Semasa saya duduk di kelas satu SMP, pernah musim mainan berupa cincin terbuat dari biji pohon aren. Biji yang dipilih betul-betul sudah masak, berwarna kehitaman. Lalu bagian tengah dikeruk sedang isinya dibuang. Tak lama kemudian tercipta sebuah lobang pada biji. Tinggal menyesuaikan besar lobang, agar muat ketika dipasangkan pada jari tangan. Kulit luar pada bagian ujung biji juga dikupas. Bekas kupasan selanjutnya diasah pakai kertas pasir halus. Setelah licin lalu diberi motif dengan cara mendekatkan pada bara api. Begitu motif terbentuk, lalu digosok lagi pakai abu dapur atau abu rokok sehingga betul-betul mengkilat. Kini cincin sudah jadi, dan siap dipakai buat ‘nampang.
Awalnya saya tidak tahu, cincin itu terbuat dari apa. Hanya ketika kulihat dipakai seorang teman sekelas, saya tertarik. Lalu kutanya cincin itu dibeli dimana dan harganya berapa. Dia bilang itu tak dibeli, melainkan buatan sendiri. Lantas dia memberitahu bahan baku serta cara pembuatannya. Begitu saya tahu cincin terbuat dari biji aren, dalam hati saya bertanya: “Bukankah pohon aren banyak ditemukan di sepanjang jalan menuju Aek Simatahuting?”
Pada hari Minggunya kuajak adik saya Jannen untuk mencari biji aren sambil mandi ke Simatahuting. Kolo Sinaga, seorang tetangga juga kami ajak. Beda usia kami masing-masing dua tahun, sedang Kolo adalah yang termuda. Lepas tengah hari, kami bertiga pun segera berangkat. Sekitar lima belas menit kemudian, kami melewati sebuah ladang. Tampak sebatang pohon aren tumbuh di sana. Mata kami mencari-cari kiri-kanan, apakah pemiliknya ada di dalam. Letak pohon berada agak jauh di tengah. Harus menerobos tanaman singkong yang tumbuh agak lebat agar bisa tiba disana.
Ternyata ladang itu kosong, pemiliknya tidak ada. Lalu setengah berlari kami menghambur ke arah pohon, seolah takut tak kebagian. Tiba disana tampak setandan biji aren yang baru dipotong. Lalu saya mendongak ke atas. Kelihatan bekas potongan sudah dipasangi tabung bambu untuk menampung nira. Buah pada tandan kelihatan masih segar, berwarna oranye kehijau-hijauan. Berarti kami harus menyingkirkan daging buah lebih dulu untuk memperoleh biji. Persis seperti tanaman kelapa sawit, daging pada tandan buah segar (TBS) harus dikeluarkan dulu untuk memperoleh biji sawit.
Tangan kami dengan cekatan mulai mempreteli buah-buah aren dari tandannya. Begitu dapat kira-kira 10 buah satu orang, segera beraksi untuk mengeluarkan daging buah. Kami tak punya alat apa pun, padahal tak semua buah bisa dibuka dengan mudah. Tapi kami tak kehilangan akal. Satu per satu buah-buah ini kami lempar agak kuat ke batang aren supaya melunak. Ternyata cara kami cukup ampuh. Kini daging buah gampang dilepas, dan biji pun bisa kami dapat. Begitu kami lakukan seterusnya hingga semua biji bisa dikeluarkan. Setelah itu biji aren kami bungkus masing-masing pakai daun talas, lalu diikat dengan tali dari batang pisang. Dari sini kami langsung ke sungai untuk mandi.
Namun dalam perjalanan, wajah-wajah yang semula ceria akibat kesenangan berangsur-angsur hilang. Kuperhatikan Kolo kelihatan gelisah. Dia tampak menggaruk-garuk bagian-bagian tubuh secara bergantian. Tak lama kemudian, Jannen pun menyusul. Wajahnya kelihatan mulai meringis sedang tangan menggaruk sana-sini. Dan terakhir adalah giliran saya. Awalnya hanya di bagian tangan, lalu leher, wajah, perut dan semua. Rasa gatalnya tak tertahankan! Kolo sudah mulai menangis. Semakin digaruk, semakin menggila. Kini terasa sudah menyebar ke seluruh tubuh. Lalu kami segera berlari menuruni lembah menuju sungai, agar bisa cepat-cepat mandi.
