Sengsara Akibat Biji Aren

Semasa saya duduk di kelas satu SMP, pernah musim mainan berupa cincin terbuat dari biji pohon aren. Biji yang dipilih betul-betul sudah masak, berwarna kehitaman. Lalu bagian tengah  dikeruk sedang isinya dibuang. Tak lama kemudian tercipta sebuah lobang pada biji. Tinggal menyesuaikan besar lobang, agar muat ketika dipasangkan pada jari tangan. Kulit luar pada bagian ujung biji juga dikupas. Bekas kupasan selanjutnya diasah pakai kertas pasir halus.  Setelah licin lalu diberi motif dengan cara mendekatkan pada bara api. Begitu motif terbentuk, lalu digosok lagi pakai abu dapur atau abu rokok sehingga betul-betul mengkilat. Kini cincin sudah jadi, dan siap dipakai buat ‘nampang.

Awalnya saya tidak tahu, cincin itu terbuat dari apa. Hanya ketika kulihat dipakai  seorang teman sekelas, saya tertarik. Lalu kutanya cincin itu dibeli dimana dan harganya berapa. Dia bilang itu tak dibeli, melainkan buatan sendiri. Lantas dia memberitahu bahan baku serta cara pembuatannya. Begitu saya tahu cincin terbuat dari biji aren, dalam hati saya bertanya: “Bukankah pohon aren banyak ditemukan  di sepanjang jalan menuju Aek  Simatahuting?”

Pada hari Minggunya kuajak adik saya Jannen untuk mencari biji aren sambil mandi ke Simatahuting. Kolo Sinaga, seorang tetangga juga kami ajak. Beda usia kami masing-masing dua tahun, sedang Kolo adalah yang termuda. Lepas tengah hari, kami bertiga pun segera berangkat. Sekitar lima belas menit kemudian, kami melewati sebuah ladang. Tampak sebatang   pohon aren tumbuh  di sana. Mata kami mencari-cari kiri-kanan, apakah pemiliknya ada di dalam. Letak pohon berada agak jauh di tengah. Harus menerobos  tanaman singkong yang tumbuh agak lebat agar bisa tiba disana.

Ternyata ladang itu kosong, pemiliknya tidak ada. Lalu setengah berlari kami  menghambur ke arah pohon, seolah takut tak kebagian. Tiba disana tampak setandan biji aren yang baru dipotong. Lalu saya mendongak ke atas. Kelihatan bekas potongan sudah dipasangi tabung bambu untuk menampung nira. Buah pada tandan kelihatan masih segar, berwarna oranye kehijau-hijauan. Berarti kami harus menyingkirkan daging buah lebih dulu untuk memperoleh biji. Persis seperti tanaman kelapa sawit, daging pada tandan buah segar (TBS) harus dikeluarkan dulu untuk memperoleh biji sawit.

Tangan kami dengan cekatan mulai mempreteli buah-buah aren dari tandannya. Begitu dapat kira-kira 10 buah satu orang, segera beraksi untuk mengeluarkan daging buah. Kami tak punya alat apa pun, padahal tak semua buah bisa dibuka dengan mudah. Tapi kami tak kehilangan akal. Satu per satu buah-buah ini kami lempar agak kuat ke batang aren supaya melunak. Ternyata cara kami cukup ampuh. Kini daging buah gampang dilepas, dan biji pun bisa kami dapat. Begitu kami lakukan seterusnya hingga semua biji bisa dikeluarkan. Setelah itu biji aren kami bungkus masing-masing pakai daun talas, lalu diikat dengan tali dari batang pisang. Dari sini kami langsung ke sungai untuk mandi.

Namun dalam perjalanan, wajah-wajah yang semula ceria akibat kesenangan berangsur-angsur hilang. Kuperhatikan Kolo kelihatan gelisah. Dia tampak menggaruk-garuk bagian-bagian tubuh secara bergantian. Tak lama kemudian, Jannen pun menyusul. Wajahnya kelihatan mulai meringis sedang tangan menggaruk sana-sini. Dan terakhir adalah giliran saya. Awalnya hanya di bagian tangan, lalu leher, wajah, perut dan semua. Rasa gatalnya tak tertahankan! Kolo sudah mulai menangis. Semakin digaruk, semakin menggila. Kini terasa sudah menyebar ke seluruh tubuh. Lalu kami segera berlari menuruni lembah menuju sungai, agar bisa cepat-cepat mandi.

