Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 4

Setiap menaiki 10 anak tangga langsung berhenti. Lalu jari tangan saya lipat 1. Demikian kulakukan seterusnya. Tiap 10 anak tangga lantas berhenti lalu melipat jari lagi satu.  Tepat pada anak tangga ke-40 seorang anak gadis tampak berdiri. Dia lagi istirahat sambil bersandar pada tiang tangga. Napasnya tersengal-sengal kelelahan. Tiba disini, mau tak mau aku harus berhenti.  Kalau tidak hasil perhitungan bisa buyar. Terlihat jelas dia protes ketika saya memaksakan diri untuk berhenti.

Begitu saya berhenti sehingga harus berdiri berdesakan, lalu dia bilang:

“Aduh, Paaak! Koq berhenti disini, sempit sekali. Bapak tolong naik ke atas saja!” Maksudnya anak tangga ke-41. Langsung aku pasang aksi, seolah-olah tidak tahan lagi.

“Sorry!  Tidak tahan lagi, Dik. Habis tenaga, nanti malah bisa ambruk disini,” jawab saya pura-pura ngosngosan.

Kelihatan dia bisa terima lalu mengalah. Dia  lantas naik satu tingkat ke anak tangga 41. Dalam hati saya amat berterima kasih. Gadis ini  begitu baik sehingga hitungan  sejauh ini masih fokus. Pada anak tangga  100, seluruh jari tangan saya sudah terlipat. Lalu aku mendongak ke atas. Astaga, ternyata ini masih separuh jalan. Masih ada seratus lebih anak tangga lagi yang harus saya daki. Menyerah? Hoho, tidak! Tak ada istilah untuk menyerah. Lagi pula  puncak sudah di depan mata, dan pekerjaan ini akan segera berakhir.

Kini kesepuluh jari tangan sudah terlipat. Kalau ada orang memperhatikan kelakuan saya pasti merasa geli. Dua-dua tangan terkepal seolah mau main tinju. Tapi, bodo amat!      Sebenarnya saya mampu menapaki 20 anak tangga sekaligus tanpa istirahat. Cuma salah-salah perhitungan bisa buyar dan perjuangan sia-sia. Pada anak tangga 110 seluruh jari diluruskan kembali. Seratus besar kusimpan di otak. Lalu mulai melipat satu jari lagi dari awal. Tiba di anak tangga 200 ternyata jalan masih panjang. Berarti jari harus diluruskan untuk memulai hitungan 210. Kini 200 besar sudah tersimpan aman di otak. Wah, pekerjaan ini cukup asyik dan menantang!

Akhirnya saya lolos ke final pada hitungan 51. Berarti seluruh anak tangga ada 251 buah. Tentu bisa jadi bahan cerita dengan teman-teman setiba di Surabaya nanti. Atau, bahkan ke anak cucu. Siapa tahu kalau diberi usia panjang? Tiba di atas saya langsung terduduk. Capek baru terasa setelah tujuan tercapai. Tadi semangat begitu bergelora sehingga tak terpikir sama sekali bahwa pendakian ini merupakan suatu pekerjaan berat. Rasa ingin tahu melihat kawah kutahan dulu untuk menenangkan diri sambil menunggu tenaga pulih kembali.

Tak lama rasa letihpun hilang. Mataku mulai mencari posisi teman-teman di bawah sana. Ternyata mereka masih jauh dari tangga. Kini mereka bertiga sudah bergabung dan berjalan bersama. Lalu saya bangkit dan mendekat ke pagar pembatas untuk memandang ke kawah. Tampak asap putih tebal mengepul dari dalam. Lobang kawah sama sekali tidak kelihatan karena tertutup asap. Kucoba memandang dari posisi lain, hasilnya sama. Sudah itu aku mulai mengambil foto-foto. Kumulai dari kawah lalu pemandangan  Lautan Pasir dan Puncak Bromo di kejauhan. Udara saat itu sangat cerah sehingga foto yang dihasilkan cukup bagus.