Tiba di sungai, buka pakaian lalu langsung menceburkan diri. Namun bukannya hilang, rasa gatal malah makin menjadi-jadi. Seorang warga dari Kampung Jawa kebetulan mandi. Kami pinjam sabunnya karena kami tidak bawa sabun. Sabun itu adalah sabun cuci batangan, bukan sabun mandi. Tapi kami tak peduli. Cepat-cepat badan kami sabuni sambil berharap rasa gatal segera hilang. Hilang? Ternyata belum! Lalu kami ulang pakai sabun lagi. Sambil menyabun, saya berkata: “Mang, jangan marah ya. Sabunnya kami pakai sampai tiga kali. Badan kami gatal sekali!” Pemilik sabun hanya mengangguk kendati terlihat sedikit jengkel melihat sabunnya dipermak sesuka hati.
Sedikit heran, sejurus dia lalu menghampiri kami. Badan kami sudah merah-merah semua. Setelah mengetahui apa yang terjadi, dia kaget. Dari dia baru kami tahu bahwa penyebab gatal itu adalah buah aren yang barusan kami ambil. Ternyata daging buah itu amat berbahaya bila tersentuh. Tersentuh satu buah saja sudah bisa mendatangkan celaka. Apalagi kami barusan masing-masing membongkar habis sampai 10 buah. Kami diberitahu, kalau mau ambil biji aren pilih yang sudah tua tanpa daging. Biasanya biji seperti itu banyak berserakan di bawah pohon. Tak boleh diambil langsung dari buahnya!
Tak mempan dengan sabun, bergantian kami mulai saling mengolesi badan dengan pasir. Pasir ini digosok-gosokkan pada bagian perut atau punggung. Terasa sedikit nyaman, namun rasa gatal tidak juga berkurang. Lalu kami mencoba menyelinap dan duduk di bawah riam dan membiarkan punggung kami didera air deras untuk mengurangi penderitaan kami. Tetapi tak mempan juga. Kami coba lagi dengan menggosok-gosok punggung pada dinding batu, atau berguling-guling di atas pasir. Pokoknya kelihatan seperti orang gila. Namun, semua upaya ini tidak membuahkan hasil.
Akhirnya kami putuskan untuk pulang saja. Biji-biji yang terbungkus daun talas kami buang ke sungai. Aku dan Jannen hanya berani pakai celana, baju tidak. Getah buah aren celaka itu pasti masih lengket disana. Celanapun terpaksa kami pakai, malu ditontoni orang kampung jalan sambil telanjang. Tapi Kolo tampaknya tidak peduli. Dia jalan dalam keadaan bugil seraya menenteng pakaiannya.Usianya memang bukan balita lagi, tapi rasa gatal amat menyiksa tampaknya telah mengalahkan rasa malu.
Tiba di kampung suasana sudah agak gelap. Sambil jalan, tangan kami masih terus menggaruk kesana-sini. Akhirnya kami tiba di rumah. Kebetulan beberapa orang ibu kelihatan sedang berkumpul membincangkan sesuatu di rumah Kolo. Ibu kami juga ada disana. Melihat kami datang dengan sekujur tubuh kemerahan ditambah lagi tangisan Kolo, mereka serentak bangkit. Lalu mereka gantian bertanya, apa yang terjadi. Setelah kami ceritakan semua, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. Heh, dasar ibu-ibu. Orang sudah sengsara malah diketawain!
Lalu apa yang mereka lakukan? Seseorang pergi ke dapur lalu kembali bawa minyak goreng. Kemudian minyak ini dipoleskan ke badan kami secara bergantian. Ajaib, rasa gatal berangsur mulai hilang. Kolo pun sudah tidak menangis lagi. Sambil ketawa ibu Kolo berkata: “Botul do angka Sinaga na oto ho sude (benar-benarlah kalian ini Sinaga sinting semua)!” Wah, sialan!
.
Surabaya, 22 Mei 2010 – oleh Farel M. Sinaga