Selingan Manis Dalam Penantian

Pada Minggu pagi, 20 Desember 2009 pergi ke gereja bersama keluarga. Habis kebaktian, Kris dan Mia bergabung dengan pemuda lain. Mereka membahas  persiapan dalam rangka pelaksanaan Natal yang akan berlangsung Sabtu, 26 Desember 2009. Setelah itu kami langsung balik  ke rumah. Rencana sore ini hendak pergi ke Kelapa Gading di Jakarta Utara. Anak-anak minta ditemani  untuk belanja keperluan Natal. Agaknya barang yang mereka butuhkan tidak ditemukan di Cibubur maupun Depok, jadi harus jauh-jauh mencari kesana. Tapi bisa dimaklumi, mereka memang sudah familiar dengan kawasan itu.

Yah, musti bagaimana lagi? Mau tidak mau harus pergi. Kebetulan minggu ini aku sedang menjalani cuti. Kini cukup banyak waktu untuk berkumpul maupun bepergian dengan keluarga. Lain kalau pada hari-hari biasa ketika tidak cuti. Sepulang dari  gereja sudah harus langsung berkemas-kemas. Kalau tidak bakal ketinggalan kereta api yang akan berangkat sore ke Surabaya. Kebiasaan ini sudah rutin saya jalani selama 4 tahun bertugas disana. Oleh sebab itu, mumpung ada waktu senggang, harus betul-betul dimanfaatkan.

Tiba di rumah, kami segera makan siang. Habis itu istirahat sebentar. Anak-anak menyempatkan diri buka internet untuk melihat-lihat status di Facebook. Saat itu yang kuperlukan cuma satu hal, tidur lebih kurang 1 jam. Tadi malam susah tidur karena kepala terasa pusing. Aku kuatir, kalau tak tidur bisa mengantuk saat menyetir, terutama di jalan tol. Tepat pukul 14.15 kami berangkat dari rumah. Niel—anak paling tua— tadi pagi kebaktian di Cempaka Putih. Dia telah dihubungi, dan janji akan datang menyusul ke Kelapa Gading.

Ketika hendak berangkat, Kris bilang nanti sore pukul 16 akan ada latihan pemuda di gereja. Dia minta, kalau bisa sebelum pukul 16 sudah tiba di Cibubur. Aku sih oke-oke saja. Tetapi, apakah mungkin? Mustahil belanja bisa selesai dalam 1 jam, lokasinya di Jakarta Utara lagi. Menurut pengalaman sebelumnya, begitu tiba di Mal waktu akan terlupakan dalam seketika. Belum pernah kejadian, begitu barang telah  ditemukan langsung jadi. Biasanya harus putar sini putar sana dulu, baru bisa mengambil keputusan.

Yah, mudah-mudahan saja cepat selesai sesuai harapan. Bagi saya sendiri, cepat atau lambat tidak menjadi masalah. Yang penting mereka bisa mendapatkan apa yang mereka cari. Coba kalau tidak ketemu, berarti harus siap-siap untuk mencari ke Mal lain. Keputusan kali ini kuserahkan sepenuhnya pada anak-anak. Peran kami orangtua hanya sebatas menemani. Boleh jadi kasih saran, itupun kalau diminta. Tetapi yang pasti, sejumlah dana untuk keperluan belanja  mutlak sudah harus disiapkan sebelumnya.

Menuju tol Jagorawi, kami lewat pintu tol Cimanggis. Jalur ini sengaja kupilih menghindari kemacetan di Jalan Trans Yogi Cibubur. Situasi sepanjang jalan lancar kendati ada lubang di beberapa tempat sehingga kenderaan harus melambat. Namun tidak sampai terjadi kemacetan karena kenderaan yang melintas tidak begitu ramai. Perkiraan saya lewat Cimanggis ternyata tepat. Dari jalan tol terlihat jelas antrian kenderaan merayap dengan perlahan di  jalan layang menuju pintu tol masuk Jagorawi.

Dari jalan tol Jagorawi kami keluar di Cawang, lalu melaju lewat jalan By-Pass. Begitu tiba di Kelapa Gading, kami langsung ke pusat perbelanjaan. Suasana sekitar Mal cukup ramai sedang halaman parkir sudah terisi penuh. Kami mulai mencari tempat di dalam. Ternyata lantai dasar sudah terisi penuh. Lantai selanjutnya  kami telusuri, juga penuh. Bahkan jalan antara ruang parkirpun sudah berisi  mobil. Wah, gawat ini! Kalau begini bisa-bisa harus turun lagi, lalu mulai mencari lagi dari awal. Pekerjaan ini tampaknya sepele, tetapi cukup berat. Kini tinggal satu lantai lagi. Seandainya penuh juga apa boleh buat, siap-siap untuk turun.

Ternyata kami telah tiba di atap gedung. Kawasan ini merupakan  ruang terbuka tanpa atap yang dijadikan tempat parkir. Rupanya tempat disinipun sudah dipenuhi oleh kenderaan. Tetapi mujur, sebuah mobil sedan tampak  mau keluar. Begitu dia keluar, kami langsung menggantikan tempatnya. Di belakang kami ternyata masih ada beberapa kenderaan yang antri mencari tempat parkir. Sudah bisa diduga mereka harus turun lagi, kecuali bernasib baik mendapatkan tempat kosong disini.

Tiba di dalam Mal, aku segera memisahkan diri. Isteri dan anak-anak kuminta agar langsung mendatangi gerai yang hendak dituju. Aku sendiri akan menunggu di Gramedia karena tidak kuat kalau harus ikut jalan berkeliling bersama mereka. Berdiri terlalu lama akan membuat saya merana karena pinggang akan terasa sakit. Lebih baik aku berkeliling saja melihat-lihat buku sambil santai. Bila sudah kepayahan sementara tempat duduk tidak ada, aku bisa jongkok sambil membaca buku.

Telah  1 jam lebih  aku berkeliling di Gramedia. Sebagian besar rak buku telah saya kunjungi terutama mengenai pajak, akuntansi, komputer, dan blogging. Namun kali ini saya bermaksud untuk melihat-lihat saja, tidak ada niat untuk membeli. Beberapa buku yang kubeli  jauh hari sebelumnyapun belum sempat terbaca. Masih terbungkus rapi dalam sampul plastik. Kebiasaan saya memang begitu. Buku yang baru dibeli sementara disimpan dulu. Begitu ada waktu senggang, baru dibaca sampai habis.

Ketika sedang asyik melihat-lihat isi etalase, tiba-tiba Ari—putra bungsu—sudah berada di sampingku. Kutanya apakah barang yang dia cari sudah dapat, ternyata dijawab belum. Lho, ngapain terus datang kesini kalau belum dapat? Dia bilang sudah capek mencari kesana kemari tetapi tidak ada yang cocok.  Masa di Mal segini luas tak ada satupun yang cocok? Lalu kuminta dia agar berusaha mencari  lagi di tempat lain. Saat senggang untuk belanja seperti ini amat terbatas, jadi harus digunakan mumpung ada kesempatan.

Setelah puas berkeliling sambil melihat-lihat, aku membeli sebuah buku catatan saku lalu keluar dari Gramedia. Selanjutnya waktu kuisi  dengan berjalan berkeliling. Cuci mata  melihat-lihat barang di gerai maupun tingkah polah para pengunjung. Situasi di dalam Mal tampak semakin ramai. Orang pada sibuk berlalu-lalang kesana kemari. Namun sialan, pinggang saya secara perlahan terasa mulai sakit karena kebanyakan jalan dan berdiri. Mata mulai jelalatan mencari-cari cafe agar bisa duduk istirahat sambil menikmati segelas kopi.