Asap Putih Mengepul dari Kawah Tengger

Puas mengambil foto saya bersandar lagi pada pagar pembatas sambil memandang ke kawah. Kemudian saya mencari-cari ke bawah tangga, ingin tahu mereka sudah sampai dimana. Ternyata hanya Sudaryadi yang terlihat melangkah naik. Imam dan sopir sedang  berhenti tepat pada pertengahan tangga. Mereka berdua agaknya tidak bersemangat lagi untuk mencapai puncak. Sambil menunggu Sudaryadi, saya bangkit lalu memutar untuk melihat kawah dari sisi lain. Tetapi tidak ada ruang kosong untuk memandang. Sepanjang pagar pengaman dipadati oleh pengunjung yang memandang maupun foto-foto.

Tiba-tiba angin berembus kencang sambil berputar. Asap putih dalam kawah semula tenang lalu terangkat naik dan bertebaran mengenai orang disekitar itu. Mata saya terasa perih terkena asap dan napas sesak. Bau asap belerang itu amat menyengat. Sambil menutup mulut dan hidung aku berlari ke arah tangga. Pengunjung lain juga melakukan hal yang sama. Sudaryadi baru saja tiba ketika saya mau turun. Kuminta dia ikut turun segera karena situasi sekitar kawah cukup berbahaya. Lantas dia ikut turun tanpa sempat melihat kawah, walau sesaat.

Tangga Menuju Kawah Tengger

Sekitar 15 menit berlalu situasi tenang kembali. Rupanya anginnya tidak lama. Meskipun begitu orang-orang tetap saja turun. Sambil turun kami saling mengambil foto di tangga sebagai kenangan. Cukup memprihatinkan, perjuangan Imam dan sopir pada kesempatan berharga ini hanya separuh tangga. Mereka harus rela pulang tanpa menjejakkan kaki di puncak Tengger. Setiba di bawah para penunggang kuda sudah berebutan hendak menyongsong. Tanpa pikir panjang kuputuskan kali ini naik kuda saja. Badan sudah terlalu penat untuk dipaksa jalan kaki. Kupesan empat ekor kuda sambil menanyakan harga. Tawar menawarpun terjadi. Setelah tercapai kesepakatan, kamipun segera naik.

Ternyata naik kuda tidak segampang yang kukira. Sebelum berangkat pemilik kuda memang telah memberitahu cara maupun posisi duduk ketika jalan menurun. Mula-mula  terasa gamang dan sedikit takut. Kuatir ketika sedang menurun sedang di sisi jalan sebelah kiri terdapat lembah. Kalau terjatuh dari kuda saja mungkin tidak begitu berbahaya. Bagaimana kalau kuda tergelincir lalu ambruk ke lembah? Namun perasaan  ini hanya sesaat. Tak lama saya mulai terbiasa dan sedikit tenang. Barangkali pengalaman  menunggang kerbau semasa kecil di kampung halaman di Sarimatondang Kabupaten Simalungun turut membantu.

Setelah bisa mengendalikan diri, pemilik kuda kutanya:

“Mas, sehari bisa berapa kali bolak balik dari bawah ke atas?”

“Yah, kalau banyak pengunjung sampai enam kali bisa.”

“Enam kali? Tidak sedikitpun merasa capek? Kami baru sekali ini saja sudah ampun. Bahkan, ada yang tidak berhasil sampai ke puncak.”

“Sudah biasa, Pak. Sejak kecil sudah terbiasa jalan kesana. Tidak masalah.”

“Ada berapa ekor kuda sewaan disini?”

“Lebih kurang seratus.”

“Kudanya jenis apa?”

“Kuda Sumbawa.”

“Kuda-kuda ini asli dari Sumbawa atau sudah lahir disini?”

“Asli dari Sumbawa. Entah kenapa kuda yang lahir disini tidak kuat dipakai untuk bekerja. Padahal jenisnya sama.”

“Orang Tengger itu sebenarnya ada dimana?”

“Saya salah satunya. Seluruh penunggang kuda disini serta pengemudi mobil Hardtop adalah orang Tengger.”

“Berarti mereka semua termasuk Mas adalah penganut agama Hindu?”

“Ya, benar!”

