Kisah Perjalanan ke Banyuwangi

Hari ini Sabtu, 13 Pebruari 2010 di Surabaya. Suasana masih pagi benar ketika alarm di ponsel saya berbunyi. Tadi malam sebelum tidur memang telah distel agar bunyi pukul 04.30. Aku musti cepat bangun agar bisa tiba di kantor paling lambat jam 5. Bila terlambat, kuatir teman-teman lain terlalu lama menunggu. Pagi ini kami mau berangkat ke Banyuwangi, menghadiri resepsi pernikahan Unggun. Dia salah seorang anggota tim saya di kantor.

Setengah mengantuk, aku segera bangkit dari tempat tidur. Lalu dengan sedikit malas  terus menuju ke kamar mandi. Telah kucoba cepat tidur tadi malam, agar bisa bangun dengan segar pagi hari.  Namun tak bisa, pikiran terus melayang entah kemana. Akhirnya aku bangun lagi lalu mulai browsing untuk mengisi waktu. Saking asyik, tak terasa malam sudah kian larut. Menjelang pagi, baru bisa tertidur. Maka tidak heran, ketika mau bangun beratnya bukan main!

Selesai mandi segera berkemas-kemas. Barang bawaan telah kusiapkan sebelumnya di tas, tinggal membawa saja. Isinya juga tak banyak, hanya seperlunya saja. Rencana sepulang  dari pesta, kami langsung balik ke Surabaya. Tapi,  soal makanan untuk  sarapan nanti dulu. Tinggal sendiri di kamar kost, siapa yang menyiapkan? Jatah minum pagi dari ibu kost biasanya diantar jam 06.30. Untuk mengisi perut aku minum sekotak juice kacang hijau yang selalu saya siapkan.

Tepat pukul 05.00 aku tiba di kantor. Ternyata peserta yang berangkat cuma 5 orang. Aku, Nana, Agus, Wahyu, dan Mas No─Satpam kantor merangkap jadi sopir. Dari kantor kami meluncur untuk menjemput Nana lebih dulu ke rumahnya di kawasan  Ngagel. Tiba disana ternyata dia sudah siap sehingga kami tidak perlu menunggu sampai lama. Begitu barang-barang  bawaan selesai dimuat ke mobil, kamipun berangkat.

Aku duduk di depan di samping sopir, Nana dan Agus di tengah sedang Wahyu menyendiri di belakang. Dari Ngagel kami langsung menuju jalan Tol. Situasi sepanjang jalan pagi ini masih terlihat sepi. Kami melaju tanpa kendala apapun hingga tiba di jalan Tol. Begitu masuk Tol mobil mulai melaju kencang. Kenderaan yang berseliweran belum begitu ramai, hanya ada satu dua. Pemandangan indah pagi hari amat mempesona, terutama gunung di kejauhan sana.

Tiba di jalan sekitar lumpur panas Porong, arus kenderaan mulai tersendat. Terdapat  penyempitan jalan disini sehingga setiap kenderaan harus bergerak lambat. Meskipun begitu tidak sampai menimbulkan kemacetan. Mobil terus bergerak perlahan hingga tiba di persimpangan Gempol. Keluar dari Gempol, kami mulai melaju kencang. Tak lama kemudian kami tiba di Pasuruan. Namun disini kami sempat berhenti dan menunggu lama. Jalan ditutup oleh Polantas karena ada arak-arakan anak sekolah yang akan merayakan reuni.

Setelah jalan dibuka lagi, kamipun meneruskan perjalanan. Perut terasa mulai lapar, karena tadi tidak sempat sarapan dari rumah. Lalu kami berhenti di sebuah rumah makan di Probolinggo. Waktu saat itu menunjukkan pukul 08.00. Selesai makan, kami istirahat sebentar. Mas No kutawari minum kopi agar tidak mengantuk saat menyetir. Tapi, kelihatan dia bukan seorang peminum kopi. Menurut cerita Nana, buat Mas No perjalanan semacam ini bukan sesuatu yang  baru. Dia sudah berpengalaman sehingga tidak perlu didesak-desak.

