Petaka di Tengah Kemacetan

Hari ini Minggu, 27 Desember 2009 pada siang hari di rumah. Cuaca di luar agak mendung. Telah 10 hari aku menikmati liburan Natal dan cukup puas berkumpul bersama keluarga. Libur Natal maupun Tahun Baru kali ini tidak kemana-mana, hanya sekitar Jabodetabek.  Biasanya mudik sekeluarga—pulang kampung ke Sumatera Utara. Mengunjungi orangtua di Sarimatondang sambil menikmati indahnya kampung halaman.

Kebetulan Ibu—kini tinggal sendiri setelah Bapak meninggal dunia pada 2006—barusan datang  Nopember lalu ke Jakarta untuk menghadiri acara wisuda cucunya Maria. Beliau memang selalu hadir pada acara serupa, juga terhadap cucu-cucu yang lain. Tapi kali ini tidak bisa berlama-lama disini. Harus segera pulang untuk keperluan mendesak. Cuma  seminggu di Jakarta, namun cukup untuk melepas kerinduan  setelah lama tidak bertemu.

Kini suasana santai selama menikmati hari libur sudah berakhir. Sore  ini aku musti kembali  ke Surabaya sebab  cuti telah habis. Kurencanakan berangkat pukul 18.00 dengan kereta api (KA). Mudah-mudahan masih dapat tiket.  Sebenarnya nekad juga tidak menyiapkan tiket  jauh hari sebelumnya. Biasanya  beli  tiket pas waktu keberangkatan pada hari-hari libur amat berisiko. Pada hari biasa saja bisa kehabisan tiket, apalagi hari libur!

Aku hanya  bisa berspekulasi dan tergantung pada nasib baik saja. Toh suasana libur Natal tidak seramai ketika suasana Lebaran. Logikanya, harapan mestinya masih ada. Bagaimana pula bila  tempat duduk sudah habis? Ambil saja tiket tanpa tempat duduk, lalu siap-siap duduk di restorasi. Bagi saya, ini bukan masalah serius. Telah terbiasa mengalami  hal seperti ini selama hampir 4 tahun bertugas di Surabaya.

Ketika akan berangkat, hujan turun lebat. Padahal Ari  dari tadi sudah siap  mau mengantar ke depan. Syukur, hujan tidak lama. Setelah menunggu sesaat kini hanya tinggal gerimis. Kamipun segera berangkat. Ketika itu jam menunjukkan pukul 15.30. Masih cukup banyak waktu hingga tiba di stasiun Gambir. Tiba di jalan raya, Ari  segera kembali ke rumah. Aku  sendiri  menunggu angkutan umum jurusan UKI di Cawang.

Cukup lama aku berdiri disana, tetapi kenderaan yang ditunggu belum datang juga. Kalaupun ada selalu penuh, lalu lewat begitu saja. Aku mulai gelisah. Tiba-tiba sebuah taxi berhenti persis di depan saya  Sopirnya menawarkan agar saya naik. Saya sempat bimbang sejenak, mau naik taxi saja atau menunggu lebih lama lagi? Gerimis belum berhenti sedang tas bawaan terasa makin berat. Lalu, tanpa pikir panjang lagi aku segera naik.

Suasana jalan raya hingga Plaza Cibubur tampak agak lengang. Bisanya ada kemacetan disini. Aku sempat mau bilang sopir, agar keluar dari pintu tol Cimanggis saja. Namun kubatalkan, setelah melihat situasi jalan tidak begitu ramai. Tetapi,  apa yang  terlihat  di depan sana? Tepat pada jalan menurun, antrian kenderaan ternyata sudah panjang. Hanya bisa bergerak perlahan, kadang berhenti sama sekali. Sesaat kemudian, kamipun ikut terperangkap di dalamnya.

Kini mulai timbul sedikit penyesalan. Tadi, kenapa  tidak lewat Cimanggis saja? Mau putar balik agaknya sudah terlambat, karena putaran di persimpangan Kranggan sudah pasti ditutup. Tidak bisa belok ke kanan arah ke Cimanggis. Kalau mau putar balik, harus turun lebih jauh lagi ke bawah  hingga putaran depan Cibubur Times Square. Tampaknya pilihan inipun tidak membantu karena arus kenderaan disanapun  sudah pasti tersendat.

