentar sambil minum kopi. Teman-teman ambil kesempatan untuk merokok. Ada setengah jam lebih kami disana. Tepat pukul 15.30 kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari tol lalu langsung masuk Surabaya. Saya diantar lebih duluan ke rumah. Begitu saya turun mereka pamit, bilang mau langsung pulang. Tampaknya Imam  tak sabaran lagi mau ketemu si Kecil di rumah.

Tiba di kamar, tubuh terasa lunglai akibat kelelahan. Tidak lama saya terlelap. Tidur nyenyak sampai malam. Dalam tidur saya bermimpi menulis status di Facebook: “Pulang dari perjalanan ke Bromo, kini badan pegal linu. Selamat malam sahabat, semoga mimpi indah. Mau oleh-oleh dari sana? Sebentar gua kirimkan, pokoknya sip, deh!” Tiba-tiba saya terbangun, kaget. Mimpi koq menulis status. Janjikan oleh-oleh lagi. Oleh-oleh apaan? Hm… barangkali sharing bisa juga, sekedar bagi-bagi pengalaman. Wah, benar-benar sudah terobsesi dengan Facebook!

Surabaya, 14 Desember 2009 – Oleh Farel M. Sinaga

Sial, Tiket Kereta Api Habis

Minggu, 9 Agustus 2009 di Jakarta. Habis kebaktian di gereja saya dan anak-anak langsung pulang ke rumah. Soalnya sore ini saya musti balik ke Surabaya. Tiba di rumah, istirahat sebentar lalu mulai kemas-kemas. My lovely daughter, Christy mulai sibuk dengan tugas rutin di dapur setiap saya mau berangkat ke Surabaya. Biasalah, menyiapkan makanan buat bekal saya nanti selama di perjalanan. Maria langsung tidur karena semalam agaknya kurang tidur sehingga mengantuk berat. Anak ini memang seorang penderita insomnia—susah tidur. Si bungsu Ari mulai browsing internet mau lihat-lihat status di Facebook. Mama anak-anak? Tadi terpaksa ditinggal di gereja karena harus ikut latihan paduan suara kelompok wanita sehingga datang  menyusul belakangan.

Jam 15.30 berangkat dari rumah. Saya diantar oleh Daniel, anak saya yang sulung. Kami ambil  jalan pintas lewat Cimanggis untuk menghindari kemacetan di Jalan Alternatif Cibubur. Entah kenapa, setiap Minggu sore kenderaan selalu tersendat disini sebelum masuk tol Jagorawi. Selama dalam perjalanan menuju pintu tol Cimanggis lancar-lancar saja, tidak ada hambatan apa-apa. Masuk tol Jagorawi tiba-tiba mobil langsung dipacu dengan kecepatan tinggi. Terus terang saja, kalau anak ini yang menyetir saya tidak bisa tenang selama di perjalanan. Main tekan gas seperti dikejar setan saja, bukan main!

Biasanya saya menunggu kereta api di stasiun Jatinegara. Tapi kali ini harus ke stasiun Gambir karena saya belum memiliki tiket. Penjualan tiket hanya ada di stasiun Gambir untuk tujuan Surabaya. Jam 17.30 kami tiba di stasiun, saya langsung buru-buru ke loket. Sialan, ternyata tiket kereta api Gumarang sudah habis. Padahal ini bukan musim libur, koq bisa habis secepat itu? Saya mulai celinguk-celinguk kiri-kanan, mana tahu ada yang membatalkan tiket atau calo barangkali. Ternyata tidak ada! Mau bagaimana lagi, kali ini terpaksa beli tiket berdiri. Kereta api Sembrani sebenarnya masih ada untuk keberangkatan jam 18.45, cuma saya takut terlambat tiba di Surabaya.

Dengan berat hati, tiket akhirnya saya beli kendati tanpa nomor tempat duduk. Sialnya harga tiket duduk dan berdiri sama saja, tidak ada pengecualian. Yah, peristiwa seperti ini bukan pertama kali saya alami  selama bertugas di Surabaya. Terlambat beli tiket apalagi musim libur, harus siap menerima resiko seperti ini. Duduk tanpa sandaran di restorasi, nongkrong di gang antara gerbong atau menumpang duduk di ruang istirahat kru selagi kosong sudah pernah saya alami. Dari loket saya langsung menuju ruang tunggu di atas menunggu kereta yang sebentar lagi tiba dari stasiun Kota. Tidak lama kemudian, kereta datang. Saya langsung menuju ruang restorasi dengan buru-buru karena harus berebut tempat duduk dengan penumpang lain yang senasib.

Tapi kalau nasib memang lagi mujur, rezeki itu tidak kemana-mana! Ketika kereta sudah lewat stasiun Jatinegara, seorang petugas restorasi memberitahu bahwa di gerbong 7 ada sebuah tempat duduk kosong. Saya disarankan pindah saja kesana selagi masih kosong. Cuma saya harus siap untuk hengkang kalau ternyata penumpangnya ada. Ini jelas tidak nyaman. Bagaimana lagi duduk tenang-tenang tiba-tiba harus menyingkir, ketika pemiliknya datang. Di depan mata penumpang lain lagi! Malu dong, tapi tidak apalah. Bisa duduk sebentar saja sudah lumayan ketimbang duduk semalaman di restorasi tanpa sandaran tempat duduk.

Tiba di stasiun Cirebon aman, ternyata tempat duduk itu tetap kosong. Begitu pula di Tegal, Pekalongan hingga Semarang. Ya sudah, barangkali ini memang rezeki saya. Bisa jadi tempat duduk itu milik seseorang yang ketinggalan kereta atau membatalkan perjalanan tanpa sempat melapor. Bagi saya, apapun alasannya tidak perlu dipusingkan. Toh saya tidak merugikan atau merebut hak orang lain. Yang jelas, saya bisa duduk enak hingga tiba tepat jam 07.00 di stasiun Pasar Turi Surabaya kendati dengan tiket tanpa tempat duduk.