Tepat ketika aku melintas saat mencari-cari cafe,  seorang bocah laki-laki tampak sedang bernyanyi. Dia membawakan lagu-lagu rock Indonesia masa kini. Penampilannya amat memukau dengan gaya dan suara layaknya seorang rocker sejati. Yang mengagumkan,  semua lagu betul-betul dia kuasai dan dinyanyikan luar kepala. Ada tiga buah lagu yang dia nyanyikan sejak saya tiba disana.  Dia bernyanyi diiringi oleh musik pengiring yang telah terekam dalam sebuah laptop. Banyak pengunjung yang berhenti untuk menonton  karena merasa tertarik dengan penampilan anak ini.

Ternyata anak ini hanya seorang tamu dadakan di Charlie Eagles—sebuah grup musik asal Amerika. Selesai bernyanyi, dia langsung pamit setelah disalami oleh Charlie—pimpinan kelompok. Grup ini menempati sedikit ruang di lantai Mal untuk peragaan dan penjualan CD rekaman. Seperangkat alat musik tampak terpasang disana. Yang menarik adalah Zamponas, alat musik  tradisional Indian. Terbuat dari bambu mirip  angklung, tetapi ditiup. Sebuah topi kebesaran kepala suku Indian tampak tergantung anggun pada tangkai pengeras suara. Setiap kru mengenakan pengikat kepala, rompi, dan atribut khas Indian lainnya. Seluruh atribut ini didominasi oleh warna coklat—warna khas Indian.

Zamponas / Gonzalo Cortes

Tidak jauh dari sana kulihat ada sebuah bangku panjang terbuat dari kayu. Muat 8 orang, masing-masing 4 orang duduk saling membelakangi.  Agaknya khusus disediakan buat pengunjung yang butuh istirahat setelah penat berbelanja. Kebetulan ada tempat kosong sehingga saya langsung duduk. Kini aku bisa  istirahat sambil menikmati musik Charlie Eagles. Lagu-lagu instrumental  yang mereka bawakan terdengar syahdu dan sangat menyentuh. Tentu suasana ini tidak terlepas dari peran Charlie—seorang keturunan Indian Amerika yang meniup Zamponas dengan begitu sempurna dan penuh penghayatan.

Satu Zamponas hanya bisa membawakan satu nada dasar. Ketika hendak membawakan lagu dengan nada dasar lain, tampak Charlie menggunakan  Zamponas yang lain. Disamping Zamponas, alat musik lain yang ada hanya gitar.  Maka ketika membawakan sebuah lagu, hanya ada dua orang yang tampil. Bunyi  instrumen musik lainnya sudah terekam dalam laptop. Anggota kelompok selebihnya adalah dua orang wanita yang  bertugas untuk administrasi dan menjajakan barang dagangan. Kedua wanita ini memakai sepatu bot yang tingginya sampai sebatas lutut.  Warna pakaian yang mereka kenakan juga bernuansa kecoklatan.

Cukup lama aku duduk sambil menikmati permainan mereka. Kemudian Kris  saya hubungi lewat HP, apakah sudah selesai belanja atau belum. Ternyata belum. Dia bilang Niel baru saja tiba dan kini mereka sedang sibuk membantu mencari barang yang dia perlukan.  Bersamaan ketika kelompok musik ini beristirahat, sayapun mulai keliling lagi. Rasa sakit di pinggang sudah tidak terasa lagi. Malah kini pantat yang sakit karena kebanyakan duduk. Oalah, berdiri lama salah, duduk lama juga salah!

Niat untuk minum kopi akhirnya saya batalkan. Lebih baik menunggu anak-anak selesai belanja, lalu makan Pempek Palembang bersama-sama. Tak sengaja aku melihat penjual Pempek ketika mencari-cari ATM Mandiri di lantai dasar. Keinginan untuk makan Pempek selalu timbul setelah terbiasa makan makanan ini selama 3 tahun lebih  bertugas di Bengkulu. Tempat makan Pempek yang menjadi favourit  saya ketika itu adalah di  Jalan Todak  samping  Gereja Katolik sambil menunggu anak-anak pulang dari sekolah.

Ingat Pempek, tak terasa air liurpun mulai mengalir. Kuhubungi Kris lagi, ternyata belum selesai juga. Dia bilang sebentar lagi. Saya pesankan, bila selesai nanti agar kumpul semua di depan Gramedia. Lalu aku balik lagi ke Charlie Eagles, ternyata mereka sudah main lagi. Aku hanya menonton dari kejauhan sambil berdiri menyandarkan kedua tangan ke pagar pembatas balkon. Kali ini mereka bermain cukup lama. Lagu demi lagu instrumental mengalir seiring dengan tiupan Zamponas oleh Charlie yang mendayu-dayu.

Tiba-tiba HP saya berbunyi. Ternyata dari Kris. Dia memberi tahu, kini mereka ada di depan Gramedia. Aku  segera menyusul kesana. Saat mau tiba disana  baru terpikir untuk membeli sebuah CD rekaman Charlie Eagles. Tapi saya urungkan karena hari sudah mulai malam. Kapan-kapan bisa dicari di toko-toko musik, kemungkinan besar ada dijual disana. Tiba di Gramedia ternyata sudah lengkap menunggu. Mereka segera kuajak makan Pempek  di lantai dasar. Oh, kelihatan mereka senang sekali. Barangkali  masing-masing sudah lapar karena belum makan padahal sudah lewat waktu makan malam.

Tiba disana kami langsung pesan makanan. Namun harus menunggu  sebentar karena meja-meja masih terisi. Setelah ada meja kosong, kamipun duduk. Tak lama pesananpun datang, lalu kami mulai makan. Pempeknya terasa lezat, tidak berbeda jauh dengan aslinya dari Palembang. Dalam tempo singkat makanan telah ludes tak bersisa. Mata dan mulut Ari sampai memerah  karena kepedasan. Sengaja kami pesan secukupnya agar tidak ada yang terbuang percuma. Kalau masih ada yang merasa kurang, bisa minta tambah lagi. Ternyata semua telah kenyang, dan kini adalah saatnya untuk pulang.

Empat Bersaudara Habis Makan Pempek

Ketika mau pulang jam telah menunjukkan pukul 21.15. Berarti kami telah berada disana selama 5 jam lebih. Sebuah penantian panjang yang butuh kesabaran ekstra. Untung ada selingan pengisi waktu sehingga waktu berlalu tanpa terasa. Disamping melihat-lihat buku di Gramedia,  terasa amat berkesan adalah suguhan musik manis dari Charlie Eagles. Tampil apa adanya, jauh dari hura-hura. Bila pengunjung mulai sepi, Charlie segera meniup Zamponas lalu orangpun berdatangan. Setiap selesai membawakan lagu, tak lupa dia menyapa pengunjung dengan ucapan:  “Terima Kasih dan Selamat Malam!”
.

Surabaya, 29 Desember 2009 – Oleh Farel M. Sinaga

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 4

Setiap menaiki 10 anak tangga langsung berhenti. Lalu jari tangan saya lipat 1. Demikian kulakukan seterusnya. Tiap 10 anak tangga lantas berhenti lalu melipat jari lagi satu.  Tepat pada anak tangga ke-40 seorang anak gadis tampak berdiri. Dia lagi istirahat sambil bersandar pada tiang tangga. Napasnya tersengal-sengal kelelahan. Tiba disini, mau tak mau aku harus berhenti.  Kalau tidak hasil perhitungan bisa buyar. Terlihat jelas dia protes ketika saya memaksakan diri untuk berhenti.

Begitu saya berhenti sehingga harus berdiri berdesakan, lalu dia bilang:

“Aduh, Paaak! Koq berhenti disini, sempit sekali. Bapak tolong naik ke atas saja!” Maksudnya anak tangga ke-41. Langsung aku pasang aksi, seolah-olah tidak tahan lagi.

“Sorry!  Tidak tahan lagi, Dik. Habis tenaga, nanti malah bisa ambruk disini,” jawab saya pura-pura ngosngosan.