Aku hanya bisa pasrah dan mulai pesimis KA pukul 18.00 masih bisa terkejar. Perjalanan masih panjang sedang lalu lintas hanya bisa merayap seperti siput.  Celakanya, sopir tampak  mulai mengantuk! Kelihatan dia mulai dihinggapi rasa bosan dan letih. Ketika mobil di depan sudah jalan, dia masih berhenti. Agaknya terlelap. Begitu suara klakson terdengar bertalu-talu  dari belakang, baru dia jalan. Peristiwa ini sempat terulang sampai 3 kali.

Perasaan saya mulai panik, resah, dan jadi serba salah. Waktu terus berjalan,  sementara  arus kenderaan tampak seperti jalan di tempat. Aku mulai uring-uringan.  Melihat  jarum jam terus berputar dan waktu kini semakin kritis. Juga melihat kondisi sopir yang mengantuk. Sialnya argometer jalan terus meskipun mobil berhenti. Mobil baru berjalan sekitar 2 km tetapi argometer sudah menunjukkan angka diatas dua puluh ribuan.

Tengah saya melamun, tiba-tiba “Bukk!” terdengar bunyi tumbukan keras. Aku sempat terguncang di jok belakang. Ternyata mobil yang kutumpangi telah menabrak mobil di depan. Kuperhatikan, pintu belakang mobil yang tertabrak penyok cukup parah. Begitu terjadi tabrakan, rasa kantuk sang sopir kelihatan mendadak hilang. Dia kaget bukan main. Tapi, mau bagaimana lagi? Segalanya telah terjadi, tak guna disesali!

Tak lama kemudian, pengemudi mobil korban turun. Sejurus dia memperhatikan bekas-bekas  tumbukan, lalu mendatangi sopir taxi. Sang sopir yang lagi bengong hanya bisa memberi isyarat, agar menepi saja dulu. Takut kalau membuat kemacetan semakin parah. Peristiwa itu terjadi di bagian tengah jalur jalan sehingga untuk menepi sajapun terasa amat sulit. Tambahan lagi mobil  yang menepi bukan cuma 1, tetapi 2 sekaligus.

Tiba di pinggir jalan, sopir turun lalu mereka mulai terlibat dialog. Aku memilih diam saja dalam mobil, tidak mau mencampuri. Cukup lama mereka saling adu argumentasi. Tapi, sopir taxi tampak banyak mengalah. Rupanya sadar, bahwa dia yang salah. Korban menuntut agar ganti rugi dibayar saat itu juga. Tetapi sopir taxi bilang tidak punya uang. Dia memberi alasan baru saja turun. Sambil menunjuk ke arah saya, dia bilang aku penumpang pertama sore itu.

Eh, nanti dulu! Taxi sudah menepi tapi argometer koq masih jalan? Bah, tak benar lagi ini! Kuputuskan untuk keluar mau mencari kenderaan lain. Rupanya sopir taxi telah datang lebih dahulu dan minta agar aku pindah  kenderaan saja. Rupanya mereka hendak ke pool bersama korban karena solusi menemui jalan buntu. Korban bersikeras urusan selesai sore ini juga. Dia takut dipersulit, apabila datang sendiri ke pool sesuai permintan sopir taxi.

Lalu aku keluar setelah membayar tarip argometer Rp 25.000. Harga yang terlalu mahal untuk sebuah jarak tempuh yang tidak setara. Sopir menawarkan untuk  mencarikan taxi pengganti, tapi kutolak. Lebih baik aku naik angkot saja, karena  pintu tol sudah dekat. Nanti di depan BJ Junction aku bisa turun, lalu mengambil kenderaan lain jurusan Cawang. Yang paling utama, aku bisa terlepas dulu dari  kemacetan ini.

Menjelang masuk tol Jagorawi, aku ganti kenderaan. Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul 17.00 tepat. Situasi di jalan tol lancar meskipun kenderaan agak ramai. Tidak sampai terjadi kemacetan yang menyebabkan kenderaan harus berhenti. Tidak berapa lama kemudian, kenderaan tiba di Cawang. Lalu saya turun dekat jembatan penyeberangan persis di depan UKI. Kini waktu hanya tersisa 35 menit menuju pukul 18.00.