Habis istirahat, kamipun melanjutkan perjalanan. Telah kami putuskan agar lewat pantai utara saja. Rencana semula lewat Jember, tapi ada kabar jembatan disana putus akibat diterjang banjir. Bila nekad, bisa-bisa kami tertahan dan tidak bisa lewat. Tak lama kemudian, kami telah tiba di Paiton. Kelihatan bangunan menara pembangkit listrik berdiri kokoh laksana benteng di pinggir pantai. Segera kusiapkan HP untuk mengambil beberapa foto. Kebetulan udara bersih tidak berawan sehingga cocok buat pengambilan gambar.

Paiton / Foto: Farel MS

Saya mulai menjepret sana-sini dari dalam mobil yang sedang melaju. Kilauan kaca mobil serta bayangan isi mobil di kaca tampak membayang pada beberapa foto, namun tidak begitu mencolok. Panorama indah sepanjang pantai sekitar proyek di sebelah kiri amat serasi dengan  warna hijau dedaunan alam pegunungan di sebelah kanan jalan. Pemandangan seperti ini dapat dinikmati hingga sepanjang beberapa kilometer menuju arah Situbondo.

Paiton / Foto: Farel MS

Tidak berapa lama, kami tiba di Besuki . Kawasan ini terkenal dengan kawasan wisata Pasir Putih yang amat mempesona. Sayang sekali kami tidak punya cukup waktu untuk berhenti sekedar mengambil foto. Sama seperti di Paiton tadi, aku juga mengambil beberapa foto ketika kenderaan sedang berjalan. Akibatnya fokus objek yang dibidik menjadi tidak maksimal. Cuma kualitas gambar yang dihasilkan oleh kamera seukuran 3.2 megapixel tidak perlu diragukan lagi.

Pasir Putih / Foto: Farel MS

Setelah Pasir Putih, kami masuk daerah Panarukan. Lalu terus ke Situbondo. Keluar dari Situbondo jalananan mulai memasuki kawasan berhutan. Tak ada yang bisa dilihat kecuali pohon-pohon di kanan kiri sepanjang perjalanan. Beberapa jam kemudian kami tiba di Ketapang. Kini jalanan mulai menyusuri pantai lagi. Pulau Bali kelihatan amat jelas di seberang sana. Laut biru Selat Bali tampak indah sekali. Disini kami berhenti sebentar untuk mengambil foto.

Ketapang / Foto: Farel MS

Selesai mengambil foto sambil menikmati pemandangan, kami meneruskan perjalanan. Tepat  pukul 12.00 kami tiba di Banyuwangi. Pada sebuah pompa minyak kami berhenti sebentar untuk bertukar pakaian. Ketika keluar dari sana, gerimis mulai turun namun tidak lama. Selanjutnya  kami mencari Gedung Korpri tempat acara resepsi berlangsung. Kami tidak mengalami kesulitan mencarinya meskipun tak seorang dari kami yang pernah kemari. Hanya sekali bertanya pada seorang tukang parkir, alamat itu langsung bisa kami temukan.

Tiba di gedung kami langsung masuk. Para undangan yang datang belum begitu ramai, terlihat dari ruang parkir masih banyak kosong. Setelah mengisi buku tamu, kami langsung mendatangi  pengantin untuk mengucapkan selamat. Kelihatan Unggun senang sekali dengan kedatangan kami. Selesai bersalaman, dia minta agar kami berfoto dulu dengan pengantin. Habis berfoto kamipun turun, lalu menyebar berkeliling untuk mencicipi makanan yang telah tersedia.

Di Banyuwangi kami tidak lama, paling cuma satu jam. Selesai makan dan istirahat  kamipun pulang. Kali ini kami lewat jalur Selatan. Sambil jalan, kami mencari pompa minyak untuk singgah tukar pakaian. Kami masih mengenakan batik, pakaian ketika di pesta tadi. Tampaknya  Kabupaten Banyuwangi akan melangsungkan pemilihan kepala daerah. Foto-foto ukuran besar maupun  spanduk para calon tampak menghiasi jalan raya. Salah satu adalah artis ternama tahun 1970-an Emilia Contessa yang memang berasal dari Banyuwangi.