Dalam hati saya memuji kelincahan dan kekuatan orang ini. Tapi, bila diperhatikan pemilik kuda lainpun memiliki kemampuan sama. Gerakan mereka cukup gesit dan lincah. Postur tubuh memang cocok dengan alam setempat. Tinggi badan umumnya sedang dan perawakan  langsing─bukan berarti kurus. Tak seorangpun kelihatan gemuk. Bisa jadi pengaruh alam yang keras menempa mereka jadi seperti itu. Bagi pendatang, berjalan tanpa membawa apapun harus istirahat sampai beberapa kali. Sebaliknya mereka kelihatan biasa saja. Tetap mantap ketika jalan kaki sambil menuntun kuda bahkan pada jalan mendaki sekalipun.

Foto di Laut Pasir dengan Latar Belakang Puncak Bromo

Lebih kurang setengah jam kemudian kami tiba di mobil. Setelah kumpul, kami berfoto  dengan latar belakang puncak Bromo. Selesai foto langsung menuju  mobil untuk kembali ke hotel. Kami harus gedor-gedor pintu mobil karena ternyata sang sopir lagi tidur nyenyak. Dia segera terbangun sambil minta maaf. Lalu kamipun berangkat. Dalam perjalanan kami ditanya, apakah masih ingin melihat tempat lain sekedar berfoto? Kuminta pendapat teman-teman. Ternyata mereka lebih suka langsung ke hotel saja.

Dalam perjalanan kami melewati rombongan penunggang kuda yang mau pulang. Berjalan beriringan laksana cowboy dalam film Western. Bedanya, mereka tidak pakai topi sombrero. Tampak dua orang penunggang memacu kudanya kencang-kencang di hamparan pasir yang luas. Asyik juga kalau lautan pasir ini dijadikan arena reli maupun ajang lomba pacuan kuda.

Menuju Mobil Mau Balik ke Hotel

Tak sampai satu jam kami sudah masuk perkampungan Ngadisari. Langit kelihatan mendung kehitaman tanda hujan akan turun. Tepat pukul 11.00 kami tiba di hotel. Sisa rekening sewa kenderaan berikut kamar hotel segera kami lunasi. Jam chek-out hotel adalah pukul 13.00, berarti masih ada waktu 2 jam untuk istirahat sambil kemas-kemas. Makan siang kami putuskan dalam perjalanan saja. Sisa roti yang dibeli tadi malam masih banyak tersisa. Cukup untuk menopang perut sebelum tiba waktu makan siang.

Pukul 12.30 kami mulai siap-siap. Seluruh barang-barang kami masukkan dalam mobil. Kami cek ulang sekali lagi memastikan tak ada yang terlewatkan. Setelah semua beres, kami masuk mobil. Belum sempat masuk hujan sudah turun. Memasuki jalan raya sampai keluar perkampungan hujan semakin lebat. Sepanjang jalan arah Probolinggo kabut mulai turun. Gunung sebelah kiri maupun kanan jalan tidak kelihatan sama sekali karena tertutup kabut tebal. Sayang sekali panorama indah pegunungan ini tidak bisa kami nikmati. Tiba di kota Probolinggo hujan baru reda. Bahkan kontras dengan apa yang kami alami barusan. Kini kami melaju di bawah terik matahari dan jalan sedikit berdebu.

Sebelum kota Pasuruan kami berhenti di depan sebuah restoran untuk makan siang. Mobil travel tumpangan Sudaryadi rupanya sering singgah disini sepulang dari Denpasar. Restoran itu cukup bagus dan bersih. Pelayanan cukup prima. Masakan juga lezat terutama tempe goreng yang dipotong agak besar. Ketika disuguhkan masih terasa panas. Harus menunggu sejenak sebelum bisa dilahap. Lupa nama restoran itu, tetapi agaknya cukup terkenal. Mobil yang singgah banyak pakai plat luar daerah Pasuruan. Ada dari Bali, Surabaya, Mojokerto, Semarang, bahkan dari Jakarta. Tetapi yang pasti meski sudah payah mencari-cari, plat BK asal daerah saya di Sumatera Timur tidak ada.