Begitu turun aku  langsung berhitung. Dengan sisa waktu 35 menit, pasti tak terkejar bila naik Busway. Begitu pula dengan taxi. Sarana paling cepat agaknya hanya ojek. Seorang pengojek kutanya apakah bisa sampai di Gambir dalam waktu 15 menit. Ternyata dia jawab bisa. Setelah sepakat soal  harga, kamipun berangkat. Dari Cawang langsung melaju arah Otista terus lurus ke Kramat.  Di Senen naik jalan layang lalu belok dari samping Atrium terus ke Pejambon.

Dan benar, pukul 17.40 kami telah tiba di stasiun Gambir. Terus terang, tadi sempat juga merasa deg-degan selama dalam perjalanan. Kuatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Selesai membayar ojek sambil mengucapkan terima kasih, aku buru-buru ke loket. Kebetulan tidak ada antrian pembeli disana. Puji Tuhan, tiket KA tujuan Surabaya untuk keberangkatan jam 18.00 ternyata masih ada. Begitu dapat tiket, aku langsung naik ke ruang tunggu.

Tepat pukul 18.00 KA berangkat. Kini lega sudah, beban yang terasa menghimpit telah sirna. Masih terbayang jelas saat-saat dilanda rasa panik ketika terperangkap dalam kemacetan. Dan sopir taxi yang malang, masih nekad menyetir kendati sudah mengantuk berat. Mestinya  terus terang saja bilang sudah mengantuk, butuh istirahat. Tak terbayangkan, jika peristiwa tadi terjadi saat melintas di jalan tol. Atau, boleh jadi ada semacam blessing in disguise atau rahmat tersembunyi di balik peristiwa ini? Hanya Tuhan yang tahu.

.

Surabaya, 4 Januari 2010 – Oleh Farel M. Sinaga

Selingan Manis Dalam Penantian

Pada Minggu pagi, 20 Desember 2009 pergi ke gereja bersama keluarga. Habis kebaktian, Kris dan Mia bergabung dengan pemuda lain. Mereka membahas  persiapan dalam rangka pelaksanaan Natal yang akan berlangsung Sabtu, 26 Desember 2009. Setelah itu kami langsung balik  ke rumah. Rencana sore ini hendak pergi ke Kelapa Gading di Jakarta Utara. Anak-anak minta ditemani  untuk belanja keperluan Natal. Agaknya barang yang mereka butuhkan tidak ditemukan di Cibubur maupun Depok, jadi harus jauh-jauh mencari kesana. Tapi bisa dimaklumi, mereka memang sudah familiar dengan kawasan itu.

Yah, musti bagaimana lagi? Mau tidak mau harus pergi. Kebetulan minggu ini aku sedang menjalani cuti. Kini cukup banyak waktu untuk berkumpul maupun bepergian dengan keluarga. Lain kalau pada hari-hari biasa ketika tidak cuti. Sepulang dari  gereja sudah harus langsung berkemas-kemas. Kalau tidak bakal ketinggalan kereta api yang akan berangkat sore ke Surabaya. Kebiasaan ini sudah rutin saya jalani selama 4 tahun bertugas disana. Oleh sebab itu, mumpung ada waktu senggang, harus betul-betul dimanfaatkan.

Tiba di rumah, kami segera makan siang. Habis itu istirahat sebentar. Anak-anak menyempatkan diri buka internet untuk melihat-lihat status di Facebook. Saat itu yang kuperlukan cuma satu hal, tidur lebih kurang 1 jam. Tadi malam susah tidur karena kepala terasa pusing. Aku kuatir, kalau tak tidur bisa mengantuk saat menyetir, terutama di jalan tol. Tepat pukul 14.15 kami berangkat dari rumah. Niel—anak paling tua— tadi pagi kebaktian di Cempaka Putih. Dia telah dihubungi, dan janji akan datang menyusul ke Kelapa Gading.

Ketika hendak berangkat, Kris bilang nanti sore pukul 16 akan ada latihan pemuda di gereja. Dia minta, kalau bisa sebelum pukul 16 sudah tiba di Cibubur. Aku sih oke-oke saja. Tetapi, apakah mungkin? Mustahil belanja bisa selesai dalam 1 jam, lokasinya di Jakarta Utara lagi. Menurut pengalaman sebelumnya, begitu tiba di Mal waktu akan terlupakan dalam seketika. Belum pernah kejadian, begitu barang telah  ditemukan langsung jadi. Biasanya harus putar sini putar sana dulu, baru bisa mengambil keputusan.