Kelihatan dia bisa terima lalu mengalah. Dia  lantas naik satu tingkat ke anak tangga 41. Dalam hati saya amat berterima kasih. Gadis ini  begitu baik sehingga hitungan  sejauh ini masih fokus. Pada anak tangga  100, seluruh jari tangan saya sudah terlipat. Lalu aku mendongak ke atas. Astaga, ternyata ini masih separuh jalan. Masih ada seratus lebih anak tangga lagi yang harus saya daki. Menyerah? Hoho, tidak! Tak ada istilah untuk menyerah. Lagi pula  puncak sudah di depan mata, dan pekerjaan ini akan segera berakhir.

Kini kesepuluh jari tangan sudah terlipat. Kalau ada orang memperhatikan kelakuan saya pasti merasa geli. Dua-dua tangan terkepal seolah mau main tinju. Tapi, bodo amat!      Sebenarnya saya mampu menapaki 20 anak tangga sekaligus tanpa istirahat. Cuma salah-salah perhitungan bisa buyar dan perjuangan sia-sia. Pada anak tangga 110 seluruh jari diluruskan kembali. Seratus besar kusimpan di otak. Lalu mulai melipat satu jari lagi dari awal. Tiba di anak tangga 200 ternyata jalan masih panjang. Berarti jari harus diluruskan untuk memulai hitungan 210. Kini 200 besar sudah tersimpan aman di otak. Wah, pekerjaan ini cukup asyik dan menantang!

Akhirnya saya lolos ke final pada hitungan 51. Berarti seluruh anak tangga ada 251 buah. Tentu bisa jadi bahan cerita dengan teman-teman setiba di Surabaya nanti. Atau, bahkan ke anak cucu. Siapa tahu kalau diberi usia panjang? Tiba di atas saya langsung terduduk. Capek baru terasa setelah tujuan tercapai. Tadi semangat begitu bergelora sehingga tak terpikir sama sekali bahwa pendakian ini merupakan suatu pekerjaan berat. Rasa ingin tahu melihat kawah kutahan dulu untuk menenangkan diri sambil menunggu tenaga pulih kembali.

Tak lama rasa letihpun hilang. Mataku mulai mencari posisi teman-teman di bawah sana. Ternyata mereka masih jauh dari tangga. Kini mereka bertiga sudah bergabung dan berjalan bersama. Lalu saya bangkit dan mendekat ke pagar pembatas untuk memandang ke kawah. Tampak asap putih tebal mengepul dari dalam. Lobang kawah sama sekali tidak kelihatan karena tertutup asap. Kucoba memandang dari posisi lain, hasilnya sama. Sudah itu aku mulai mengambil foto-foto. Kumulai dari kawah lalu pemandangan  Lautan Pasir dan Puncak Bromo di kejauhan. Udara saat itu sangat cerah sehingga foto yang dihasilkan cukup bagus.

Asap Putih Mengepul dari Kawah Tengger

Puas mengambil foto saya bersandar lagi pada pagar pembatas sambil memandang ke kawah. Kemudian saya mencari-cari ke bawah tangga, ingin tahu mereka sudah sampai dimana. Ternyata hanya Sudaryadi yang terlihat melangkah naik. Imam dan sopir sedang  berhenti tepat pada pertengahan tangga. Mereka berdua agaknya tidak bersemangat lagi untuk mencapai puncak. Sambil menunggu Sudaryadi, saya bangkit lalu memutar untuk melihat kawah dari sisi lain. Tetapi tidak ada ruang kosong untuk memandang. Sepanjang pagar pengaman dipadati oleh pengunjung yang memandang maupun foto-foto.

Tiba-tiba angin berembus kencang sambil berputar. Asap putih dalam kawah semula tenang lalu terangkat naik dan bertebaran mengenai orang disekitar itu. Mata saya terasa perih terkena asap dan napas sesak. Bau asap belerang itu amat menyengat. Sambil menutup mulut dan hidung aku berlari ke arah tangga. Pengunjung lain juga melakukan hal yang sama. Sudaryadi baru saja tiba ketika saya mau turun. Kuminta dia ikut turun segera karena situasi sekitar kawah cukup berbahaya. Lantas dia ikut turun tanpa sempat melihat kawah, walau sesaat.

Tangga Menuju Kawah Tengger

Sekitar 15 menit berlalu situasi tenang kembali. Rupanya anginnya tidak lama. Meskipun begitu orang-orang tetap saja turun. Sambil turun kami saling mengambil foto di tangga sebagai kenangan. Cukup memprihatinkan, perjuangan Imam dan sopir pada kesempatan berharga ini hanya separuh tangga. Mereka harus rela pulang tanpa menjejakkan kaki di puncak Tengger. Setiba di bawah para penunggang kuda sudah berebutan hendak menyongsong. Tanpa pikir panjang kuputuskan kali ini naik kuda saja. Badan sudah terlalu penat untuk dipaksa jalan kaki. Kupesan empat ekor kuda sambil menanyakan harga. Tawar menawarpun terjadi. Setelah tercapai kesepakatan, kamipun segera naik.

Ternyata naik kuda tidak segampang yang kukira. Sebelum berangkat pemilik kuda memang telah memberitahu cara maupun posisi duduk ketika jalan menurun. Mula-mula  terasa gamang dan sedikit takut. Kuatir ketika sedang menurun sedang di sisi jalan sebelah kiri terdapat lembah. Kalau terjatuh dari kuda saja mungkin tidak begitu berbahaya. Bagaimana kalau kuda tergelincir lalu ambruk ke lembah? Namun perasaan  ini hanya sesaat. Tak lama saya mulai terbiasa dan sedikit tenang. Barangkali pengalaman  menunggang kerbau semasa kecil di kampung halaman di Sarimatondang Kabupaten Simalungun turut membantu.

Setelah bisa mengendalikan diri, pemilik kuda kutanya:

“Mas, sehari bisa berapa kali bolak balik dari bawah ke atas?”

“Yah, kalau banyak pengunjung sampai enam kali bisa.”

“Enam kali? Tidak sedikitpun merasa capek? Kami baru sekali ini saja sudah ampun. Bahkan, ada yang tidak berhasil sampai ke puncak.”

“Sudah biasa, Pak. Sejak kecil sudah terbiasa jalan kesana. Tidak masalah.”

“Ada berapa ekor kuda sewaan disini?”

“Lebih kurang seratus.”

“Kudanya jenis apa?”

“Kuda Sumbawa.”

“Kuda-kuda ini asli dari Sumbawa atau sudah lahir disini?”

“Asli dari Sumbawa. Entah kenapa kuda yang lahir disini tidak kuat dipakai untuk bekerja. Padahal jenisnya sama.”

“Orang Tengger itu sebenarnya ada dimana?”

“Saya salah satunya. Seluruh penunggang kuda disini serta pengemudi mobil Hardtop adalah orang Tengger.”

“Berarti mereka semua termasuk Mas adalah penganut agama Hindu?”

“Ya, benar!”

Dalam hati saya memuji kelincahan dan kekuatan orang ini. Tapi, bila diperhatikan pemilik kuda lainpun memiliki kemampuan sama. Gerakan mereka cukup gesit dan lincah. Postur tubuh memang cocok dengan alam setempat. Tinggi badan umumnya sedang dan perawakan  langsing─bukan berarti kurus. Tak seorangpun kelihatan gemuk. Bisa jadi pengaruh alam yang keras menempa mereka jadi seperti itu. Bagi pendatang, berjalan tanpa membawa apapun harus istirahat sampai beberapa kali. Sebaliknya mereka kelihatan biasa saja. Tetap mantap ketika jalan kaki sambil menuntun kuda bahkan pada jalan mendaki sekalipun.