Tiba di sungai, buka pakaian lalu langsung menceburkan diri. Namun bukannya hilang, rasa gatal malah makin menjadi-jadi. Seorang warga dari Kampung Jawa kebetulan mandi. Kami pinjam sabunnya karena kami tidak bawa sabun. Sabun itu adalah sabun cuci batangan, bukan sabun mandi. Tapi kami tak peduli. Cepat-cepat badan kami sabuni sambil berharap rasa gatal segera hilang. Hilang? Ternyata belum! Lalu kami ulang pakai sabun lagi. Sambil menyabun, saya berkata: “Mang, jangan marah ya. Sabunnya kami pakai sampai tiga kali. Badan kami gatal sekali!” Pemilik sabun hanya mengangguk kendati terlihat sedikit jengkel melihat sabunnya dipermak sesuka hati.

Sedikit heran, sejurus dia lalu menghampiri kami. Badan kami sudah merah-merah semua. Setelah mengetahui apa yang terjadi, dia kaget. Dari dia baru kami tahu bahwa penyebab gatal itu adalah buah aren yang barusan kami ambil. Ternyata daging buah itu amat berbahaya bila tersentuh. Tersentuh satu buah saja sudah bisa mendatangkan celaka. Apalagi  kami barusan masing-masing membongkar habis sampai 10 buah. Kami diberitahu, kalau mau ambil biji aren pilih yang sudah tua tanpa daging. Biasanya biji seperti itu banyak berserakan di bawah pohon. Tak boleh diambil langsung dari buahnya!

Tak mempan dengan sabun, bergantian kami mulai saling mengolesi badan dengan pasir. Pasir ini digosok-gosokkan pada bagian perut atau punggung.  Terasa sedikit nyaman, namun  rasa  gatal tidak juga berkurang. Lalu kami mencoba menyelinap dan duduk di bawah riam dan membiarkan punggung kami didera air deras untuk mengurangi penderitaan kami. Tetapi  tak mempan  juga. Kami coba lagi dengan menggosok-gosok punggung pada dinding batu, atau berguling-guling di atas pasir. Pokoknya kelihatan seperti orang gila. Namun, semua upaya ini tidak membuahkan hasil.

Akhirnya kami putuskan untuk pulang saja. Biji-biji yang terbungkus daun talas kami buang ke sungai. Aku dan Jannen hanya berani pakai celana, baju tidak. Getah buah aren celaka itu pasti masih lengket disana. Celanapun terpaksa kami pakai, malu ditontoni orang kampung jalan sambil telanjang. Tapi Kolo tampaknya tidak peduli. Dia jalan dalam keadaan bugil seraya menenteng pakaiannya.Usianya memang bukan balita lagi, tapi rasa gatal amat menyiksa tampaknya telah mengalahkan rasa malu.

Tiba di kampung suasana sudah agak gelap. Sambil jalan, tangan kami masih terus menggaruk kesana-sini. Akhirnya kami tiba di rumah. Kebetulan beberapa orang ibu kelihatan sedang berkumpul membincangkan sesuatu di rumah Kolo. Ibu kami juga ada disana. Melihat kami datang dengan sekujur tubuh kemerahan ditambah lagi tangisan Kolo, mereka serentak bangkit. Lalu mereka gantian bertanya, apa yang terjadi. Setelah kami ceritakan semua, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. Heh, dasar ibu-ibu. Orang sudah sengsara malah diketawain!

Lalu apa yang mereka lakukan? Seseorang pergi ke dapur lalu kembali bawa minyak goreng. Kemudian minyak ini dipoleskan ke badan kami secara bergantian. Ajaib, rasa gatal berangsur mulai hilang. Kolo pun sudah tidak menangis lagi. Sambil ketawa ibu Kolo berkata: “Botul do angka Sinaga na oto ho sude (benar-benarlah kalian ini Sinaga sinting semua)!” Wah, sialan!

.

Surabaya, 22 Mei 2010 – oleh Farel M. Sinaga

Tertolong Berkat Setangkai Ranting Bambu

Akhirnya, jadi juga kami pindah ke Sarimatondang. Ketika itu usia saya baru 6 tahun lebih. Sebelumnya kami tinggal di Maniksaribu – sebuah desa berjarak sekitar 10 km dari Sarimatondang. Kami ikut pindah mengikuti kepindahan bapak yang dialihtugaskan ke sebuah sekolah rakyat di Bah Butong selaku seorang guru. Sebelum keluarga ikut pindah, beliau harus bolak-balik Maniksaribu – Sarimatondang. Tentu saja perjalanan semacam ini menguras banyak tenaga maupun biaya.

