Nostalgia Masa Lalu dalam Perjalanan Malam

KA GumarangJumat sore, 5 Juni 2009 di kantor. Ditengah kesibukan melakukan tugas rutin  sehari-hari, tiba-tiba mata saya tertuju pada jarum jam di pergelangan tangan. Oh, ternyata sudah pukul 16.30. Berarti harus mulai berkemas-kemas karena harus segera pulang sore ini ke Jakarta. Kubenahi seluruh berkas yang berserakan di atas meja, lalu segera beranjak mandi. Ya, terpaksa mandi di kantor saja, kalau pulang ke rumah  tidak sempat lagi. Barang-barang bawaan telah kusiapkan ketika berangkat dari dari rumah tadi pagi. Tiket kereta api Gumarang untuk keberangkatan jam 17.30 juga telah kusiapkan sebelumnya. Berarti waktu yang tersisa untuk berkemas hanya satu jam  kalau tidak ingin ketinggalan kereta api.

Setelah segalanya siap, tepat jam 16.58 kuturuni anak tangga ke lantai satu. Tiba disana antrian orang-orang yang mau absen finger-print sudah memanjang. Yah, kelihatannya bukan cuma saya yang harus buru-buru. Beberapa rekan sekantor ada juga yang mau berangkat sore ini ke luar kota untuk berkumpul dengan keluarga masing-masing. Tinggal terpisah dengan anak isteri selama lima hari ─ bahkan ada yang lebih ─ jelas tidak menyenangkan. Nah, setiap tiba Jumat sore  tampak rekan-rekan yang semula kelihatan lesu tidak bersemangat, tiba-tiba saja  seakan-akan mendapatkan kekuatan baru untuk memulai perjalanan malam  menuju kota masing-masing.

Taksi yang akan membawa saya ke stasiun telah menunggu di halaman kantor. Seorang petugas cleaning service di kantor telah saya minta sebelumnya untuk memesankan sebuah taksi. Selesai absen langsung buru-buru menuju taksi lalu segera meluncur menuju stasiun kereta api Pasar Turi di Jalan Semarang. Jalan di depan Plaza Surabaya seperti biasa agak tersendat karena lalu lintas padat.  Tetapi itu tidak lama, masuk ke Jalan Gubernur Suryo lalu lintas lancar saja hingga  tiba di Jalan Semarang. Tepat di depan gerbang stasiun, saya minta sopir taksi agar tidak usah masuk ke dalam, karena saya masih punya waktu lima belas menit lagi.

Lewat pintu portir, saya berhenti sebentar di kantin stasiun. Saya siapkan bekal untuk makan malam berupa tiga potong roti dan sebotol  aqua, lalu segera bergegas menuju kereta. Tiba di tempat duduk, saya keluarkan buku dan headset dari tas, kemudian tas saya taruh di bagasi barang. Disamping saya duduk seorang pemuda, lalu kami berbasa-basi sebentar. Dia kelihatan lebih banyak diam sehingga saya mulai pasang perangkat untuk dengar musik lewat ponsel. Kubuka internet di ponsel untuk melihat status teman-teman di facebook, demikian juga email yang masuk. Tapi itu tidak lama, mata saya terasa mulai berat karena mengantuk. Tak lama kemudian saya telah tidur nyenyak.

Tiba-tiba teriakan orang-orang jualan yang naik ke dalam kereta membangunkan saya. Ternyata kami telah sampai di Bojonegoro. Puluhan orang jualan hilir mudik kesana kemari menawarkan barang dagangannya. Saya perhatikan hampir seluruh penumpang ─ dengan sedikit terkantuk-kantuk ─ hanya meng-gelengkan kepala ketika disodori barang. Kelihatan jelas, ada semacam kekecewaan di wajah mereka ketika terdengar peluit tanda kereta harus jalan sedang barang yang ditawarkan tidak ada yang membeli. Satu per satu mereka melompat turun dari kereta yang mulai berjalan perlahan, termasuk ibu-ibu pedagang yang kelihatan juga sudah terlatih untuk itu dan ikut melakukan hal yang sama.  Tidak lama kemudian, suasana sepi lagi dari hiruk pikuk para pedagang asongan. Saya sendiri melayang kembali ke alam mimpi diselingi oleh guncangan gerbong kereta api.

LedZeppelin1Persis ketika intro lagu Stairway to Heaven mulai menggema dari ponsel, saya terbangun. Lagu ini memang salah satu favorit saya yang dibawakan dengan manis oleh grup band asal Inggris ─ Led Zeppelin. Suara merdu vokalis Robert Plant sangat manis dalam melantunkan lagu diiringi petikan gitar Jimmy Page. Bait demi bait saya simak sehingga tanpa sadar ingatan saya kembali ke masa silam. Ya, kembali ke tahun 1974 ketika saya masih kuliah semester tiga di Universitas HKBP Nommensen Medan. Radio-radio amatir top pada masa itu seperti Bonsita, Kardopa dan Echo 541 hampir setiap saat memperdengarkan lagu ini. Lagu Stairway to Heaven diciptakan oleh Jimmy Page pada tahun 1972 dan cukup lama bertengger di puncak tangga lagu-lagu rock ketika itu.