Tiba di daerah Genteng hujan turun sangat lebat. Kecepatan wiper kaca mobil harus dibuat maksimum agar pandangan ke depan tidak terganggu akibat derasnya hujan. Hujan berlangsung cukup lama hingga kami mulai memasuki kawasan pengunungan. Pemandangan di kiri kanan jalan tidak kelihatan sama sekali. Semua tertutup kabut dan awan putih. Padahal kami ingin  sekali menikmati keindahan alam pegunungan disini. Rencana pengambilan fotopun buyar. Apa yang mau difoto dalam kondisi kabut tebal seperti ini?

Masuk daerah Sempal hujan sudah berhenti. Namun cuaca masih terlihat mendung. Tak lama kemudian kami telah masuk kota Jember. Cuaca disini kelihatan cerah namun  sayang kami tidak sempat singgah. Waktu amat terbatas sehingga diputuskan untuk meneruskan perjalanan. Jembatan yang semula dikabarkan rusak ternyata telah bisa dilalui lewat jembatan darurat yang baru dibangun. Tidak lama kemudian, kami tiba di Jatiroto. Disini kami menyusuri  jalan lurus sepanjang kali hingga beberapa kilometer jauhnya.

Tiba di Klakah, kami berhenti di  sebuah pasar buah. Lalu turun untuk istirahat sambil mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang. Para penjual disini cukup ramai dan buah yang ditawarkanpun beragam. Bila dibandingkan dengan Surabaya, harga  disini termasuk murah. Itupun masih bisa ditawar.  Menurut pengakuan seorang ibu, kebanyakan orang berjualan disini berasal dari Madura. Ibu ini agaknya tidak bohong sebab ketika mendengar mereka bertutur sapa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura.

Cukup lama kami berhenti disini terutama menunggu Nana yang membeli banyak oleh-oleh. Selesai belanja, kamipun meneruskan perjalanan. Hari sudah mulai gelap. Sepanjang perjalanan kami kebanyakan diam. Barangkali ada yang sudah mengantuk atau bahkan tertidur. Aku sendiri mulai mengantuk, namun sedapat mungkin kutahan agar tidak tertidur. Kuatir, kalau semua tertidur, Mas No malah ikut-ikutan mengantuk. Sepanjang jalan, aku bersenandung kecil agar tidak sampai terlena.

Begitu sampai di jalan pantura di Probolinggo, kami berhenti untuk makan malam. Kami menuju sebuah bangunan rumah makan berukuran besar. Pengunjung tampak ramai sekali. Ada yang bawa kenderaan pribadi, ada pula yang naik bus secara berombongan. Terlihat  dari kenderaan yang diparkir di halaman rumah makan yang ukurannya cukup luas. Rupanya sebagian besar pengunjung yang makan disini adalah wisatawan yang baru pulang  maupun yang hendak  berangkat ke Gunung Bromo.

Habis makan, kami langsung pulang. Sepanjang jalan lancar, tidak ada kemacetan. Begitu pula di Porong, dimana terdapat penyempitan jalan. Hanya saja laju kenderaan harus tetap  melambat. Tak lama kemudian, kami telah masuk jalan Tol. Rasa lelah dan kantuk  kini berangsur hilang. Tidak lama kami telah masuk kota Surabaya. Nana diantar dulu ke Ngagel, berikutnya aku ke  Embong Tanjung.  Dari Embong Tanjung teman-teman langsung ke kantor lalu bubar disana. Agus dan Wahyu pulang naik sepeda motor yang mereka titipkan di kantor tadi pagi.

Inilah sekelumit kisah perjalanan satu hari ke Banyuwangi. Buat menghadiri resepsi pernikahan seorang teman—juga anggota tim saya. Teman-teman lain mungkin sedikit kaget dengan tulisan ini. Tidak menyangka karena aku tak pernah terlihat sama sekali mencatat sesuatu selama dalam perjalanan. Cuma untungnya otak masih bisa mengingat dan merekam apa saja yang barusan dialami. Tentu saja foto-foto yang kuambil bisa membantu dan bercerita banyak, sekedar untuk mengembalikan ingatan.

