Lalu kami masuk ke mobil. Posisi duduk tetap seperti semula. Hawa pegunungan kini tidak sedingin pagi tadi. Mobil mulai menurun mengikuti arah dari mana kami datang sebelumnya. Kini suasana agak santai, tidak setegang tadi pagi. Tadi pagi masih gelap dan berkabut sehingga tidak ingin membuka percakapan dengan sopir. Takut konsentrasi terganggu sehingga bisa membahayakan. Namun suasana kini sudah berubah, keadaan sekeliling sudah terang. Lama berdiam diri, kucoba membuka percakapan dengan sopir:
“Mas, sudah lama jadi sopir disini?” tanya saya.
“Kira-kira sepuluh tahun lebih,” sopir menjawab tetapi pandangannya tetap ke depan.
“Penduduk disini?”
“Ya, tinggal di Ngadisari.”
“Subuh tadi saat melintas melewati kabut, Mas kelihatan santai saja. Padahal, kita-kita ini sudah pada deg-degan?”
“Saya juga sedikit kuatir. Hanya saja jalur yang kita lalui cuma dataran pasir. Tak ada jurang maupun parit di tepi jalan. Paling mobil salah arah atau menabrak gundukan tanah. Lagi pula jejak roda masih terlihat jelas. Tinggal kita ikuti saja. Cuma harus hati-hati dan jalan musti pelan,” lanjutnya menjelaskan.
“Wah, pengalaman 10 tahun berarti sudah hapal benar tempat ini. Bahkan kalau tutup matapun masih ingat arah yang mau dituju!” seru saya memuji.
Dia hanya ketawa kecil. Lalu diam dan suasana hening kembali. Di belakang sama sekali tak terdengar suara. Barangkali tidur atau melamun? Bisa juga tutup mata lantaran takut mabuk. Jalan terus menurun dan berliku-liku. Kadang terlihat jurang amat dalam menganga di tepi jalan. Kelihatan jalan disini apalagi tepi jurang tidak semua pakai pagar pembatas sebagimana lazimnya jalan di pengunungan. Kalau tidak hati-hati, kenderaan bisa menerobos dan menyemplung masuk jurang. Bah, kalau sempat kejadian, bisa-bisa tak balik lagi ke Jakarta atau Pematang Siantar. Namun, saya percayakan saja pada sopir begitu pula kenderaan yang kami tumpangi. Tentu saja tidak lupa berdoa, semoga tetap dilindungi dalam perjalanan.
Tidak berapa lama, akhirnya kami tiba di laut pasir yang kami lintasi tadi pagi. Suasana telah berobah drastis dibanding sebelumnya. Udara cerah dan pemandangan sekitar kini terlihat dengan jelas. Benar-benar indah dan mengagumkan. Pagi tadi ketika dilihat dari puncak, tempat ini tampak begitu angker saat masih diselimuti kabut tebal. Kini kabut telah sirna, entah kemana. Sejauh mata memandang hanya ada laut pasir luas dengan latar belakang tebing gunung yang curam. Pemandangan lain yang tak kalah bagus adalah Gunung Batok. Sebelumnya tampak hitam kelam di balik awan putih tebal. Kini telah terbebas dari awan dan warna asli hitam kecoklatan terlihat dengan jelas.
Sesaat kemudian kami telah tiba di tempat parkir mobil. Lokasi parkir tidak jauh dari sebuah pura Hindu yang berdiri disana. Tampak mobil lain yang tiba lebih dahulu sudah terparkir. Sekarang mereka sedang menunggu penumpang yang sedang naik ke atas melihat kawah Tengger. Begitu turun dari mobil, kami langsung disambut oleh beberapa orang penunggang kuda. Mereka menawarkan untuk membawa kami ke atas sampai ke tangga menuju kawah. Saya telah diwanti-wanti oleh sopir kalau menyewa kuda pembayaran dilakukan setelah kami tiba kembali disini.
Sejenak saya memandang ke atas. Puncak Gunung Tengger cukup jauh dan jalan terus mendaki. Barangkali jaraknya ada satu kilometer. Bagaimana kalau saya coba jalan kaki dulu hingga sebatas saya mampu, baru naik kuda kalau tidak kuat lagi? Tidak apa-apa, soalnya hanya ingin menguji stamina saja. Apakah dengan usia segini saya masih kuat untuk bertualang ke atas sana? Lalu rencana ini saya utarakan pada teman-teman. Saya sarankan mereka boleh saja naik kuda kalau tidak kuat berjalan kaki. Tetapi merekapun agaknya ingin juga menguji kemampuan dan bersikukuh untuk ikut jalan kaki.
Kelihatan banyak pengunjung yang pergi berjalan kaki. Diantaranya para ibu serta orang tua. Kalau mereka saja mampu, kenapa kami tidak? Kami mulai melangkah dan berjalan menyusuri dataran berpasir. Begitu berjalan beberapa langkah, tiba-tiba tercium bau pesing dimana-mana. Rupanya kuda-kuda itu pada kencing disini. Hanya saja begitu kencing langsung terserap oleh pasir, sehingga tidak sampai tergenang. Kotoran kuda sendiri tidak terlihat berserakan. Boleh jadi pemiliknya diwajibkan untuk segera membersihkan apabila kudanya mengotori jalan.