Selang beberapa lama, saya mendapatkan beberapa teman baru. Usia mereka tidak terpaut begitu jauh dengan saya. Tapi kebanyakan lebih tua dari saya. Sebelumnya teman main sehari-hari adalah saudara sepupu sendiri. Lalu satu demi satu teman lain muncul. Saya sendiri belum bersekolah. Ketika itu, kalau mau masuk sekolah ada satu syarat harus dipenuhi. Apabila tangan kanan belum bisa menjangkau telinga kiri dari atas kepala, maka seorang anak belum bisa diterima sekolah. Itu sebabnya pada masa itu kebanyakan anak-anak  baru masuk sekolah setelah berusia 7-8 tahun.

Suatu siang seorang teman mengajak mandi ke Aek Simatahuting, sebuah pemandian umum di Sarimatondang. Jauhnya sekitar satu kilometer dari rumah. Sumber air disana berasal dari sebuah mata air besar yang muncul dari dalam tanah. Airnya bening sekali dan arusnya amat deras. Tidak heran suara gemuruh air yang jatuh di riam pertama maupun kedua telah terdengar dari kejauhan dengan jarak sekitar 50 m dari lokasi.

Agak ke hilir dari sungai terdapat sebuah bendungan yang sengaja dibangun untuk menggerakkan sebuah kincir air. Kincir ini digunakan sebagai sumber tenaga untuk menggerakan sebuah kilang pembuatan  tempe. Nah, di atas bendungan ini terhampar sebuah kolam yang ukurannya cukup luas. Dan kesinilah saya diajak oleh teman-teman untuk mandi-mandi sambil berenang.

Saya baru pertama ini datang kemari, sebelumnya tidak tahu bahwa ada kolam disini. Biasanya kalau mau mandi paling sekitar tempat dimana orang-orang sering mandi. Habis mandi langsung pulang. Kini baru tahu ternyata ada juga kolam tempat untuk berenang. Lokasinya memang tersembunyi di balik perbukitan. Orang-orang tidak akan tahu kecuali sudah pernah  berkunjung kesana. Namun, kincir itu masih kelihatan dari lokasi pemandian meskipun agak tersembunyi di balik sebuah pohon besar.

Tiba disana teman-teman langsung buka pakaian hingga bertelanjang. Sambil berbugil-ria, mereka lompat satu per satu dengan kegirangan. Saya sendiri duduk di pinggir sambil memperhatikan mereka. Timbul keinginan untuk ikut terjun, tapi ragu. Saya belum pernah berenang. Selama tinggal di Maniksaribu, mandipun biasanya hanya di pancuran. Kalaupun mandi di kolam atau tasik, airnya dangkal. Itupun diawasi oleh orang tua. Jadi seumur-umur belum pernah berenang di air dalam.

Sekali-sekali teman-teman berteriak mengajak saya ikut berenang. Saya mulai tertarik sambil menduga-duga seberapa dalam air di kolam itu. Mereka kelihatan tidak takut meskipun ukuran badan kami tidak jauh beda. Lama-lama mulai terasa bosan duduk menunggu saja. Lalu saya melepas seluruh pakaian. Namun, saya  tidak berani terjun langsung ke dalam air. Saya masuk air perlahan sambil berpegangan pada rumput-rumput yang bergantungan di pinggir kolam.

Tak lama kemudian saya sudah berada dalam air. Teman-teman minta agar saya datang bergabung dengan mereka, tapi saya tidak berani. Saya hanya mandi sambil berpegangan pada pinggir kolam. Ternyata airnya dalam, dasar kolam tidak terjangkau oleh kaki saya. Saya berusaha mencari-cari pijakan di tempat dangkal agar tidak harus berpegangan terus, namun sia-sia.

Tengah saya sibuk mencari-cari, tiba-tiba pegangan saya terlepas. Ternyata arus air di bawah amat deras karena tidak begitu jauh dari bendungan. Jaraknya paling sekitar 20 m dan terasa saya mulai terbawa oleh arus. Jarak saya dengan pinggir kolam terpaut sekitar satu meter. Saya berusaha sekuat tenaga agar bisa mendekat ke tepi dan berpegangan pada apa saja. Tapi sia-sia! Arus air di bawah jauh lebih kuat melebihi tenaga seorang bocah tujuh tahunan. Air terasa mulai masuk mulut dan tertelan sampai beberapa kali.