.

Surabaya, 20 Maret 2010 – Oleh Farel M. Sinaga

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 1

Jumat, 21 Nopember 2009. Tiba di kantor agak pagi. Suasana di ruangan masih sepi. Tak terasa besok sudah akhir pekan. Jumat malam biasanya pulang dan kumpul dengan keluarga di Jakarta. Namun malam ini sudah kuputuskan tidak pulang. Terlalu capek  bolak-balik tiap minggu. Hari ini tas juga  terasa ringan─hanya berisi kotak kacamata, charger telepon selular, dua buah buku serta surat-surat. Coba kalau pulang, tas akan dipenuhi berbagai macam tetek bengek. Cuma sedikit bingung, disini mau melakukan apa untuk mengisi libur besok? Lihat-lihat buku ke Gramedia atau cuci mata di Mall? Berapa lama saya bisa bertahan disana? Ah, peduli amat. Browsing saja di rumah. Dijamin waktu akan berlalu dengan cepat tanpa terasa.

Ruang Kerja di Kantor

Begitu sadar dari lamunan, segera komputer kuhidupkan. Kumulai menjelajahi intranet untuk  melihat  informasi apa saja yang baru terbit dari kantor pusat. Selagi asyik mencari-cari, sekilas terbaca ada email masuk. Segera kubaca, ternyata ucapan selamat pagi dari Imam di Facebook (FB). Lalu kubalas sekenanya dengan jawaban singkat “morning too”. Setelah  itu  larut lagi dalam  pencarian. Tiba-tiba SMS masuk lewat ponsel. Ternyata dari Imam lagi. Dia minta kesediaan saya ikut rombongan mereka malam ini ke Gunung Bromo kalau  tidak pulang ke Jakarta. Dia menambahkan, peserta yang ikut hanya bujang lokal, tanpa keikutsertaan anggota keluarga.

Saya mulai menimbang-nimbang, mau pergi atau tidak. Dalam hati saya berkata: “Koq sepertinya Imam tahu kalau sore ini saya tidak balik?” Setelah mempertimbangkan sebentar, lalu kuambil keputusan. Langsung saya kasih jawaban bersedia untuk ikut. Hanya saya tekankan tidak keberatan asal tidak merepotkan. Tak lama dia langsung kirim informasi bahwa berangkat dari Surabaya sekitar pukul 21.00 malam. Tak lupa dia mengingatkan agar saya membawa pakaian tebal atau jacket, karena udara di pegunungan sangat dingin. Dia minta agar saya menunggu saja di rumah. Nanti malam mereka akan datang menjemput.

Sorenya tiba di rumah pulang dari kantor, saya langsung berkemas-kemas. Satu persatu  barang-barang keperluan kusiapkan untuk dibawa nanti. Habis itu saya mandi, lalu makan malam. Tepat pukul 19.00 semua sudah siap, tinggal menunggu keberangkatan. Menunggu sampai jam 21.00 tentu akan terasa lama. Komputer segera kuhidupkan untuk mengisi waktu sambil melihat-lihat status teman di FB. Beragam kebiasaan maupun perilaku facebooker ini. Tidak semua aktip mengupdate status. Ada yang rajin mengisi tiap hari,  ada pula melakukannya secara berkala. Namun tak sedikit membiarkan kosong begitu saja. Boleh jadi pemiliknya sibuk sehingga tak ada kesempatan untuk mengupdate status sendiri.