Foto di Laut Pasir dengan Latar Belakang Puncak Bromo

Lebih kurang setengah jam kemudian kami tiba di mobil. Setelah kumpul, kami berfoto  dengan latar belakang puncak Bromo. Selesai foto langsung menuju  mobil untuk kembali ke hotel. Kami harus gedor-gedor pintu mobil karena ternyata sang sopir lagi tidur nyenyak. Dia segera terbangun sambil minta maaf. Lalu kamipun berangkat. Dalam perjalanan kami ditanya, apakah masih ingin melihat tempat lain sekedar berfoto? Kuminta pendapat teman-teman. Ternyata mereka lebih suka langsung ke hotel saja.

Dalam perjalanan kami melewati rombongan penunggang kuda yang mau pulang. Berjalan beriringan laksana cowboy dalam film Western. Bedanya, mereka tidak pakai topi sombrero. Tampak dua orang penunggang memacu kudanya kencang-kencang di hamparan pasir yang luas. Asyik juga kalau lautan pasir ini dijadikan arena reli maupun ajang lomba pacuan kuda.

Menuju Mobil Mau Balik ke Hotel

Tak sampai satu jam kami sudah masuk perkampungan Ngadisari. Langit kelihatan mendung kehitaman tanda hujan akan turun. Tepat pukul 11.00 kami tiba di hotel. Sisa rekening sewa kenderaan berikut kamar hotel segera kami lunasi. Jam chek-out hotel adalah pukul 13.00, berarti masih ada waktu 2 jam untuk istirahat sambil kemas-kemas. Makan siang kami putuskan dalam perjalanan saja. Sisa roti yang dibeli tadi malam masih banyak tersisa. Cukup untuk menopang perut sebelum tiba waktu makan siang.

Pukul 12.30 kami mulai siap-siap. Seluruh barang-barang kami masukkan dalam mobil. Kami cek ulang sekali lagi memastikan tak ada yang terlewatkan. Setelah semua beres, kami masuk mobil. Belum sempat masuk hujan sudah turun. Memasuki jalan raya sampai keluar perkampungan hujan semakin lebat. Sepanjang jalan arah Probolinggo kabut mulai turun. Gunung sebelah kiri maupun kanan jalan tidak kelihatan sama sekali karena tertutup kabut tebal. Sayang sekali panorama indah pegunungan ini tidak bisa kami nikmati. Tiba di kota Probolinggo hujan baru reda. Bahkan kontras dengan apa yang kami alami barusan. Kini kami melaju di bawah terik matahari dan jalan sedikit berdebu.

Sebelum kota Pasuruan kami berhenti di depan sebuah restoran untuk makan siang. Mobil travel tumpangan Sudaryadi rupanya sering singgah disini sepulang dari Denpasar. Restoran itu cukup bagus dan bersih. Pelayanan cukup prima. Masakan juga lezat terutama tempe goreng yang dipotong agak besar. Ketika disuguhkan masih terasa panas. Harus menunggu sejenak sebelum bisa dilahap. Lupa nama restoran itu, tetapi agaknya cukup terkenal. Mobil yang singgah banyak pakai plat luar daerah Pasuruan. Ada dari Bali, Surabaya, Mojokerto, Semarang, bahkan dari Jakarta. Tetapi yang pasti meski sudah payah mencari-cari, plat BK asal daerah saya di Sumatera Timur tidak ada.

Habis makan kami melanjutkan perjalanan. Situasi dalam perjalanan lancar, tidak ada kendala. Masuk Gempol jalan mulai tersendat. Terdapat antrian kenderaan cukup panjang. Penyebab kemacetan bisa ditebak, pasti akibat tertahan di sekitar danau lumpur Porong Sidoarjo. Lambatnya arus kenderaan menyebabkan kebosanan dan rasa kantuk. Tambahan lagi baru makan siang, biasanya jam begini sudah tidur sebentar. Cuma kami tak berani tidur, takut sopir ikut mengantuk. Imam yang duduk di depan berusaha tetap terjaga. Sekali-sekali dia mengajak sopir mengobrol. Bagaimana pula Sudaryadi? Sobat ini dari tadi sudah mimpi. Kelihatan lelap sekali, tak ingat apa-apa lagi.

Tepat di Pujasera pinggir jalan tol kami berhenti. Mau istirahat sebentar sambil minum kopi. Teman-teman ambil kesempatan untuk merokok. Ada setengah jam lebih kami disana. Tepat pukul 15.30 kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari tol lalu langsung masuk Surabaya. Saya diantar lebih duluan ke rumah. Begitu saya turun mereka pamit, bilang mau langsung pulang. Tampaknya Imam  tak sabaran lagi mau ketemu si Kecil di rumah.

Tiba di kamar, tubuh terasa lunglai akibat kelelahan. Tidak lama saya terlelap. Tidur nyenyak sampai malam. Dalam tidur saya bermimpi menulis status di Facebook: “Pulang dari perjalanan ke Bromo, kini badan pegal linu. Selamat malam sahabat, semoga mimpi indah. Mau oleh-oleh dari sana? Sebentar gua kirimkan, pokoknya sip, deh!” Tiba-tiba saya terbangun, kaget. Mimpi koq menulis status. Janjikan oleh-oleh lagi. Oleh-oleh apaan? Hm… barangkali sharing bisa juga, sekedar bagi-bagi pengalaman. Wah, benar-benar sudah terobsesi dengan Facebook!

Surabaya, 14 Desember 2009 – Oleh Farel M. Sinaga

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 3

Lalu kami masuk ke mobil. Posisi duduk tetap seperti semula. Hawa pegunungan kini tidak sedingin pagi tadi. Mobil mulai menurun mengikuti arah dari mana kami datang sebelumnya. Kini suasana agak santai, tidak setegang tadi pagi. Tadi pagi masih gelap dan berkabut sehingga tidak ingin membuka percakapan dengan sopir. Takut konsentrasi  terganggu sehingga bisa membahayakan. Namun suasana kini sudah berubah, keadaan sekeliling sudah terang. Lama berdiam diri, kucoba membuka percakapan dengan sopir:

“Mas, sudah lama jadi sopir disini?”  tanya saya.

“Kira-kira sepuluh tahun lebih,” sopir menjawab tetapi pandangannya tetap ke depan.

“Penduduk disini?”

“Ya, tinggal di Ngadisari.”

“Subuh tadi saat melintas melewati kabut, Mas kelihatan santai saja. Padahal, kita-kita ini sudah pada deg-degan?”

“Saya juga sedikit kuatir. Hanya saja jalur yang kita lalui cuma dataran pasir. Tak ada  jurang maupun parit di tepi jalan. Paling mobil salah arah atau menabrak gundukan tanah. Lagi pula jejak roda masih terlihat jelas. Tinggal kita ikuti saja. Cuma harus hati-hati dan jalan musti pelan,” lanjutnya menjelaskan.

“Wah, pengalaman 10 tahun berarti sudah hapal benar tempat ini. Bahkan kalau tutup matapun masih ingat arah yang mau dituju!” seru saya memuji.

Dia hanya ketawa kecil. Lalu diam dan suasana hening kembali. Di belakang sama sekali tak terdengar suara. Barangkali tidur atau melamun? Bisa juga tutup mata lantaran takut mabuk. Jalan terus menurun dan berliku-liku. Kadang terlihat jurang amat dalam menganga di tepi jalan. Kelihatan jalan disini apalagi tepi jurang tidak semua pakai pagar pembatas sebagimana lazimnya jalan di pengunungan. Kalau tidak hati-hati, kenderaan bisa  menerobos dan menyemplung masuk jurang. Bah, kalau sempat kejadian, bisa-bisa tak balik lagi ke Jakarta atau  Pematang Siantar. Namun, saya percayakan saja pada sopir begitu pula kenderaan yang kami tumpangi. Tentu saja tidak lupa berdoa, semoga tetap dilindungi dalam perjalanan.