Yah, mudah-mudahan saja cepat selesai sesuai harapan. Bagi saya sendiri, cepat atau lambat tidak menjadi masalah. Yang penting mereka bisa mendapatkan apa yang mereka cari. Coba kalau tidak ketemu, berarti harus siap-siap untuk mencari ke Mal lain. Keputusan kali ini kuserahkan sepenuhnya pada anak-anak. Peran kami orangtua hanya sebatas menemani. Boleh jadi kasih saran, itupun kalau diminta. Tetapi yang pasti, sejumlah dana untuk keperluan belanja  mutlak sudah harus disiapkan sebelumnya.

Menuju tol Jagorawi, kami lewat pintu tol Cimanggis. Jalur ini sengaja kupilih menghindari kemacetan di Jalan Trans Yogi Cibubur. Situasi sepanjang jalan lancar kendati ada lubang di beberapa tempat sehingga kenderaan harus melambat. Namun tidak sampai terjadi kemacetan karena kenderaan yang melintas tidak begitu ramai. Perkiraan saya lewat Cimanggis ternyata tepat. Dari jalan tol terlihat jelas antrian kenderaan merayap dengan perlahan di  jalan layang menuju pintu tol masuk Jagorawi.

Dari jalan tol Jagorawi kami keluar di Cawang, lalu melaju lewat jalan By-Pass. Begitu tiba di Kelapa Gading, kami langsung ke pusat perbelanjaan. Suasana sekitar Mal cukup ramai sedang halaman parkir sudah terisi penuh. Kami mulai mencari tempat di dalam. Ternyata lantai dasar sudah terisi penuh. Lantai selanjutnya  kami telusuri, juga penuh. Bahkan jalan antara ruang parkirpun sudah berisi  mobil. Wah, gawat ini! Kalau begini bisa-bisa harus turun lagi, lalu mulai mencari lagi dari awal. Pekerjaan ini tampaknya sepele, tetapi cukup berat. Kini tinggal satu lantai lagi. Seandainya penuh juga apa boleh buat, siap-siap untuk turun.

Ternyata kami telah tiba di atap gedung. Kawasan ini merupakan  ruang terbuka tanpa atap yang dijadikan tempat parkir. Rupanya tempat disinipun sudah dipenuhi oleh kenderaan. Tetapi mujur, sebuah mobil sedan tampak  mau keluar. Begitu dia keluar, kami langsung menggantikan tempatnya. Di belakang kami ternyata masih ada beberapa kenderaan yang antri mencari tempat parkir. Sudah bisa diduga mereka harus turun lagi, kecuali bernasib baik mendapatkan tempat kosong disini.

Tiba di dalam Mal, aku segera memisahkan diri. Isteri dan anak-anak kuminta agar langsung mendatangi gerai yang hendak dituju. Aku sendiri akan menunggu di Gramedia karena tidak kuat kalau harus ikut jalan berkeliling bersama mereka. Berdiri terlalu lama akan membuat saya merana karena pinggang akan terasa sakit. Lebih baik aku berkeliling saja melihat-lihat buku sambil santai. Bila sudah kepayahan sementara tempat duduk tidak ada, aku bisa jongkok sambil membaca buku.

Telah  1 jam lebih  aku berkeliling di Gramedia. Sebagian besar rak buku telah saya kunjungi terutama mengenai pajak, akuntansi, komputer, dan blogging. Namun kali ini saya bermaksud untuk melihat-lihat saja, tidak ada niat untuk membeli. Beberapa buku yang kubeli  jauh hari sebelumnyapun belum sempat terbaca. Masih terbungkus rapi dalam sampul plastik. Kebiasaan saya memang begitu. Buku yang baru dibeli sementara disimpan dulu. Begitu ada waktu senggang, baru dibaca sampai habis.