Sampai saat ini,  teman saya di  FB jumlahnya relatif sedikit dibanding pengguna lain. Memang tujuan utama menjadi pengguna semata-mata untuk memperlancar komunikasi dengan keluarga terutama anak-anak. Komunikasi lewat FB terasa lebih asyik ketimbang telepon atau SMS. Biayapun relatip lebih murah.  Hingga kini jumlah teman saya masih di bawah seratus orang. Jauh dibawah  pengguna lain yang punya ratusan bahkan ribuan teman. Bahkan cenderung meningkat dengan tambahnya teman baru. Muncul pertanyaan, bagaimana jika seluruh teman-teman ini rajin update status. Pasti butuh waktu banyak hanya untuk membaca saja. Belum lagi kalau kasih komentar, minimal buat teman yang perduli dan setia. Hitung-hitung  ungkapan rasa terima kasih karena dia masih menaruh perhatian dan menganggap kita sebagai teman.

Membuat teman baru di FB tidak sulit. Tinggal tambah lalu tunggu konfirmasi. Atau bisa orang lain yang menambahkan kita, tinggal kita mau atau tidak. Tetapi yang sulit adalah mengisi agar pertemanan berlanjut dan memberi manfaat. Tidak sekedar asal teman. Pengalaman justru membuktikan lain sehingga timbul  rasa galau dan kurang nyaman. Setelah mendapat  teman baru, saya selalu berusaha agar pertemanan bisa berjalan lebih akrab. Cara paling praktis adalah mengomentari status maupun foto-foto yang dia sodorkan. Tentu cukup wajar dan tidak berlebihan jika saya juga mengharapkan  tindakan serupa─meski kenyataannya tak bisa berharap terlalu banyak. Komunikasi akan berjalan dua arah, tampak ada niat baik sebagai teman,   dan tidak sekedar basa-basi.

Sering aku menemukan teman agak sulit dipahami. Pengguna lain barangkali juga pernah mengalami hal sama.  Telah kucoba  berbagai cara menjalin komunikasi namun serasa menghadapi tembok.  Dia kasih komentar? Jangan harap! Komentar kita atas sodoran dia saja tidak  direspon. Memang  tak ada keharusan mengomentari status orang lain.  Cuma kalau berteman wajar terjadi saling komunikasi. Tapi  agaknya mereka ini lebih senang jadi pusat perhatian. Lama-lama  timbul juga semacam keraguan, jangan-jangan saya dikira usil atau kurang kerjaan.  Sadar usaha saya percuma, tindakan ini akhirnya kuhentikan. Tapi kasus ini tampaknya belum apa-apa dibanding pengguna lain. Ada pengguna punya teman lebih dari seribu tetapi statusnya miskin komentar─ibarat pedagang,  sepi dari pembeli.

Seorang pengguna mestinya sadar, status yang disodorkan akan ditampung oleh pengguna lain. Begitu pula sebaliknya. Komputer penerima akan dibanjiri oleh status sodoran  pengguna lain─entah itu disukai atau tidak. Tidak jarang komputer menjadi lambat karena over kapasitas. Tetapi, jika pertemanan berlangsung baik resiko seperti ini tidak menjadi masalah. Malah semakin ramai terasa semakin menyenangkan. Resiko bisa diterima sebagai  buah dari suatu pertemanan. Yang penting jangan sibuk sendiri tanpa mau melirik sedikitpun status teman. Sodoran dari seorang pengguna egois apalagi bernada arogan jelas tidak diinginkan, bahkan bisa bikin mual.

Tengah saya tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba terdengar SMS masuk. Saya baca di ponsel, ternyata mereka sudah meluncur. Kini posisi mereka di Jalan Kayoon, sedang menuju ke tempat saya. Komputer langsung kumatikan, lalu menyambar tas. Saya   segera keluar untuk menyongsong, agar mereka tidak sampai menunggu. Tiba di mobil saya lihat hanya ada tiga orang. Imam, Sudaryadi dan Satpam kantor bertugas sebagai sopir. Satpam ini sebelumnya telah pernah berkunjung ke Bromo sehingga tidak ada keraguan akan tersesat dalam perjalanan. Satu hal paling penting adalah penguasaan lokasi. Semula saya sempat kuatir karena tak seorangpun dari kami bertiga pernah berkunjung kesana.