Habis makan kami melanjutkan perjalanan. Situasi dalam perjalanan lancar, tidak ada kendala. Masuk Gempol jalan mulai tersendat. Terdapat antrian kenderaan cukup panjang. Penyebab kemacetan bisa ditebak, pasti akibat tertahan di sekitar danau lumpur Porong Sidoarjo. Lambatnya arus kenderaan menyebabkan kebosanan dan rasa kantuk. Tambahan lagi baru makan siang, biasanya jam begini sudah tidur sebentar. Cuma kami tak berani tidur, takut sopir ikut mengantuk. Imam yang duduk di depan berusaha tetap terjaga. Sekali-sekali dia mengajak sopir mengobrol. Bagaimana pula Sudaryadi? Sobat ini dari tadi sudah mimpi. Kelihatan lelap sekali, tak ingat apa-apa lagi.

Tepat di Pujasera pinggir jalan tol kami berhenti. Mau istirahat sebentar sambil minum kopi. Teman-teman ambil kesempatan untuk merokok. Ada setengah jam lebih kami disana. Tepat pukul 15.30 kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari tol lalu langsung masuk Surabaya. Saya diantar lebih duluan ke rumah. Begitu saya turun mereka pamit, bilang mau langsung pulang. Tampaknya Imam  tak sabaran lagi mau ketemu si Kecil di rumah.

Tiba di kamar, tubuh terasa lunglai akibat kelelahan. Tidak lama saya terlelap. Tidur nyenyak sampai malam. Dalam tidur saya bermimpi menulis status di Facebook: “Pulang dari perjalanan ke Bromo, kini badan pegal linu. Selamat malam sahabat, semoga mimpi indah. Mau oleh-oleh dari sana? Sebentar gua kirimkan, pokoknya sip, deh!” Tiba-tiba saya terbangun, kaget. Mimpi koq menulis status. Janjikan oleh-oleh lagi. Oleh-oleh apaan? Hm… barangkali sharing bisa juga, sekedar bagi-bagi pengalaman. Wah, benar-benar sudah terobsesi dengan Facebook!

Surabaya, 14 Desember 2009 – Oleh Farel M. Sinaga

Dugam, Selamat Jalan Kawan

Namanya Bistok Panggabean berasal dari Sei Rampah Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Menilik nama dan marganya tidak diragukan lagi kalau dia adalah seorang suku Batak dari Silindung di Tarutung. Dia itu adalah teman seangkatan saya ketika diterima menjadi karyawan di Departemen Keuangan dan ditempatkan di seksi DL Tk.I/AKPB Kantor Inspeksi Pajak di Pematang Siantar pada 1 Oktober 1977 silam.

Perawakan tubuhnya gemuk dengan tinggi badan sedang─tidak terlalu tinggi juga tidak  terlalu pendek. Wajahnya selalu kelihatan serius dengan nada suara berat. Sekilas kalau orang baru kenal pasti sedikit kikuk karena mengira dia itu seorang preman melihat rambutnya yang semi gondrong, awut-awutan dan tidak tersisir rapi. Warna kulitnya agak gelap meskipun tidak terbilang hitam sama sekali. Sorot mata tajam dan jarang kelihatan  senyum.

Tetapi kalau sudah mengenal dia lebih lama, orang pasti salah sangka dan merasa kecele. Ternyata dia adalah seorang yang punya selera humor tinggi. Guyonannya sering membuat kami satu ruangan tertawa terpingkal-pingkal. Ada-ada saja istilah baru yang dia ucapkan membuat kami merasa geli. Bila satu hari saja dia tidak masuk kantor, suasana dalam ruangan akan terasa sepi. Tidak ada lagi guyonan khas yang terlontar untuk meramaikan suasana.