Ketika sedang asyik melihat-lihat isi etalase, tiba-tiba Ari—putra bungsu—sudah berada di sampingku. Kutanya apakah barang yang dia cari sudah dapat, ternyata dijawab belum. Lho, ngapain terus datang kesini kalau belum dapat? Dia bilang sudah capek mencari kesana kemari tetapi tidak ada yang cocok.  Masa di Mal segini luas tak ada satupun yang cocok? Lalu kuminta dia agar berusaha mencari  lagi di tempat lain. Saat senggang untuk belanja seperti ini amat terbatas, jadi harus digunakan mumpung ada kesempatan.

Setelah puas berkeliling sambil melihat-lihat, aku membeli sebuah buku catatan saku lalu keluar dari Gramedia. Selanjutnya waktu kuisi  dengan berjalan berkeliling. Cuci mata  melihat-lihat barang di gerai maupun tingkah polah para pengunjung. Situasi di dalam Mal tampak semakin ramai. Orang pada sibuk berlalu-lalang kesana kemari. Namun sialan, pinggang saya secara perlahan terasa mulai sakit karena kebanyakan jalan dan berdiri. Mata mulai jelalatan mencari-cari cafe agar bisa duduk istirahat sambil menikmati segelas kopi.

Tepat ketika aku melintas saat mencari-cari cafe,  seorang bocah laki-laki tampak sedang bernyanyi. Dia membawakan lagu-lagu rock Indonesia masa kini. Penampilannya amat memukau dengan gaya dan suara layaknya seorang rocker sejati. Yang mengagumkan,  semua lagu betul-betul dia kuasai dan dinyanyikan luar kepala. Ada tiga buah lagu yang dia nyanyikan sejak saya tiba disana.  Dia bernyanyi diiringi oleh musik pengiring yang telah terekam dalam sebuah laptop. Banyak pengunjung yang berhenti untuk menonton  karena merasa tertarik dengan penampilan anak ini.

Ternyata anak ini hanya seorang tamu dadakan di Charlie Eagles—sebuah grup musik asal Amerika. Selesai bernyanyi, dia langsung pamit setelah disalami oleh Charlie—pimpinan kelompok. Grup ini menempati sedikit ruang di lantai Mal untuk peragaan dan penjualan CD rekaman. Seperangkat alat musik tampak terpasang disana. Yang menarik adalah Zamponas, alat musik  tradisional Indian. Terbuat dari bambu mirip  angklung, tetapi ditiup. Sebuah topi kebesaran kepala suku Indian tampak tergantung anggun pada tangkai pengeras suara. Setiap kru mengenakan pengikat kepala, rompi, dan atribut khas Indian lainnya. Seluruh atribut ini didominasi oleh warna coklat—warna khas Indian.

Zamponas / Gonzalo Cortes

Tidak jauh dari sana kulihat ada sebuah bangku panjang terbuat dari kayu. Muat 8 orang, masing-masing 4 orang duduk saling membelakangi.  Agaknya khusus disediakan buat pengunjung yang butuh istirahat setelah penat berbelanja. Kebetulan ada tempat kosong sehingga saya langsung duduk. Kini aku bisa  istirahat sambil menikmati musik Charlie Eagles. Lagu-lagu instrumental  yang mereka bawakan terdengar syahdu dan sangat menyentuh. Tentu suasana ini tidak terlepas dari peran Charlie—seorang keturunan Indian Amerika yang meniup Zamponas dengan begitu sempurna dan penuh penghayatan.

Satu Zamponas hanya bisa membawakan satu nada dasar. Ketika hendak membawakan lagu dengan nada dasar lain, tampak Charlie menggunakan  Zamponas yang lain. Disamping Zamponas, alat musik lain yang ada hanya gitar.  Maka ketika membawakan sebuah lagu, hanya ada dua orang yang tampil. Bunyi  instrumen musik lainnya sudah terekam dalam laptop. Anggota kelompok selebihnya adalah dua orang wanita yang  bertugas untuk administrasi dan menjajakan barang dagangan. Kedua wanita ini memakai sepatu bot yang tingginya sampai sebatas lutut.  Warna pakaian yang mereka kenakan juga bernuansa kecoklatan.

Cukup lama aku duduk sambil menikmati permainan mereka. Kemudian Kris  saya hubungi lewat HP, apakah sudah selesai belanja atau belum. Ternyata belum. Dia bilang Niel baru saja tiba dan kini mereka sedang sibuk membantu mencari barang yang dia perlukan.  Bersamaan ketika kelompok musik ini beristirahat, sayapun mulai keliling lagi. Rasa sakit di pinggang sudah tidak terasa lagi. Malah kini pantat yang sakit karena kebanyakan duduk. Oalah, berdiri lama salah, duduk lama juga salah!

