Keprihatinan atas Bencana Lingkungan yang Merusak Danau Toba

 

Toba LakeSampai sekarang masih jelas terbayang peristiwa tahun 1970-an ketika objek wisata di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir ramai dikunjungi oleh wisatawan. Bus-bus milik biro perjalanan sering terlihat lewat dari Jalan Sutomo Pematang Siantar membawa rombongan turis asing dari Medan. Kadang-kadang mereka berhenti dan singgah sebentar untuk berbagai keperluan sebelum melanjutkan perjalanan ke Prapat. Turis asing yang datang secara berombongan biasanya adalah orang-orang tua yang dikirim oleh biro perjalanan dari negara asal bekerjasama dengan biro perjalanan dalam negeri yang akan memandu mereka selama berada di tempat tujuan.

Turis asing yang datang secara sendiri-sendiri juga banyak. Mereka sering terlihat naik bus PMH dari Medan atau Pematang Siantar menuju Prapat. Turis ini sering disebut hippies yang populer pada tahun 60-an. Tampil berpakaian seadanya, dekil dengan rambut gondrong sebahu. Perempuannya berbaju kaos dan celana pendek. Di tangan mereka sering terlihat peta, kamus dan buku catatan sedang buntalan tas besar selalu menggantung di punggung. Biasanya kota Prapat bagi turis kelompok ini hanya sekedar persinggahan sedang tujuan utama mereka adalah Tomok atau Tuktuk Siadong di Pulau Samosir. Penulis pernah berbincang-bincang dengan seorang turis asal Austria yang mengatakan bahwa informasi mengenai Tuktuk Siadong dia dapat dari teman yang telah pernah berkunjung kesana sebelumnya. Agaknya keindahan alam Tuktuk Siadong ini sudah tersohor dan tersebar luas dari mulut ke mulut ke manca negara.

Turis-turis ini biasanya menginap di rumah-rumah warga setempat yang menyediakan kamar khusus untuk disewakan bagi turis. Tarip sewa yang dikenakan sudah pasti jauh lebih murah bila dibandingkan dengan tarip hotel. Wisatawan asing yang mampu dan tidak perlu irit biaya biasanya menginap di hotel yang ada disana seperti Hotel Carolina atau Toledo Inn yang berhadapan langsung dengan pemandangan indah permukaan danau berlatar belakang perbukitan Simarjarunjung dan Aek Nauli di kejauhan.

Hari Minggu merupakan giliran turis lokal yang memadati Prapat. Mereka datang dengan bus secara berombongan, kenderaan pribadi, sepeda, atau bahkan jalan kaki. Rombongan turis lokal ini biasanya berasal dari sekolah dan karyawan instansi atau perusahaan dari berbagai tempat di Sumatera Utara. Sedang pejalan kaki biasanya adalah anak-anak sekolah yang sedang menikmati liburan yang berasal dari Pematang Siantar maupun desa-desa lain di sepanjang jalan raya antara Pematang Siantar dengan Prapat. Biasanya mereka berangkat pada sore hari untuk menghindari panas selama perjalanan dan berjalan membentuk kelompok terdiri dari laki-laki maupun perempuan sambil membawa perbekalan dan peralatan untuk camping.

Kenapa tahun 1970-an Danau Toba dan Pulau Samosir selalu ramai dikunjungi wisatawan? Karena situasiĀ  lingkungan disana relatif masih alami, air danau masih dalam dan jernih, udara nyaman dan sejuk dan keamanan yang kondusif. Peranan pemerintah daerah setempat untuk mempromosikan Danau Toba dan sekitarnya juga sangat besar manfaatnya, yaitu dengan cara menggelar Pesta Danau Toba yang diadakan secara rutin setiap tahun di Prapat bertepatan dengan liburan panjang sekolah. Kegiatan seperti ini terus berlanjut sampai akhirnya keseimbangan alam terasa mulai terganggu akibat ulah manusia yang merusak lingkungan alam sekitar.

Penulis sendiri sudah lama tidak melihat Danau Toba secara langsung. Terakhir kali kesana tahun 2001 dan hanya melintas lewat Prapat dalam perjalanan dari Sarimatondang ke Bengkulu. Ketika itu kami sekeluarga sengaja mengambil jalan lewat jalur barat dengan mobil menyusuri perbukitan Aek Nauli agar bisa melihat keindahan Danau Toba dari kejauhan sepanjang perjalanan.

Menurut informasi dari berbagai sumber seperti media massa dan internet, situasi terkini disana sungguh amat memprihatinkan. Kondisi air danau kotor akibat sampah dan limbah di beberapa tempat. Kebakaran hutan juga sering terjadi akibat ulah manusia sehingga turut merusak daerah resapan air. Air hujan yang turun dari langit akhirnya tumpah langsung ke danau karena tidak teresap lagi secara alami. Hal ini mengakibatkan arus air yang keluar lewat Sungai Asahan menjadi tidak seimbang dengan air yang masuk ke danau. Dengan kata lain arus keluar lebih besar dari arus masuk sehingga permukaan air danau mengalami penurunan secara perlahan tapi pasti.

Kini Danau Toba dan Samosir mulai sepi dari kunjungan wisatawan, makin jauh tertinggal dari Bali yang semakin ramai. Kondisi seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya untuk mengatasi. Danau Toba dan Samosir yang merupakan kebanggaan bagi suku Batak harus dibenahi dengan cara-cara yang lebih profesional dan terarah. Teriakan-teriakan sloganis dan saling menyalahkan satu sama lain tidak akan memberi manfaat apa-apa. Yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan nyata dan segera sebelum semuanya menjadi terlambat.

Tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran pada warga setempat agar tidak membuang sampah dan limbah secara sembarangan ke danau. Kebiasaan warga untuk membakar alang-alang di sekitar danau harus dilarang dan diawasi dengan ketat karena dapat membahayakan serta merusak lingkungan di sekitarnya. Tindakan selanjutnya adalah membuat aturan-aturan yang jelas dan tegas yang harus dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali. Ini tentu saja merupakan wewenang pemerintah daerah setempat di bawah koordinasi Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara karena menyangkut beberapa wilayah kabupaten. Dalam hal ini masukan berharga berupa sumbangan pemikiran dari berbagai pihak termasuk perantau yang ahli di bidang ini akan sangat banyak membantu.

Apakah semua itu bisa dilakukan? Tentu saja bisa, kenapa tidak. Banyak orang Batak yang pintar dan cerdas, masak urusan untuk membenahi lingkungan sendiri tidak bisa. Cuma ego pribadi atau kesukuan yang perlu dibuang jauh-jauh. Seiring dengan adanya pemekaran wilayah di Sumatera Utara -kalau tidak salah- wilayah Danau Toba dan Samosir saat ini berada di bawah pengawasan 5 daerah kabupaten, yaitu Simalungun, Karo, Dairi, Samosir, dan Toba. Kalau kelima pemerintah daerah ini bisa kompak dan bahu-membahu untuk membangun kembali kejayaan Danau Toba dan Pulau Samosir, niscaya kebanggaan kita sebagai orang Batak akan pulih secara keseluruhan. Tidak ada yang bisa mengembalikan kebanggaan itu kalau tidak dimulai dari diri kita sendiri.

Akhirnya, izinkanlah saya meminjam satu umpasa Batak yang berbunyi :

Balintang ma pagabe, tumundalhon sitadoan

Arinta do gabe, molo olo marsipaolo-oloan

Horas!

.

Surabaya, 25 Juni 2009 – Oleh Farel M. Sinaga