Tahun itu saya indekost di sebuah rumah milik pasangan suami isteri orang Jawa di Jalan Gaharu Medan. Mereka adalah keturunan “pujakesuma” akronim dari Putera Jawa Kelahiran Sumatera. Hidup mereka bersahaja tetapi rukun. Satu buah kamar yang tersisa sengaja disewakan buat para mahasiswa yang ingin tinggal. Nah, di kamar saya ketika itu hanya ada buku-buku, pakaian dan barang-barang tetek bengek lainnya yang masih tergolong kebutuhan primer. Barang-barang elektronik tergolong semi mewah seperti radio atau taperecorder jelas saya tidak punya. Padahal saya sendiri adalah penggemar berat musik, istimewanya musik Rock.

Universitas NommensenTidak jarang saya harus membujuk-bujuk sang ibu kost agar bersedia meminjamkan radio barang sejenak untuk mendengar musik kesukaan saya. Kadang-kadang beliau baik, menaruh radio begitu saja di atas meja makan sehingga bisa dipakai kapan saja. Pada lain kesempatan ─ ini sudah barang tentu  sangat memusingkan ─ radionya disimpan dalam lemari terkunci dan hanya akan dikeluarkan apabila ingin mendengar lagu-lagu keroncong atau lagu India yang menjadi kesukaannya. Jelas saja sangat bertolak belakang dengan musik kesukaan saya. Sering baterai radio sampai saya sediakan sendiri, agar urusan pinjam-meminjam lancar tanpa kendala ─ karena sang ibu kost sering berkilah baterai radio sudah mau habis sementara dia perlu cadangan buat mendengar lagu kesukaannya.

Kembali ke grup band Led Zeppelin tadi. Tepat ketika masih berada pada puncak kejayaannya, tiba-tiba grup ini mengalami petaka dengan kematian tiba-tiba sang drummer andalan, John Bonham pada 1980. Dia ditengarai tewas akibat terlalu banyak menenggak alkohol. John Bonham memang terkenal seorang peminum berat. Dalam setiap perjalanan melakukan konser, sering dia membuat masalah apabila telah mabuk. Pernah dia melempar televisi keluar lewat jendela sebuah hotel dimana mereka menginap.

Kematian sang drummer  membuat grup ini menjadi kelimpungan. Tidak lama setelah peristiwa itu, Led Zeppelin ─ sebuah grup musik rock and blues  yang legendaris ─ akhirnya dibubarkan.  Mereka tidak mau mengambil risiko warna musik yang telah menjadi ciri khas selama ini akan  tercemar apabila  mendatangkan seorang drummer lain dari luar untuk menggantikan almarhum. Dalam bayangan anggota grup yang tersisa, tidak ada seorangpun yang bisa menyamai kehandalan John Bonham dalam urusan menggebuk drum. Peran sang drummer selama ini dinilai telah  menyatu membuat sebuah harmoni yang begitu sempurna dengan Robert Plant, Jimmy Page dan John Paul John.

Dan ini dia! Suara nyaring Robert Plant  terdengar lantang ketika melantunkan refrain diiringi hantaman drum John Bonham, dentuman bas John Paul John dan selingan irama ryhtm Jimmy Page yang begitu sempurna :

and as we wind on the down the road
our shadows taller than our soul
there walks a lady we all know
who shines white light and wants to show
how everything still turns to gold
and if you listen very hard
the tune will come to you at last
when all are one and one is all
to be a rock and not to roll …”

Ya, tidak mengada-ada kalau lagu ini cukup lama bertengger diatas tangga lagu-lagu rock masa itu. Menurut pengakuan Jimmy Page sendiri, inilah lagu terbaik yang pernah dia ciptakan. Ini memang kenyataan, tidak sekedar asbun ─ asal bunyi.

Ketika Robert Plant mengakhiri lagu ini dengan “and she’s buying a stairway to heaven…..,” saya masih termangu-mangu. Ingat pengalaman hidup saya semasa masih menjadi seorang mahasiswa di Medan dengan segala pahit getirnya. Tak terasa waktu telah merambat ke tahun 2009, berarti rentang waktu tiga puluh lima tahun setelah peristiwa itu. Terasa sekali banyak perbedaan saat ini bila dibandingkan dengan masa itu, tapi yang pasti, usia saya juga ikut bertambah sebanyak itu.

Banyak hal mengharukan saya alami selaku seorang mahasiswa paspasan dari segi ekonomi selama di Medan, sebaliknya tidak sedikit  peristiwa lucu dan menyenangkan. Yah, Stairway to Heaven dari Led Zeppelin telah mengembalikan ingatan saya ke masa lalu, ketika dalam perjalanan malam dari Surabaya menuju Jakarta dengan kereta api.