Sehari-hari kami panggil dia dengan nama ‘Dugam’ dan  kelihatan  dia amat senang dengan gelar ini. Soalnya kalau marah dia sering mengucapkan kata-kata, “Kudogam pula kau nanti, baru tahu!” Kudogam maksudnya kutinju. Pernah seorang teman bernama Anto marah sekali, lalu menantang dia berkelahi. Pasalnya ketika main sepak bola yang dia cari dan tendang bukan bola, melainkan kaki lawan. Ditantang begitu, apa dia bilang?  “Geger otak kau nanti, To. Tembok saja pecah kalau kudogam, apalagi kepalamu!” Kami segera melerai mereka berdua agar pertengkaran tidak berkepanjangan. Besoknya, kedua orang ini sudah rukun lagi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda dendam di antara mereka.

Di antara teman satu angkatan berjumlah 26 orang di kantor itu, dialah yang pertama sekali memiliki sepeda motor dari hasil keringat sendiri. Sepeda motor itu dia beli bekas pakai (keluaran awal tahun 1970-an), merek Honda warna biru tua pakai dua knalpot. Begitu jual-beli jadi, saringan knalpot langsung dia lepas, stang kemudi dipress sehingga terkesan menyempit dan meninggi. Persis  stang milik  gang sepeda motor yang sering kita lihat dalam  film-film Amerika. Ketika sedang mengendarai motor, posisinya kelihatan seperti bersandar karena stang kemudi agak sempit dan tinggi.

Dari kejauhan ketika terdengar raungan suara motor, orang akan segera tahu siapa yang datang. Itu sudah pasti dia dengan suara knalpot motor yang khas. Sepeda motor dua knalpot tanpa saringan tentu saja menghasilkan suara bising nyaris memekakkan telinga. Sering dia distop oleh polisi lalu lintas di jalan raya karena suara bising ini, tetapi entah kenapa dia selalu bisa lolos. Sekali waktu dia patuh, lalu saringan knalpot dia pasang lagi. Namun tidak berapa lama,  saringan itu kelihatan sudah dilepas lagi.

Pernah kami tanya kenapa saringan knalpot itu dicopot lagi padahal baru saja dipasang. Dia menjawab dengan enteng, “Ah, suara keretaku jadi  pecah, enggak enak didengar. Coba kalau saringan dibuka, suaranya pasti bulat kedengaran. Dari jauh ente sudah tahu kalau saya datang, hanya dengan mendengar suara kereta saya!” Pada umumnya di daerah Sumatera Utara  bilang  sepeda motor adalah kereta, bukan motor sebagaimana di Jawa dan beberapa daerah lain di Indonesia.

Teman saya yang satu ini unik. Kalau dia yang mengendarai sepeda motor dan kita dibonceng di belakang, dia sering tancap gas layaknya seorang  pembalap. Tetapi ketika tiba giliran dia dibonceng, yang dilakukan adalah memegang pinggang kita erat-erat kiri-kanan. Bukan memeluk pinggang sampai perut selayaknya orang ketika dibonceng. Tidak jarang kita malah merasa kegelian karena pinggang dicekal kiri-kanan. Seolah-olah dia siap untuk melompat kalau terjadi apa-apa. Kelihatan sekali dia seperti tidak yakin  kalau kita yang membonceng.

Tetapi coba kalau dia yang pegang kemudi. Kalau kita ingatkan supaya lebih berhati-hati dan jangan terlalu kencang, kita malah kena semprot. “Tenang aja kau diboncengan! Kayaknya kau kurang yakin samaku, ya? Tahu nggak, saya ini dulu bekas pembalap dan sering ngebut ketika masih duduk di SMA Negeri 1 Medan?” jawabnya dengan sedikit membual. Biasanya kalau sudah begini kita lebih bagus  diam saja seraya berdoa dalam hati, supaya tidak terjadi apa-apa selama perjalanan.

Setelah beberapa tahun di Pematang Siantar dia terkena mutasi ke daerah sedang saya masih tetap di kantor induk di Pematang Siantar. Mula-mula dia pindah ke Perdagangan wilayah Kabupaten Simalungun, lalu Sibolga di Tapanuli Tengah, Gunung Sitoli di Nias, Padang Sidempuan di Tapanuli Selatan lalu balik dan kami bertemu lagi di Pematang Siantar. Tetapi itu tidak lama sebab Juli 1993 kami harus berpisah lagi. Kali ini saya yang dipindahkan ke kantor lain tetapi masih di Pematang Siantar.