Niat untuk minum kopi akhirnya saya batalkan. Lebih baik menunggu anak-anak selesai belanja, lalu makan Pempek Palembang bersama-sama. Tak sengaja aku melihat penjual Pempek ketika mencari-cari ATM Mandiri di lantai dasar. Keinginan untuk makan Pempek selalu timbul setelah terbiasa makan makanan ini selama 3 tahun lebih  bertugas di Bengkulu. Tempat makan Pempek yang menjadi favourit  saya ketika itu adalah di  Jalan Todak  samping  Gereja Katolik sambil menunggu anak-anak pulang dari sekolah.

Ingat Pempek, tak terasa air liurpun mulai mengalir. Kuhubungi Kris lagi, ternyata belum selesai juga. Dia bilang sebentar lagi. Saya pesankan, bila selesai nanti agar kumpul semua di depan Gramedia. Lalu aku balik lagi ke Charlie Eagles, ternyata mereka sudah main lagi. Aku hanya menonton dari kejauhan sambil berdiri menyandarkan kedua tangan ke pagar pembatas balkon. Kali ini mereka bermain cukup lama. Lagu demi lagu instrumental mengalir seiring dengan tiupan Zamponas oleh Charlie yang mendayu-dayu.

Tiba-tiba HP saya berbunyi. Ternyata dari Kris. Dia memberi tahu, kini mereka ada di depan Gramedia. Aku  segera menyusul kesana. Saat mau tiba disana  baru terpikir untuk membeli sebuah CD rekaman Charlie Eagles. Tapi saya urungkan karena hari sudah mulai malam. Kapan-kapan bisa dicari di toko-toko musik, kemungkinan besar ada dijual disana. Tiba di Gramedia ternyata sudah lengkap menunggu. Mereka segera kuajak makan Pempek  di lantai dasar. Oh, kelihatan mereka senang sekali. Barangkali  masing-masing sudah lapar karena belum makan padahal sudah lewat waktu makan malam.

Tiba disana kami langsung pesan makanan. Namun harus menunggu  sebentar karena meja-meja masih terisi. Setelah ada meja kosong, kamipun duduk. Tak lama pesananpun datang, lalu kami mulai makan. Pempeknya terasa lezat, tidak berbeda jauh dengan aslinya dari Palembang. Dalam tempo singkat makanan telah ludes tak bersisa. Mata dan mulut Ari sampai memerah  karena kepedasan. Sengaja kami pesan secukupnya agar tidak ada yang terbuang percuma. Kalau masih ada yang merasa kurang, bisa minta tambah lagi. Ternyata semua telah kenyang, dan kini adalah saatnya untuk pulang.

Empat Bersaudara Habis Makan Pempek

Ketika mau pulang jam telah menunjukkan pukul 21.15. Berarti kami telah berada disana selama 5 jam lebih. Sebuah penantian panjang yang butuh kesabaran ekstra. Untung ada selingan pengisi waktu sehingga waktu berlalu tanpa terasa. Disamping melihat-lihat buku di Gramedia,  terasa amat berkesan adalah suguhan musik manis dari Charlie Eagles. Tampil apa adanya, jauh dari hura-hura. Bila pengunjung mulai sepi, Charlie segera meniup Zamponas lalu orangpun berdatangan. Setiap selesai membawakan lagu, tak lupa dia menyapa pengunjung dengan ucapan:  “Terima Kasih dan Selamat Malam!”
.

Surabaya, 29 Desember 2009 – Oleh Farel M. Sinaga

Sial, Tiket Kereta Api Habis

Minggu, 9 Agustus 2009 di Jakarta. Habis kebaktian di gereja saya dan anak-anak langsung pulang ke rumah. Soalnya sore ini saya musti balik ke Surabaya. Tiba di rumah, istirahat sebentar lalu mulai kemas-kemas. My lovely daughter, Christy mulai sibuk dengan tugas rutin di dapur setiap saya mau berangkat ke Surabaya. Biasalah, menyiapkan makanan buat bekal saya nanti selama di perjalanan. Maria langsung tidur karena semalam agaknya kurang tidur sehingga mengantuk berat. Anak ini memang seorang penderita insomnia—susah tidur. Si bungsu Ari mulai browsing internet mau lihat-lihat status di Facebook. Mama anak-anak? Tadi terpaksa ditinggal di gereja karena harus ikut latihan paduan suara kelompok wanita sehingga datang  menyusul belakangan.