Tidak berapa lama, akhirnya kami tiba di laut  pasir yang kami lintasi tadi pagi. Suasana telah berobah drastis dibanding sebelumnya. Udara cerah dan pemandangan sekitar kini terlihat dengan jelas. Benar-benar indah dan mengagumkan. Pagi tadi ketika dilihat dari puncak, tempat ini tampak begitu angker saat masih diselimuti kabut tebal. Kini kabut telah sirna, entah kemana. Sejauh mata memandang hanya ada laut pasir luas dengan latar belakang tebing gunung yang curam.  Pemandangan lain yang tak kalah bagus adalah Gunung Batok. Sebelumnya tampak hitam kelam di balik awan putih tebal. Kini telah terbebas dari awan dan warna asli hitam kecoklatan terlihat dengan jelas.

Sesaat kemudian kami telah tiba di tempat parkir mobil. Lokasi parkir tidak jauh dari sebuah pura Hindu yang berdiri  disana. Tampak mobil lain yang tiba lebih dahulu sudah terparkir. Sekarang mereka sedang menunggu penumpang yang sedang naik ke atas melihat kawah Tengger.  Begitu turun dari mobil, kami langsung disambut oleh beberapa orang penunggang kuda. Mereka menawarkan untuk membawa kami ke atas sampai ke tangga menuju kawah. Saya telah diwanti-wanti oleh sopir kalau menyewa kuda pembayaran dilakukan setelah kami tiba kembali disini.

Jalan Menuju Kawah Tengger

Sejenak saya memandang ke atas. Puncak Gunung Tengger cukup jauh dan jalan terus mendaki. Barangkali jaraknya ada satu kilometer. Bagaimana kalau saya coba jalan kaki dulu hingga sebatas saya mampu, baru naik kuda kalau tidak kuat lagi? Tidak apa-apa, soalnya hanya ingin menguji stamina saja. Apakah dengan usia segini saya masih kuat untuk bertualang ke atas sana? Lalu rencana ini saya utarakan pada teman-teman. Saya sarankan mereka boleh saja naik kuda kalau tidak kuat berjalan kaki. Tetapi merekapun agaknya ingin juga menguji kemampuan dan bersikukuh untuk ikut jalan kaki.

Kelihatan banyak pengunjung yang pergi berjalan kaki. Diantaranya para ibu serta orang tua. Kalau  mereka saja mampu, kenapa kami tidak? Kami mulai melangkah dan berjalan menyusuri dataran berpasir. Begitu berjalan beberapa langkah, tiba-tiba tercium bau pesing dimana-mana. Rupanya kuda-kuda itu pada kencing disini. Hanya saja begitu kencing langsung terserap oleh pasir, sehingga tidak sampai tergenang. Kotoran kuda sendiri  tidak terlihat berserakan. Boleh jadi pemiliknya diwajibkan untuk segera membersihkan apabila kudanya mengotori jalan.

Gunung Batok Dilihat Dari Dekat

Letak jalan menuju kawah Tengger persis bersebelahan dengan Gunung Batok. Kini bentuknya tampak jelas sekali dilihat dari jarak dekat. Cocok sekali dengan namanya Gunung Batok, bentuk maupun warnanya memang mirip tempurung kelapa yang terbalik. Permukaan gunung ini gundul, nyaris tak ditumbuhi apapun. Tumbuhan, kalaupun ada hanya di beberapa tempat  berupa ilalang atau belukar di antara celah bebatuan. Kalau diperhatikan, gunung ini terlihat laksana sebuah onggokan cadas keras kokoh tersembul dari permukaan bumi. Mirip dengan foto gunung di permukaan Mars produksi NASA.

Lembah antara Jalan Ke Kawah dan Gunung Batok

Antara jalan setapak menunju kawah dengan Gunung Batok dibatasi oleh lembah. Lembah ini tidak begitu dalam maupun curam. Tapi kalau sempat terperosok dan jatuh tergelincir, cadas keras dan tajam dengan celah sempit siap menampung di bawah sana. Pagar pengaman sekedar untuk pembatas di pinggir jalan tidak ada. Cukup berbahaya apabila naik kuda, bisa-bisa kudanya tergelincir masuk lembah. Tapi kemungkinan ini kecil sekali. Soalnya setiap kuda yang dinaiki oleh turis selalu dituntun oleh pemiliknya. Dia berjalan di depan  sambil menarik tali kekang kuda yang mengikut dari belakang.

Rombongan Turis Dilihat Dari Tebing Kawah

Kuda-kuda yang disewakan di tempat ini cukup banyak. Barangkali jumlahnya ada 100 ekor lebih. Para penunggang ini kelihatan sabar mengikuti orang-orang yang berjalan sambil menawarkan kudanya. Berbagai cara mereka lakukan untuk mempengaruhi pengunjung. Misalnya, ada yang mengatakan:

“Capek lho, Pak. Itu lihat, tempatnya jauh sekali di atas sana. Jalan harus mendaki lagi. Jarang ada orang yang mampu berjalan sejauh itu.”

Sudah bisa ditebak, makin dekat ke tujuan tarip sewa juga akan turun. Penunggang kuda yang dari tadi mengikuti saya juga bertindak demikian. Tiap saya melangkah sekitar 50 meter sewa juga diturunkan. Tetapi saya tetap menolak secara halus . Satu hal yang membuat saya terkesan, mereka kelihatan sabar biarpun tawarannya ditolak. Tindakan  mereka cukup sopan, tidak terlihat ada pemaksaan.

Sejak berangkat dari tempat parkir, saya berjalan di depan dengan Sudaryadi. Imam dan sopir menyusul dari belakang dengan jarak sekitar 10 meter. Namun, semakin lama berjalan tampak kedua orang itu semakin jauh tertinggal di belakang. Bahkan sesaat kemudian tampak keduanya sudah terduduk di atas bebatuan. Agaknya mereka sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Wah, masih usia muda begini sudah ampun! Melihat mereka berhenti, segera kuajak Sudaryadi untuk istirahat sambil menunggu. Tapi dari jauh kelihatan Imam memberi tanda agar kami jalan terus, tidak usah menunggu mereka.

Istirahat Memulihkan Tenaga

Sudaryadi rupanya sudah kebelet mau buang air kecil sejak tadi. Dia mulai mencari lokasi aman namun tak ada karena banyak orang. Kusarankan agar dia pergi ke balik batu besar saja, tidak usah jauh-jauh. Tak bakal ada yang mengintip. Memangnya siapa yang mau mengintip, dan apa yang mau diintip? Begitu dia berlalu, saya cari tempat duduk buat istirahat sejenak. Cukup lama saya menunggu, tetapi Sudaryadi belum muncul-muncul. Lho, si kawan ini kemana? Saya bangkit untuk mencari tahu, kenapa bisa sampai segitu lama. Tetapi, alamak! Hanya  untuk pipis harus beranjak sampai sejauh 50 m?

Tak sabar lagi menunggu, akhirnya saya melanjutkan perjalanan.  Seorang penunggang  kuda tiba-tiba sudah membuntuti. Harga yang ditawarkanpun makin turun. Tetapi saya  tolak. Kelihatan dari raut wajahnya dia kecewa namun tidak bilang apa-apa. Kujelaskan pada dia bahwa sekarang  sudah tanggung naik kuda karena jarak hanya sekitar 50 m lagi. Kutambahkan lagi bahwa saya hanya ingin menguji kemampuan untuk berjalan sampai ke puncak. Sekembali dari kawah nanti kemungkinan saya akan naik kuda. Kusarankan agar dia mencoba mendatangi teman-teman yang tertinggal di belakang.

Akhirnya saya tiba di bawah tangga. Lalu istirahat sebentar sambil menaksir jarak yang harus ditempuh. Tampak ujung tangga di atas sana cukup  jauh. Berarti perjuangan masih berat agar bisa lolos sampai final. (Lho, kayak Piala Dunia saja, pakai final segala!) Telah kutekadkan untuk menghitung anak tangga dari awal sampai akhir. Kabarnya telah banyak turis yang mencoba tetapi hasilnya tidak pernah sama. Menurut saya ini harus pakai kiat khusus, agar jawaban akurat. Lalu saya mulai melangkah menapaki anak tangga. Pada anak tangga ke-10 berhenti untuk istirahat—dan tentu saja agar tetap bisa fokus.