Saat mau berangkat kulirik jam, ternyata sudah pukul 21.45. Berarti terlambat berangkat dari jadwal semula. Sore tadi memang sempat turun hujan lebat di Surabaya sehingga beberapa ruas jalan digenangi air. Kenderaan banyak yang merubah arah mencari jalur lain untuk menghindari genangan. Rupanya kenderaan lain juga berbuat serupa. Bisa ditebak jalanan akhirnya menjadi macet karena terjadi penumpukan kenderaan. Imam juga sempat terperangkap cukup lama dalam kemacetan sepulang dari kantor.  Ini terbaca dari status  di Facebook. Disana dia teriak-teriak, ini masih Surabaya apa Jakarta? Barangkali keterlambatan ini  efek samping dari  kemacetan tadi sehingga molor 45 menit dari rencana semula.

Tiba di Sidoarjo kami berhenti untuk mengisi bahan bakar. Habis itu membeli beberapa makanan kecil sambil istirahat sebentar. Kebetulan ketiga teman saya ini adalah perokok. Momen ini mereka gunakan untuk melampiaskan hasrat yang agaknya telah tertahan sejak dari  tadi. Setengah jam kemudian kami meneruskan perjalanan. Situasi di jalan umumnya lancar, tidak terjadi kemacetan. Begitu pula di Porong, lokasi lumpur panas yang menenggelamkan sebagian wilayah Sidoarjo. Biasanya tempat ini selalu macet karena terdapat penyempitan jalan.

Masih jelas terbayang ketika melintas dari sini mau pergi wisata ke Batu Malang pada pertengahan 2006. Ketika itu lumpur belum menyembur di Porong, sehingga jalan tol arah Gempol masih utuh. Lama perjalanan dari Surabaya ke Malang dan sebaliknya hanya makan waktu lebih kurang satu jam. Namun kondisi sekarang amat jauh berbeda dan benar-benar memprihatinkan. Tiang penyangga jalan tol yang berdiri tepat di kolam lumpur secara perlahan turun dan amblas ke tanah. Begitu amblas badan jalan tol pun ikut-ikutan retak dan patah. Akhirnya jalan tol Sidoarjo–Gempol harus dibongkar karena mustahil bisa digunakan lagi.

Kini kami telah melewati wilayah Pasuruan. Tiba di sebuah jalan alternatip kami belok kanan lalu langsung menuju arah Probolinggo. Kondisi jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Udara mulai terasa dingin. Dalam mobil kami lebih banyak diam namun tidak ada yang tertidur. Mata mulai terasa berat namun terpaksa ditahan. Kuatir kalau tertidur, sopir juga ikut mengantuk. Sudaryadi kelihatan tidak bisa menahan kantuk. Dari tadi kelihatan mengangguk-angguk saja. Saya dan Imam—yang duduk di sebelah sopir—berusaha tetap terjaga. Jalan-jalan tampak sepi padahal baru pukul 22.00 malam. Agaknya warga lebih senang tinggal di rumah ketimbang menahan udara dingin di luar.

Pukul 24.15 kami tiba di Desa Ngadisari. Kami langsung berhenti tepat di depan sebuah hotel begitu melihat tanda larangan tidak boleh lewat. Beberapa pria tampak duduk mengelilingi api unggun. Pakaian tebal yang mereka kenakan seolah belum mampu menahan hawa dingin. Salah seorang bangkit lalu datang menghampiri. Dia mengatakan, izin lewat bagi kenderaan milik turis hanya sampai disini. Para  wisatawan yang ingin berkunjung ke puncak Bromo bisa menyewa salah satu kenderaan yang tersedia.  Tampak  puluhan jeep merk Toyota Hardtop berjejer rapi. Kenderaan ini agaknya armada khusus yang sengaja disiapkan untuk mengangkut turis. Menurut pria ini, jumlah kenderaan jenis ini ada 200 buah. Dalam hati saya berpikir: “Pantas jeep Toyota Hardtop sudah jarang terlihat berseliweran di Jakarta. Rupanya sebagian besar sudah dipindahkan kemari.”

Bersambung ke Bagian 2