Jam 15.30 berangkat dari rumah. Saya diantar oleh Daniel, anak saya yang sulung. Kami ambil  jalan pintas lewat Cimanggis untuk menghindari kemacetan di Jalan Alternatif Cibubur. Entah kenapa, setiap Minggu sore kenderaan selalu tersendat disini sebelum masuk tol Jagorawi. Selama dalam perjalanan menuju pintu tol Cimanggis lancar-lancar saja, tidak ada hambatan apa-apa. Masuk tol Jagorawi tiba-tiba mobil langsung dipacu dengan kecepatan tinggi. Terus terang saja, kalau anak ini yang menyetir saya tidak bisa tenang selama di perjalanan. Main tekan gas seperti dikejar setan saja, bukan main!

Biasanya saya menunggu kereta api di stasiun Jatinegara. Tapi kali ini harus ke stasiun Gambir karena saya belum memiliki tiket. Penjualan tiket hanya ada di stasiun Gambir untuk tujuan Surabaya. Jam 17.30 kami tiba di stasiun, saya langsung buru-buru ke loket. Sialan, ternyata tiket kereta api Gumarang sudah habis. Padahal ini bukan musim libur, koq bisa habis secepat itu? Saya mulai celinguk-celinguk kiri-kanan, mana tahu ada yang membatalkan tiket atau calo barangkali. Ternyata tidak ada! Mau bagaimana lagi, kali ini terpaksa beli tiket berdiri. Kereta api Sembrani sebenarnya masih ada untuk keberangkatan jam 18.45, cuma saya takut terlambat tiba di Surabaya.

Dengan berat hati, tiket akhirnya saya beli kendati tanpa nomor tempat duduk. Sialnya harga tiket duduk dan berdiri sama saja, tidak ada pengecualian. Yah, peristiwa seperti ini bukan pertama kali saya alami  selama bertugas di Surabaya. Terlambat beli tiket apalagi musim libur, harus siap menerima resiko seperti ini. Duduk tanpa sandaran di restorasi, nongkrong di gang antara gerbong atau menumpang duduk di ruang istirahat kru selagi kosong sudah pernah saya alami. Dari loket saya langsung menuju ruang tunggu di atas menunggu kereta yang sebentar lagi tiba dari stasiun Kota. Tidak lama kemudian, kereta datang. Saya langsung menuju ruang restorasi dengan buru-buru karena harus berebut tempat duduk dengan penumpang lain yang senasib.

Tapi kalau nasib memang lagi mujur, rezeki itu tidak kemana-mana! Ketika kereta sudah lewat stasiun Jatinegara, seorang petugas restorasi memberitahu bahwa di gerbong 7 ada sebuah tempat duduk kosong. Saya disarankan pindah saja kesana selagi masih kosong. Cuma saya harus siap untuk hengkang kalau ternyata penumpangnya ada. Ini jelas tidak nyaman. Bagaimana lagi duduk tenang-tenang tiba-tiba harus menyingkir, ketika pemiliknya datang. Di depan mata penumpang lain lagi! Malu dong, tapi tidak apalah. Bisa duduk sebentar saja sudah lumayan ketimbang duduk semalaman di restorasi tanpa sandaran tempat duduk.

Tiba di stasiun Cirebon aman, ternyata tempat duduk itu tetap kosong. Begitu pula di Tegal, Pekalongan hingga Semarang. Ya sudah, barangkali ini memang rezeki saya. Bisa jadi tempat duduk itu milik seseorang yang ketinggalan kereta atau membatalkan perjalanan tanpa sempat melapor. Bagi saya, apapun alasannya tidak perlu dipusingkan. Toh saya tidak merugikan atau merebut hak orang lain. Yang jelas, saya bisa duduk enak hingga tiba tepat jam 07.00 di stasiun Pasar Turi Surabaya kendati dengan tiket tanpa tempat duduk.