Bersambung ke Bagian 4

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 2

Pria ini menawarkan agar kami menginap di hotel tempat kami berhenti. Sedikit berpromosi  dia kasih tahu fasilitas apa saja yang tersedia. Segera kami masuk untuk melihat kamar yang dia maksud. Kami sendiri hanya butuh satu kamar sekedar untuk istirahat. Dalam kamar ada dua tempat tidur masing-masing bisa muat dua orang. Setelah berunding sebentar kami menyatakan setuju. Lalu kami serahkan uang panjar Rp 200.000. Sisanya dibayar besok. Sewa kamar satu malam Rp 150.000 sedang tarip satu kenderaan buat empat orang Rp 400.000. Sebelum pergi, dia berjanji akan datang menjemput pukul 04.00 dini hari nanti.

Udara malam di Ngadisari terasa dingin sekali. Jacket yang saya kenakan agaknya tidak mempan untuk menahan hawa dingin. Beberapa orang pedagang asongan datang ke hotel menjajakan jaket, kain tebal penutup kepala, syal, dan sarung tangan. Saya beli sebuah penutup kepala serta sepasang sarung tangan. Harga jadi seluruhnya tidak kurang dari Rp 25.000, itupun setelah terjadi tawar-menawar. Biasalah, namanya pedagang. Dengan  sedikit memelas dia bilang di bawah harga itu dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Hanya itu yang saya perlukan. Sweater dan syal telah saya siapkan dari rumah.

Setelah masuk kamar saya coba menyentuh air di wastafel. Auh, dinginnya bukan main! Terasa membekukan! Lantas kran air panas saya buka. Butuh waktu agak lama hingga  airnya keluar. Lalu saya membasuh wajah dan tangan. Habis itu mengenakan sweater serta berbagai atribut lainnya. Teman-teman juga melakukan hal serupa. Selesai lalu keluar untuk mencari kopi di kantin. Ternyata kantin sudah tutup, maklum sudah pukul 01.30 pagi. Kami diminta pria penjaga  hotel pergi ke warung kopi di seberang jalan.

Tiba disana tampak warung itu ditunggui oleh seorang nenek tua. Rupanya dia sudah sempat tertidur. Begitu mengetahui  kami datang dia lantas bangun. Kopi yang dia suguhkan ternyata kopi instan, bukan kopi hitam kesukaan saya. Kami cuma sebentar disana. Habis minum kopi  langsung balik ke hotel. Udara di luar amat dingin dan terasa badan saya menggigil. Walau begitu para penjaja barang tampak masih berkeliaran. Dua orang mengikuti kami sampai ke pintu. Setelah yakin kami tidak butuh apa-apa lagi, mereka pergi. Kami langsung tidur karena waktu tinggal 2 jam lagi sebelum berangkat.

Lagi enak mimpi, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu. Kulirik jam, ternyata sudah pukul 03.30. Kami diminta untuk berkemas karena pukul 04.00 tepat harus berangkat. Segera kami bangun lalu berbenah. Pakaian saya tambah menjadi tiga lapis, yakni kaos oblong, sweater, dan jacket. Sudah itu kami masuk mobil. Sebuah jeep Toyota Hardtop warna merah telah menunggu. Pengemudinya seorang Tengger. Saya duduk di jok depan  sebelah sopir sementara teman-teman mengambil tempat di jok belakang. Sebelum keluar dari perkampungan, kami harus melewati dua gardu penjaga. Pada setiap gardu sopir menghentikan mobil lalu melapor ke dalam.

Lewat perkampungan jalan mulai mendaki tajam. Lalu mulai menurun dan berliku-liku. Suasana sekeliling gelap, tidak terlihat apa-apa. Hanya bagian depan yang tersorot lampu mobil yang bisa dilihat. Tidak lama kemudian, kami tiba di jalan mendatar─tepatnya hamparan pasir. Tiba-tiba pemandangan di depan tampak serba putih tertutup kabut tebal. Jarak pandang ke depan tidak lebih dari 5 meter. Mobil terpaksa berjalan pelan karena kaca juga tertutup kabut. Sopir berusaha menyapu kaca dengan punggung telapak tangan namun tidak banyak membantu. Beruntung lintasan hanya sebuah dataran luas, jadi tidak perlu kuatir akan terperosok.

Setelah berjuang melewati kabut, jalan terasa mulai mendaki. Cuma anehnya semakin tinggi mendaki kabut juga berangsur hilang. Dalam keremangan pagi mulai terlihat  pepohonan, bukit maupun jurang. Kenderaan terus mendaki dan kadang menikung tajam.  Jalan amat sempit, hanya muat satu kenderaan. Kalau berpapasan, salah satu harus mengalah untuk menunggu. Disini kita hanya bisa yakin pada kehandalan dan pengalaman sopir saja. Begitu juga dengan kondisi mobil. Biarpun kelihatan tua, mobil ini masih kuat dan handal untuk mendaki. Hanya saja sebelum mendaki pada tanjakan curam, mobil harus berhenti dulu. Terlihat sopir mengambil ancang-ancang sambil ganti persnelling sebelum tancap gas.

Semakin lama pemandangan indah pegunungan mulai terlihat dalam keremangan pagi.  Tampak pula sorotan lampu kenderaan dari arah lain di kejauhan. Ternyata cahaya itu berasal dari barisan kenderaan yang mengambil jalur lain. Sesaat kemudian kami tiba di pemberhentian mobil. Tampak kenderaan lain sudah banyak yang tiba lebih dahulu. Beberapa mobil angkutan umum sekelas minibus juga terlihat  disana. Bahkan, Toyota Avanza juga ada. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa mobil sekelas ini melintasi jalan seperti yang kami lalui barusan. Ternyata mereka melintas dari jalur lain dimana tanjakan tidak begitu curam.

Turun dari mobil kami jalan kaki menuju pasenggarahan di puncak. Beberapa menara  telekomunikasi dan microwave terlihat berdiri disana. Anak tangga yang kami lalui cukup banyak untuk membuat napas ngosngosan. Tapi hitung-hitung tidak ada salahnya, anggap saja  olah raga pagi. Udara disana dingin seolah membekukan. Kucoba melepas sarung tangan, terasa dingin bukan main. Lalu cepat-cepat saya kenakan lagi. Terlihat cukup ramai orang berkunjung kesana. Tetapi sebagian besar adalah wisatawan manca daerah atau wisatawan lokal. Orang asing tidak begitu banyak. Hanya ada beberapa  turis orang Bule serta turis dengan wajah Asia seperti Jepang dan Korea.

Akhirnya kami tiba di puncak. Disana terdapat tempat duduk besi tanpa atap dibangun secara permanen. Letaknya di udara terbuka  sehingga cocok buat tempat istirahat sambil menikmati pemandangan. Disitu ada juga pendopo pakai atap. Kemungkinan dibuat untuk tempat berteduh apabila turun hujan. Tempat duduk ini sudah terisi penuh oleh para turis yang tiba lebih dulu. Pagar pembatas juga telah dipenuhi pengunjung yang ingin melihat matahari terbit. Kamera telah disiapkan, siap untuk mengabadikan momen langka saat mentari naik perlahan dari balik horizon. Tujuan utama sebagian besar pengunjung memang untuk mengamati momen ini. Terang saja kami tidak mau ketinggalan, ingin melihat apa sesungguhnya yang terjadi.