Kendati sudah pisah kantor, kami masih sering bertemu. Kalau bukan dia yang  datang berkunjung, tentu saya yang datang ke kantornya. Namun sejak saya pindah ke Medan pada Nopember 1996, praktis kami tidak pernah bertemu lagi. Dari Medan saya pindah lagi ke Bengkulu, terus ke Jakarta, dan terakhir di Surabaya. Dia sendiri sudah diangkat dalam jabatan Eselon IV tetapi perpindahannya hanya seputar Pematang Siantar, Kisaran lalu balik lagi ke Pematang Siantar.

Pada 1 September 2008 lalu dia pensiun dari Pegawai Negeri Sipil setelah mengabdi selama lebih kurang 31 tahun. Saya tidak tahu pasti, apa kegiatannya setelah pensiun. Cuma saya betul-betul kaget ketika datang SMS dari seorang teman seangkatan. Dia memberitahu bahwa Dugam telah meninggal dunia di Pematang Siantar akibat  serangan jantung pada Senin, 14 September 2009 lalu dalam usia 57 tahun. Tidak sangka dia pergi secepat itu karena selama ini tidak pernah ada berita yang menyatakan dia sakit.

Pikiran saya melayang kembali jauh ke masa silam sejak kami bertemu hingga melewati hari demi hari selama satu kantor di Pematang Siantar. Masih jelas terbayang ketika kami pernah satu kost di Jl. Ade Irma Suryani. Begitu pula dengan guyonan maupun gerutu kalau dia sedang marah atau jengkel. Tapi ada satu sifat terpuji dari almarhum yang tidak terlupakan. Dia seorang penolong dan selalu siap untuk menolong teman yang lagi mengalami masalah atau kesusahan tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Kini Dugam telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan isteri, anak dan adik  yang dia kasihi. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih mengampuni dosa dan kesalahan yang dia perbuat selama dia hidup. Buat keluarga besar yang ditinggalkan khususnya isteri yang kini telah menjadi orang tua tunggal, diberi oleh-Nya penghiburan agar tidak larut dalam duka berkepanjangan. Dugam, selamat jalan kawan. Kami selalu mengenangmu!

.

Surabaya, 16 September 2009 – Oleh Farel M. Sinaga

.

Nostalgia Masa Lalu dalam Perjalanan Malam

KA GumarangJumat sore, 5 Juni 2009 di kantor. Ditengah kesibukan melakukan tugas rutin  sehari-hari, tiba-tiba mata saya tertuju pada jarum jam di pergelangan tangan. Oh, ternyata sudah pukul 16.30. Berarti harus mulai berkemas-kemas karena harus segera pulang sore ini ke Jakarta. Kubenahi seluruh berkas yang berserakan di atas meja, lalu segera beranjak mandi. Ya, terpaksa mandi di kantor saja, kalau pulang ke rumah  tidak sempat lagi. Barang-barang bawaan telah kusiapkan ketika berangkat dari dari rumah tadi pagi. Tiket kereta api Gumarang untuk keberangkatan jam 17.30 juga telah kusiapkan sebelumnya. Berarti waktu yang tersisa untuk berkemas hanya satu jam  kalau tidak ingin ketinggalan kereta api.

Setelah segalanya siap, tepat jam 16.58 kuturuni anak tangga ke lantai satu. Tiba disana antrian orang-orang yang mau absen finger-print sudah memanjang. Yah, kelihatannya bukan cuma saya yang harus buru-buru. Beberapa rekan sekantor ada juga yang mau berangkat sore ini ke luar kota untuk berkumpul dengan keluarga masing-masing. Tinggal terpisah dengan anak isteri selama lima hari ─ bahkan ada yang lebih ─ jelas tidak menyenangkan. Nah, setiap tiba Jumat sore  tampak rekan-rekan yang semula kelihatan lesu tidak bersemangat, tiba-tiba saja  seakan-akan mendapatkan kekuatan baru untuk memulai perjalanan malam  menuju kota masing-masing.