Letak jalan menuju kawah Tengger persis bersebelahan dengan Gunung Batok. Kini bentuknya tampak jelas sekali dilihat dari jarak dekat. Cocok sekali dengan namanya Gunung Batok, bentuk maupun warnanya memang mirip tempurung kelapa yang terbalik. Permukaan gunung ini gundul, nyaris tak ditumbuhi apapun. Tumbuhan, kalaupun ada hanya di beberapa tempat berupa ilalang atau belukar di antara celah bebatuan. Kalau diperhatikan, gunung ini terlihat laksana sebuah onggokan cadas keras kokoh tersembul dari permukaan bumi. Mirip dengan foto gunung di permukaan Mars produksi NASA.
Antara jalan setapak menunju kawah dengan Gunung Batok dibatasi oleh lembah. Lembah ini tidak begitu dalam maupun curam. Tapi kalau sempat terperosok dan jatuh tergelincir, cadas keras dan tajam dengan celah sempit siap menampung di bawah sana. Pagar pengaman sekedar untuk pembatas di pinggir jalan tidak ada. Cukup berbahaya apabila naik kuda, bisa-bisa kudanya tergelincir masuk lembah. Tapi kemungkinan ini kecil sekali. Soalnya setiap kuda yang dinaiki oleh turis selalu dituntun oleh pemiliknya. Dia berjalan di depan sambil menarik tali kekang kuda yang mengikut dari belakang.
Kuda-kuda yang disewakan di tempat ini cukup banyak. Barangkali jumlahnya ada 100 ekor lebih. Para penunggang ini kelihatan sabar mengikuti orang-orang yang berjalan sambil menawarkan kudanya. Berbagai cara mereka lakukan untuk mempengaruhi pengunjung. Misalnya, ada yang mengatakan:
“Capek lho, Pak. Itu lihat, tempatnya jauh sekali di atas sana. Jalan harus mendaki lagi. Jarang ada orang yang mampu berjalan sejauh itu.”
Sudah bisa ditebak, makin dekat ke tujuan tarip sewa juga akan turun. Penunggang kuda yang dari tadi mengikuti saya juga bertindak demikian. Tiap saya melangkah sekitar 50 meter sewa juga diturunkan. Tetapi saya tetap menolak secara halus . Satu hal yang membuat saya terkesan, mereka kelihatan sabar biarpun tawarannya ditolak. Tindakan mereka cukup sopan, tidak terlihat ada pemaksaan.
Sejak berangkat dari tempat parkir, saya berjalan di depan dengan Sudaryadi. Imam dan sopir menyusul dari belakang dengan jarak sekitar 10 meter. Namun, semakin lama berjalan tampak kedua orang itu semakin jauh tertinggal di belakang. Bahkan sesaat kemudian tampak keduanya sudah terduduk di atas bebatuan. Agaknya mereka sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Wah, masih usia muda begini sudah ampun! Melihat mereka berhenti, segera kuajak Sudaryadi untuk istirahat sambil menunggu. Tapi dari jauh kelihatan Imam memberi tanda agar kami jalan terus, tidak usah menunggu mereka.
Sudaryadi rupanya sudah kebelet mau buang air kecil sejak tadi. Dia mulai mencari lokasi aman namun tak ada karena banyak orang. Kusarankan agar dia pergi ke balik batu besar saja, tidak usah jauh-jauh. Tak bakal ada yang mengintip. Memangnya siapa yang mau mengintip, dan apa yang mau diintip? Begitu dia berlalu, saya cari tempat duduk buat istirahat sejenak. Cukup lama saya menunggu, tetapi Sudaryadi belum muncul-muncul. Lho, si kawan ini kemana? Saya bangkit untuk mencari tahu, kenapa bisa sampai segitu lama. Tetapi, alamak! Hanya untuk pipis harus beranjak sampai sejauh 50 m?
Tak sabar lagi menunggu, akhirnya saya melanjutkan perjalanan. Seorang penunggang kuda tiba-tiba sudah membuntuti. Harga yang ditawarkanpun makin turun. Tetapi saya tolak. Kelihatan dari raut wajahnya dia kecewa namun tidak bilang apa-apa. Kujelaskan pada dia bahwa sekarang sudah tanggung naik kuda karena jarak hanya sekitar 50 m lagi. Kutambahkan lagi bahwa saya hanya ingin menguji kemampuan untuk berjalan sampai ke puncak. Sekembali dari kawah nanti kemungkinan saya akan naik kuda. Kusarankan agar dia mencoba mendatangi teman-teman yang tertinggal di belakang.
Akhirnya saya tiba di bawah tangga. Lalu istirahat sebentar sambil menaksir jarak yang harus ditempuh. Tampak ujung tangga di atas sana cukup jauh. Berarti perjuangan masih berat agar bisa lolos sampai final. (Lho, kayak Piala Dunia saja, pakai final segala!) Telah kutekadkan untuk menghitung anak tangga dari awal sampai akhir. Kabarnya telah banyak turis yang mencoba tetapi hasilnya tidak pernah sama. Menurut saya ini harus pakai kiat khusus, agar jawaban akurat. Lalu saya mulai melangkah menapaki anak tangga. Pada anak tangga ke-10 berhenti untuk istirahat—dan tentu saja agar tetap bisa fokus.
Bersambung ke Bagian 4