Kini posisi bagus untuk memandang dari dalam tidak ada lagi. Sia-sia kami mencari kesana kemari. Tempat-tempat strategis sudah dipadati pengunjung. Tak mau menyerah begitu saja kami segera keluar. Kini kami dapat tempat disamping pasenggrahan. Tidak ada tempat duduk, tetapi pandangan ke depan leluasa tak terhalang apapun. Dan apa yang terlihat disana membuat kami takjub. Sebuah panorama indah tampak terbentang di bawah sana. Sangat mempesona dan mengagumkan. Kami hanya bisa terdiam buat beberapa saat. Kini segalanya hening, tak ada suara berisik. Hanya bunyi serangga yang terdengar bersahutan. Memperdengarkan irama seolah melantunkan sebuah gita. Gita pujian bagi kebesaran Sang Pencipta. Ya, gita damai di puncak Bromo.

Gunung Batok dan Gunung Semeru

Dalam kegelapan terlihat jelas awan putih laksana salju menutupi hamparan luas bentuk persegi. Seolah terkurung oleh dinding terjal pada empat sisi—tak bisa beranjak kemana-mana, selain melayang keatas. Puncak Gunung Batok tampak kokoh menyembul dari balik awan. Warna kehitaman terlihat amat kontras dengan awan putih yang menyelubungi. Nun di balik Gunung Batok, tampak puncak Gunung Semeru memperlihatkan diri dari balik mega. Gunung tertinggi di bumi pertiwi ini terlihat menjulang ke atas seolah menggapai langit.

Matahari Terbit Dilihat dari Puncak Bromo

Tak lama warna merah kuning keemasan mulai muncul di balik horizon. Pertanda fajar akan menyingsing di ufuk Timur. Orang-orangpun mulai sibuk saling jepret sana-sini. Seorang wanita Bule datang menghampiri sambil membawa sebuah kamera. Lalu kusapa:

“Can I help you?”

“Excuse me. Would you please help me to take some pictures?” katanya sambil menyerahkan kamera.

“Sure. Of course I would,” jawab saya.

Agaknya wanita ini hanya datang seorang diri. Dia minta tolong untuk diambilkan foto. Saya tak keberatan lalu mulai membidik. Ternyata jari telunjuk saya kaku tak bisa menekan tombol akibat terbungkus sarung tangan tebal. Sarung tangan kanan kulepas, tapi huuuh…, dinginnya bukan kepalang. Tapi kupaksakan juga memoto hingga  dua kali, agar dia tidak kecewa. Dia tampaknya mengerti kondisi saya. Lalu mendekat meninggalkan posisi semula. Kuserahkan kameranya, lalu dia melihat hasilnya.

“How do you think?” tanya saya.

“Oh, nice. Thank you very much!” jawabnya. Kemudian dia berlalu.

Sarung tangan kupakai lagi lalu bergabung dengan teman-teman untuk foto. Gantian kami saling bidik dari berbagai posisi dan sudut pandang. Tak lupa saya ambil beberapa foto pemandangan alam sekitar. Suasana di puncak sudah mulai terang seiring naiknya matahari. Hawa mulai terasa sedikit hangat. Kini saya berani melepas sarung tangan agar lebih leluasa menekan tombol kamera. Tampak suasana di Pasenggerahan sudah mulai longgar. Kami cari tempat duduk kosong buat istirahat sejenak. Kini waktu kami gunakan  buat menikmati pemandangan sepuasnya karena kesempatan seperti ini amat langka.

Tempat Peristirahatan di Puncak Bromo

Satu persatu pengunjung kelihatan beranjak meninggalkan lokasi. Sebelum pergi, kami masih menyempatkan diri saling berfoto di lingkungan dalam  Pasenggarahan. Puas, lalu kami keluar. Kami mulai berjalan menuruni tangga. Ketika lewat, tampak beberapa penjual jagung bakar teriak-teriak menawarkan dagangannya. Saya ajak teman berhenti sebentar makan jagung. Tambahan perut mulai keroncongan karena belum masuk makanan sejak berangkat dini hari tadi. Cuma sebentar kami disini. Dari jauh sopir kelihatan sudah menunggu. Kini kami siap untuk berangkat menuju kawah Tengger. Suasana   sekitar terlihat sepi, ternyata banyak pengunjung sudah berangkat lebih dulu.

Bersambung ke Bagian 3

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 1

Jumat, 21 Nopember 2009. Tiba di kantor agak pagi. Suasana di ruangan masih sepi. Tak terasa besok sudah akhir pekan. Jumat malam biasanya pulang dan kumpul dengan keluarga di Jakarta. Namun malam ini sudah kuputuskan tidak pulang. Terlalu capek  bolak-balik tiap minggu. Hari ini tas juga  terasa ringan─hanya berisi kotak kacamata, charger telepon selular, dua buah buku serta surat-surat. Coba kalau pulang, tas akan dipenuhi berbagai macam tetek bengek. Cuma sedikit bingung, disini mau melakukan apa untuk mengisi libur besok? Lihat-lihat buku ke Gramedia atau cuci mata di Mall? Berapa lama saya bisa bertahan disana? Ah, peduli amat. Browsing saja di rumah. Dijamin waktu akan berlalu dengan cepat tanpa terasa.

Ruang Kerja di Kantor

Begitu sadar dari lamunan, segera komputer kuhidupkan. Kumulai menjelajahi intranet untuk  melihat  informasi apa saja yang baru terbit dari kantor pusat. Selagi asyik mencari-cari, sekilas terbaca ada email masuk. Segera kubaca, ternyata ucapan selamat pagi dari Imam di Facebook (FB). Lalu kubalas sekenanya dengan jawaban singkat “morning too”. Setelah  itu  larut lagi dalam  pencarian. Tiba-tiba SMS masuk lewat ponsel. Ternyata dari Imam lagi. Dia minta kesediaan saya ikut rombongan mereka malam ini ke Gunung Bromo kalau  tidak pulang ke Jakarta. Dia menambahkan, peserta yang ikut hanya bujang lokal, tanpa keikutsertaan anggota keluarga.

Saya mulai menimbang-nimbang, mau pergi atau tidak. Dalam hati saya berkata: “Koq sepertinya Imam tahu kalau sore ini saya tidak balik?” Setelah mempertimbangkan sebentar, lalu kuambil keputusan. Langsung saya kasih jawaban bersedia untuk ikut. Hanya saya tekankan tidak keberatan asal tidak merepotkan. Tak lama dia langsung kirim informasi bahwa berangkat dari Surabaya sekitar pukul 21.00 malam. Tak lupa dia mengingatkan agar saya membawa pakaian tebal atau jacket, karena udara di pegunungan sangat dingin. Dia minta agar saya menunggu saja di rumah. Nanti malam mereka akan datang menjemput.

Sorenya tiba di rumah pulang dari kantor, saya langsung berkemas-kemas. Satu persatu  barang-barang keperluan kusiapkan untuk dibawa nanti. Habis itu saya mandi, lalu makan malam. Tepat pukul 19.00 semua sudah siap, tinggal menunggu keberangkatan. Menunggu sampai jam 21.00 tentu akan terasa lama. Komputer segera kuhidupkan untuk mengisi waktu sambil melihat-lihat status teman di FB. Beragam kebiasaan maupun perilaku facebooker ini. Tidak semua aktip mengupdate status. Ada yang rajin mengisi tiap hari,  ada pula melakukannya secara berkala. Namun tak sedikit membiarkan kosong begitu saja. Boleh jadi pemiliknya sibuk sehingga tak ada kesempatan untuk mengupdate status sendiri.