Taksi yang akan membawa saya ke stasiun telah menunggu di halaman kantor. Seorang petugas cleaning service di kantor telah saya minta sebelumnya untuk memesankan sebuah taksi. Selesai absen langsung buru-buru menuju taksi lalu segera meluncur menuju stasiun kereta api Pasar Turi di Jalan Semarang. Jalan di depan Plaza Surabaya seperti biasa agak tersendat karena lalu lintas padat.  Tetapi itu tidak lama, masuk ke Jalan Gubernur Suryo lalu lintas lancar saja hingga  tiba di Jalan Semarang. Tepat di depan gerbang stasiun, saya minta sopir taksi agar tidak usah masuk ke dalam, karena saya masih punya waktu lima belas menit lagi.

Lewat pintu portir, saya berhenti sebentar di kantin stasiun. Saya siapkan bekal untuk makan malam berupa tiga potong roti dan sebotol  aqua, lalu segera bergegas menuju kereta. Tiba di tempat duduk, saya keluarkan buku dan headset dari tas, kemudian tas saya taruh di bagasi barang. Disamping saya duduk seorang pemuda, lalu kami berbasa-basi sebentar. Dia kelihatan lebih banyak diam sehingga saya mulai pasang perangkat untuk dengar musik lewat ponsel. Kubuka internet di ponsel untuk melihat status teman-teman di facebook, demikian juga email yang masuk. Tapi itu tidak lama, mata saya terasa mulai berat karena mengantuk. Tak lama kemudian saya telah tidur nyenyak.

Tiba-tiba teriakan orang-orang jualan yang naik ke dalam kereta membangunkan saya. Ternyata kami telah sampai di Bojonegoro. Puluhan orang jualan hilir mudik kesana kemari menawarkan barang dagangannya. Saya perhatikan hampir seluruh penumpang ─ dengan sedikit terkantuk-kantuk ─ hanya meng-gelengkan kepala ketika disodori barang. Kelihatan jelas, ada semacam kekecewaan di wajah mereka ketika terdengar peluit tanda kereta harus jalan sedang barang yang ditawarkan tidak ada yang membeli. Satu per satu mereka melompat turun dari kereta yang mulai berjalan perlahan, termasuk ibu-ibu pedagang yang kelihatan juga sudah terlatih untuk itu dan ikut melakukan hal yang sama.  Tidak lama kemudian, suasana sepi lagi dari hiruk pikuk para pedagang asongan. Saya sendiri melayang kembali ke alam mimpi diselingi oleh guncangan gerbong kereta api.

LedZeppelin1Persis ketika intro lagu Stairway to Heaven mulai menggema dari ponsel, saya terbangun. Lagu ini memang salah satu favorit saya yang dibawakan dengan manis oleh grup band asal Inggris ─ Led Zeppelin. Suara merdu vokalis Robert Plant sangat manis dalam melantunkan lagu diiringi petikan gitar Jimmy Page. Bait demi bait saya simak sehingga tanpa sadar ingatan saya kembali ke masa silam. Ya, kembali ke tahun 1974 ketika saya masih kuliah semester tiga di Universitas HKBP Nommensen Medan. Radio-radio amatir top pada masa itu seperti Bonsita, Kardopa dan Echo 541 hampir setiap saat memperdengarkan lagu ini. Lagu Stairway to Heaven diciptakan oleh Jimmy Page pada tahun 1972 dan cukup lama bertengger di puncak tangga lagu-lagu rock ketika itu.

Tahun itu saya indekost di sebuah rumah milik pasangan suami isteri orang Jawa di Jalan Gaharu Medan. Mereka adalah keturunan “pujakesuma” akronim dari Putera Jawa Kelahiran Sumatera. Hidup mereka bersahaja tetapi rukun. Satu buah kamar yang tersisa sengaja disewakan buat para mahasiswa yang ingin tinggal. Nah, di kamar saya ketika itu hanya ada buku-buku, pakaian dan barang-barang tetek bengek lainnya yang masih tergolong kebutuhan primer. Barang-barang elektronik tergolong semi mewah seperti radio atau taperecorder jelas saya tidak punya. Padahal saya sendiri adalah penggemar berat musik, istimewanya musik Rock.

