Akhirnya, jadi juga kami pindah ke Sarimatondang. Ketika itu usia saya baru 6 tahun lebih. Sebelumnya kami tinggal di Maniksaribu – sebuah desa berjarak sekitar 10 km dari Sarimatondang. Kami ikut pindah mengikuti kepindahan bapak yang dialihtugaskan ke sebuah sekolah rakyat di Bah Butong selaku seorang guru. Sebelum keluarga ikut pindah, beliau harus bolak-balik Maniksaribu – Sarimatondang. Tentu saja perjalanan semacam ini menguras banyak tenaga maupun biaya.
Selang beberapa lama, saya mendapatkan beberapa teman baru. Usia mereka tidak terpaut begitu jauh dengan saya. Tapi kebanyakan lebih tua dari saya. Sebelumnya teman main sehari-hari adalah saudara sepupu sendiri. Lalu satu demi satu teman lain muncul. Saya sendiri belum bersekolah. Ketika itu, kalau mau masuk sekolah ada satu syarat harus dipenuhi. Apabila tangan kanan belum bisa menjangkau telinga kiri dari atas kepala, maka seorang anak belum bisa diterima sekolah. Itu sebabnya pada masa itu kebanyakan anak-anak baru masuk sekolah setelah berusia 7-8 tahun.
Suatu siang seorang teman mengajak mandi ke Aek Simatahuting, sebuah pemandian umum di Sarimatondang. Jauhnya sekitar satu kilometer dari rumah. Sumber air disana berasal dari sebuah mata air besar yang muncul dari dalam tanah. Airnya bening sekali dan arusnya amat deras. Tidak heran suara gemuruh air yang jatuh di riam pertama maupun kedua telah terdengar dari kejauhan dengan jarak sekitar 50 m dari lokasi.
Agak ke hilir dari sungai terdapat sebuah bendungan yang sengaja dibangun untuk menggerakkan sebuah kincir air. Kincir ini digunakan sebagai sumber tenaga untuk menggerakan sebuah kilang pembuatan tempe. Nah, di atas bendungan ini terhampar sebuah kolam yang ukurannya cukup luas. Dan kesinilah saya diajak oleh teman-teman untuk mandi-mandi sambil berenang.
Saya baru pertama ini datang kemari, sebelumnya tidak tahu bahwa ada kolam disini. Biasanya kalau mau mandi paling sekitar tempat dimana orang-orang sering mandi. Habis mandi langsung pulang. Kini baru tahu ternyata ada juga kolam tempat untuk berenang. Lokasinya memang tersembunyi di balik perbukitan. Orang-orang tidak akan tahu kecuali sudah pernah berkunjung kesana. Namun, kincir itu masih kelihatan dari lokasi pemandian meskipun agak tersembunyi di balik sebuah pohon besar.
Tiba disana teman-teman langsung buka pakaian hingga bertelanjang. Sambil berbugil-ria, mereka lompat satu per satu dengan kegirangan. Saya sendiri duduk di pinggir sambil memperhatikan mereka. Timbul keinginan untuk ikut terjun, tapi ragu. Saya belum pernah berenang. Selama tinggal di Maniksaribu, mandipun biasanya hanya di pancuran. Kalaupun mandi di kolam atau tasik, airnya dangkal. Itupun diawasi oleh orang tua. Jadi seumur-umur belum pernah berenang di air dalam.
Sekali-sekali teman-teman berteriak mengajak saya ikut berenang. Saya mulai tertarik sambil menduga-duga seberapa dalam air di kolam itu. Mereka kelihatan tidak takut meskipun ukuran badan kami tidak jauh beda. Lama-lama mulai terasa bosan duduk menunggu saja. Lalu saya melepas seluruh pakaian. Namun, saya tidak berani terjun langsung ke dalam air. Saya masuk air perlahan sambil berpegangan pada rumput-rumput yang bergantungan di pinggir kolam.
Tak lama kemudian saya sudah berada dalam air. Teman-teman minta agar saya datang bergabung dengan mereka, tapi saya tidak berani. Saya hanya mandi sambil berpegangan pada pinggir kolam. Ternyata airnya dalam, dasar kolam tidak terjangkau oleh kaki saya. Saya berusaha mencari-cari pijakan di tempat dangkal agar tidak harus berpegangan terus, namun sia-sia.
Tengah saya sibuk mencari-cari, tiba-tiba pegangan saya terlepas. Ternyata arus air di bawah amat deras karena tidak begitu jauh dari bendungan. Jaraknya paling sekitar 20 m dan terasa saya mulai terbawa oleh arus. Jarak saya dengan pinggir kolam terpaut sekitar satu meter. Saya berusaha sekuat tenaga agar bisa mendekat ke tepi dan berpegangan pada apa saja. Tapi sia-sia! Arus air di bawah jauh lebih kuat melebihi tenaga seorang bocah tujuh tahunan. Air terasa mulai masuk mulut dan tertelan sampai beberapa kali.
Apa yang bisa kulakukan selanjutnya hanyalah mengikuti naluri agar bisa selamat. Syukur saya masih bisa terapung di permukaan air. Kedua tangan serta kaki bergerak sebisanya secara refleks meskipun tak tahu berenang sama sekali. Bibir bendungan kelihatan semakin dekat, dan saya mulai panik! Bila sampai terbawa oleh arus sampai kincir air, maka tamatlah riwayat saya. Jarak antara saya dengan teman-teman semakin jauh. Dan sialnya, agaknya tak seorangpun diantara mereka mengetahui keberadaan saya.
Di tengah suasana panik menjelang kira-kira 10 meter dari kincir, tangan saya tidak sengaja menangkap sebuah ranting bambu kecil yang patah dan menjulur ke air. Ranting ini segera saya pegang dengan amat hati-hati. Takut terlepas atau patah lalu ikut terhanyut. Sambil berpegangan pada ranting, perlahan-lahan saya bergerak ke tepi kolam. Terasa sekali arus air di bawah semakin deras. Tak lama saya tiba di tepi, lalu naik ke atas. Tiba di atas lalu rebah di rumput untuk istirahat sambil menenangkan diri. Tubuh saya terasa menggigil. Boleh jadi akibat kedinginan atau ketakutan.
Tak lama kemudian aku bangkit berdiri. Dengan langkah gontai saya menuju tempat dimana tadi saya meletakkan pakaian. Lalu pakaian kukenakan kembali. Teman-teman tampaknya telah selesai, lalu mereka naik satu persatu. Mereka bertanya kenapa saya tidak ikut bergabung. Setelah kujawab tak bisa berenang dan hanya mandi di pinggir saja, mereka hanya tertawa. Saya tak menceritakan peristiwa barusan pada mereka. Kuatir kalau dikasih tahu malah ditertawai.
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1960 silam, berarti setengah abad lalu. Tak seorangpun tahu tentang hal itu kecuali saya sendiri. Tak pernah kuceritakan baik kepada teman-teman, adik-adik atau bahkan pada orang tua. Tetap menjadi rahasia yang tersimpan rapi hingga dituliskan disini. Barangkali, ranting bambu itu ada disana berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Pengasih. Ranting itu tak kelihatan sama sekali, tertutup oleh permukaan air. Hanya karena terjamah secara tak sengaja, maka selamatlah saya dari malapetaka itu.
.
Surabaya, 25 April 2010 – Oleh Farel M. Sinaga