Sampai saat ini,  teman saya di  FB jumlahnya relatif sedikit dibanding pengguna lain. Memang tujuan utama menjadi pengguna semata-mata untuk memperlancar komunikasi dengan keluarga terutama anak-anak. Komunikasi lewat FB terasa lebih asyik ketimbang telepon atau SMS. Biayapun relatip lebih murah.  Hingga kini jumlah teman saya masih di bawah seratus orang. Jauh dibawah  pengguna lain yang punya ratusan bahkan ribuan teman. Bahkan cenderung meningkat dengan tambahnya teman baru. Muncul pertanyaan, bagaimana jika seluruh teman-teman ini rajin update status. Pasti butuh waktu banyak hanya untuk membaca saja. Belum lagi kalau kasih komentar, minimal buat teman yang perduli dan setia. Hitung-hitung  ungkapan rasa terima kasih karena dia masih menaruh perhatian dan menganggap kita sebagai teman.

Membuat teman baru di FB tidak sulit. Tinggal tambah lalu tunggu konfirmasi. Atau bisa orang lain yang menambahkan kita, tinggal kita mau atau tidak. Tetapi yang sulit adalah mengisi agar pertemanan berlanjut dan memberi manfaat. Tidak sekedar asal teman. Pengalaman justru membuktikan lain sehingga timbul  rasa galau dan kurang nyaman. Setelah mendapat  teman baru, saya selalu berusaha agar pertemanan bisa berjalan lebih akrab. Cara paling praktis adalah mengomentari status maupun foto-foto yang dia sodorkan. Tentu cukup wajar dan tidak berlebihan jika saya juga mengharapkan  tindakan serupa─meski kenyataannya tak bisa berharap terlalu banyak. Komunikasi akan berjalan dua arah, tampak ada niat baik sebagai teman,   dan tidak sekedar basa-basi.

Sering aku menemukan teman agak sulit dipahami. Pengguna lain barangkali juga pernah mengalami hal sama.  Telah kucoba  berbagai cara menjalin komunikasi namun serasa menghadapi tembok.  Dia kasih komentar? Jangan harap! Komentar kita atas sodoran dia saja tidak  direspon. Memang  tak ada keharusan mengomentari status orang lain.  Cuma kalau berteman wajar terjadi saling komunikasi. Tapi  agaknya mereka ini lebih senang jadi pusat perhatian. Lama-lama  timbul juga semacam keraguan, jangan-jangan saya dikira usil atau kurang kerjaan.  Sadar usaha saya percuma, tindakan ini akhirnya kuhentikan. Tapi kasus ini tampaknya belum apa-apa dibanding pengguna lain. Ada pengguna punya teman lebih dari seribu tetapi statusnya miskin komentar─ibarat pedagang,  sepi dari pembeli.

Seorang pengguna mestinya sadar, status yang disodorkan akan ditampung oleh pengguna lain. Begitu pula sebaliknya. Komputer penerima akan dibanjiri oleh status sodoran  pengguna lain─entah itu disukai atau tidak. Tidak jarang komputer menjadi lambat karena over kapasitas. Tetapi, jika pertemanan berlangsung baik resiko seperti ini tidak menjadi masalah. Malah semakin ramai terasa semakin menyenangkan. Resiko bisa diterima sebagai  buah dari suatu pertemanan. Yang penting jangan sibuk sendiri tanpa mau melirik sedikitpun status teman. Sodoran dari seorang pengguna egois apalagi bernada arogan jelas tidak diinginkan, bahkan bisa bikin mual.

Tengah saya tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba terdengar SMS masuk. Saya baca di ponsel, ternyata mereka sudah meluncur. Kini posisi mereka di Jalan Kayoon, sedang menuju ke tempat saya. Komputer langsung kumatikan, lalu menyambar tas. Saya   segera keluar untuk menyongsong, agar mereka tidak sampai menunggu. Tiba di mobil saya lihat hanya ada tiga orang. Imam, Sudaryadi dan Satpam kantor bertugas sebagai sopir. Satpam ini sebelumnya telah pernah berkunjung ke Bromo sehingga tidak ada keraguan akan tersesat dalam perjalanan. Satu hal paling penting adalah penguasaan lokasi. Semula saya sempat kuatir karena tak seorangpun dari kami bertiga pernah berkunjung kesana.

Saat mau berangkat kulirik jam, ternyata sudah pukul 21.45. Berarti terlambat berangkat dari jadwal semula. Sore tadi memang sempat turun hujan lebat di Surabaya sehingga beberapa ruas jalan digenangi air. Kenderaan banyak yang merubah arah mencari jalur lain untuk menghindari genangan. Rupanya kenderaan lain juga berbuat serupa. Bisa ditebak jalanan akhirnya menjadi macet karena terjadi penumpukan kenderaan. Imam juga sempat terperangkap cukup lama dalam kemacetan sepulang dari kantor.  Ini terbaca dari status  di Facebook. Disana dia teriak-teriak, ini masih Surabaya apa Jakarta? Barangkali keterlambatan ini  efek samping dari  kemacetan tadi sehingga molor 45 menit dari rencana semula.

Tiba di Sidoarjo kami berhenti untuk mengisi bahan bakar. Habis itu membeli beberapa makanan kecil sambil istirahat sebentar. Kebetulan ketiga teman saya ini adalah perokok. Momen ini mereka gunakan untuk melampiaskan hasrat yang agaknya telah tertahan sejak dari  tadi. Setengah jam kemudian kami meneruskan perjalanan. Situasi di jalan umumnya lancar, tidak terjadi kemacetan. Begitu pula di Porong, lokasi lumpur panas yang menenggelamkan sebagian wilayah Sidoarjo. Biasanya tempat ini selalu macet karena terdapat penyempitan jalan.

Masih jelas terbayang ketika melintas dari sini mau pergi wisata ke Batu Malang pada pertengahan 2006. Ketika itu lumpur belum menyembur di Porong, sehingga jalan tol arah Gempol masih utuh. Lama perjalanan dari Surabaya ke Malang dan sebaliknya hanya makan waktu lebih kurang satu jam. Namun kondisi sekarang amat jauh berbeda dan benar-benar memprihatinkan. Tiang penyangga jalan tol yang berdiri tepat di kolam lumpur secara perlahan turun dan amblas ke tanah. Begitu amblas badan jalan tol pun ikut-ikutan retak dan patah. Akhirnya jalan tol Sidoarjo–Gempol harus dibongkar karena mustahil bisa digunakan lagi.

Kini kami telah melewati wilayah Pasuruan. Tiba di sebuah jalan alternatip kami belok kanan lalu langsung menuju arah Probolinggo. Kondisi jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Udara mulai terasa dingin. Dalam mobil kami lebih banyak diam namun tidak ada yang tertidur. Mata mulai terasa berat namun terpaksa ditahan. Kuatir kalau tertidur, sopir juga ikut mengantuk. Sudaryadi kelihatan tidak bisa menahan kantuk. Dari tadi kelihatan mengangguk-angguk saja. Saya dan Imam—yang duduk di sebelah sopir—berusaha tetap terjaga. Jalan-jalan tampak sepi padahal baru pukul 22.00 malam. Agaknya warga lebih senang tinggal di rumah ketimbang menahan udara dingin di luar.

Pukul 24.15 kami tiba di Desa Ngadisari. Kami langsung berhenti tepat di depan sebuah hotel begitu melihat tanda larangan tidak boleh lewat. Beberapa pria tampak duduk mengelilingi api unggun. Pakaian tebal yang mereka kenakan seolah belum mampu menahan hawa dingin. Salah seorang bangkit lalu datang menghampiri. Dia mengatakan, izin lewat bagi kenderaan milik turis hanya sampai disini. Para  wisatawan yang ingin berkunjung ke puncak Bromo bisa menyewa salah satu kenderaan yang tersedia.  Tampak  puluhan jeep merk Toyota Hardtop berjejer rapi. Kenderaan ini agaknya armada khusus yang sengaja disiapkan untuk mengangkut turis. Menurut pria ini, jumlah kenderaan jenis ini ada 200 buah. Dalam hati saya berpikir: “Pantas jeep Toyota Hardtop sudah jarang terlihat berseliweran di Jakarta. Rupanya sebagian besar sudah dipindahkan kemari.”

Bersambung ke Bagian 2