Universitas NommensenTidak jarang saya harus membujuk-bujuk sang ibu kost agar bersedia meminjamkan radio barang sejenak untuk mendengar musik kesukaan saya. Kadang-kadang beliau baik, menaruh radio begitu saja di atas meja makan sehingga bisa dipakai kapan saja. Pada lain kesempatan ─ ini sudah barang tentu  sangat memusingkan ─ radionya disimpan dalam lemari terkunci dan hanya akan dikeluarkan apabila ingin mendengar lagu-lagu keroncong atau lagu India yang menjadi kesukaannya. Jelas saja sangat bertolak belakang dengan musik kesukaan saya. Sering baterai radio sampai saya sediakan sendiri, agar urusan pinjam-meminjam lancar tanpa kendala ─ karena sang ibu kost sering berkilah baterai radio sudah mau habis sementara dia perlu cadangan buat mendengar lagu kesukaannya.

Kembali ke grup band Led Zeppelin tadi. Tepat ketika masih berada pada puncak kejayaannya, tiba-tiba grup ini mengalami petaka dengan kematian tiba-tiba sang drummer andalan, John Bonham pada 1980. Dia ditengarai tewas akibat terlalu banyak menenggak alkohol. John Bonham memang terkenal seorang peminum berat. Dalam setiap perjalanan melakukan konser, sering dia membuat masalah apabila telah mabuk. Pernah dia melempar televisi keluar lewat jendela sebuah hotel dimana mereka menginap.

Kematian sang drummer  membuat grup ini menjadi kelimpungan. Tidak lama setelah peristiwa itu, Led Zeppelin ─ sebuah grup musik rock and blues  yang legendaris ─ akhirnya dibubarkan.  Mereka tidak mau mengambil risiko warna musik yang telah menjadi ciri khas selama ini akan  tercemar apabila  mendatangkan seorang drummer lain dari luar untuk menggantikan almarhum. Dalam bayangan anggota grup yang tersisa, tidak ada seorangpun yang bisa menyamai kehandalan John Bonham dalam urusan menggebuk drum. Peran sang drummer selama ini dinilai telah  menyatu membuat sebuah harmoni yang begitu sempurna dengan Robert Plant, Jimmy Page dan John Paul John.

Dan ini dia! Suara nyaring Robert Plant  terdengar lantang ketika melantunkan refrain diiringi hantaman drum John Bonham, dentuman bas John Paul John dan selingan irama ryhtm Jimmy Page yang begitu sempurna :

and as we wind on the down the road
our shadows taller than our soul
there walks a lady we all know
who shines white light and wants to show
how everything still turns to gold
and if you listen very hard
the tune will come to you at last
when all are one and one is all
to be a rock and not to roll …”

Ya, tidak mengada-ada kalau lagu ini cukup lama bertengger diatas tangga lagu-lagu rock masa itu. Menurut pengakuan Jimmy Page sendiri, inilah lagu terbaik yang pernah dia ciptakan. Ini memang kenyataan, tidak sekedar asbun ─ asal bunyi.

Ketika Robert Plant mengakhiri lagu ini dengan “and she’s buying a stairway to heaven…..,” saya masih termangu-mangu. Ingat pengalaman hidup saya semasa masih menjadi seorang mahasiswa di Medan dengan segala pahit getirnya. Tak terasa waktu telah merambat ke tahun 2009, berarti rentang waktu tiga puluh lima tahun setelah peristiwa itu. Terasa sekali banyak perbedaan saat ini bila dibandingkan dengan masa itu, tapi yang pasti, usia saya juga ikut bertambah sebanyak itu.

Banyak hal mengharukan saya alami selaku seorang mahasiswa paspasan dari segi ekonomi selama di Medan, sebaliknya tidak sedikit  peristiwa lucu dan menyenangkan. Yah, Stairway to Heaven dari Led Zeppelin telah mengembalikan ingatan saya ke masa lalu, ketika dalam perjalanan malam dari Surabaya menuju Jakarta dengan kereta api.