Apa yang bisa kulakukan selanjutnya hanyalah mengikuti naluri agar bisa selamat. Syukur saya masih bisa terapung di permukaan air. Kedua tangan serta kaki bergerak sebisanya secara refleks meskipun tak tahu berenang sama sekali. Bibir bendungan kelihatan semakin dekat, dan saya mulai panik! Bila sampai terbawa oleh arus sampai kincir air, maka tamatlah riwayat saya. Jarak antara saya dengan teman-teman semakin jauh. Dan sialnya, agaknya tak seorangpun diantara mereka mengetahui keberadaan saya.

Di tengah suasana panik menjelang kira-kira 10 meter dari kincir, tangan saya tidak sengaja menangkap sebuah ranting bambu kecil yang patah dan menjulur ke air. Ranting ini segera saya pegang dengan amat hati-hati. Takut terlepas atau patah lalu ikut terhanyut. Sambil berpegangan pada ranting, perlahan-lahan saya bergerak ke tepi kolam. Terasa sekali arus air di bawah semakin deras. Tak lama saya tiba di tepi, lalu naik ke atas. Tiba di atas lalu rebah di rumput untuk istirahat sambil menenangkan diri. Tubuh saya terasa menggigil. Boleh jadi akibat kedinginan atau ketakutan.

Tak lama kemudian aku bangkit berdiri. Dengan langkah gontai saya menuju tempat dimana tadi saya meletakkan pakaian. Lalu pakaian kukenakan kembali. Teman-teman tampaknya telah selesai, lalu mereka naik satu persatu. Mereka bertanya kenapa saya tidak ikut bergabung. Setelah kujawab tak bisa berenang dan hanya mandi di pinggir saja, mereka hanya tertawa. Saya tak menceritakan peristiwa barusan pada mereka. Kuatir kalau dikasih tahu malah ditertawai.

Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1960 silam, berarti setengah abad lalu. Tak seorangpun tahu tentang hal itu kecuali saya sendiri. Tak pernah kuceritakan baik kepada teman-teman, adik-adik atau bahkan pada orang tua. Tetap menjadi rahasia yang tersimpan rapi hingga dituliskan disini. Barangkali, ranting bambu itu ada disana berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Pengasih. Ranting itu tak kelihatan sama sekali, tertutup oleh permukaan air. Hanya karena terjamah secara tak sengaja, maka selamatlah saya dari malapetaka itu.

.

Surabaya, 25 April 2010 – Oleh Farel M. Sinaga

Na Ija Do Hita On?

Teng, teng, teng…! Sora ni giring-giring, patugahkon parlajaran sadarion domma salosei. Yah, mintor do busisaon ganupan parlajar na i parsikolahan ai. Nongkan pitah sora ni guru do hassa tartangar, sonari usih ma songon na i tiga ondi.  Dobkonsi jongjong ganup irik  mambere hormat bani guru, marbaris ma sidea hu darat sada-sada. Das i darat, songon na megah tumang ma pangahap ni sidea.  Sagala parlajar na daoh huta ni han Sarimatondang mintor mulak bei do halani dokah nari pe sidea i pardalanan. Mardalan nahei do sidea das hu huta ni bei. Anggo liot ni Sarimatondang do, adong na mintor mulak janah adong homani piga-piga na tading, marguro-guroi pakon hasomanni.

Sonai homa age Palnut. Somalni riap do ia tong pakon Gompang mardalan sanggah mulak han sikolah. Tapi santorap on, atap halani aha gakni seng ipaima be hasoman ni ai. Mintor do  mulak sahalaksi das hu rumah.  Das i rumah ipeakhon tas ni i korsi dob ai pintor hu dapur. Pakean ni pe seng igantih opei. Itorih hubagas lamari atap aha do na boi panganon sobali indahan. Ididah adong pe tading dua nari gadung julur na iloppah nasogot. “Aih, sosok tumang ma on paima masuk indahan tongkin nari,” nini ibagas uhur ni.

Lang piga dokah dob salosei homani ia mangan, sandei ma ia bani korsi i lobei ni rumah. Gakni songon na pabosurtu do ia na mangan ai. Leneng naman naidah boltokni. Mosap homa bohini ibahen hadogas halani siakan, bahattu gakni ipangan nongkan lasina. Namatorasni haduasi seng i rumah sadari ni ai halani laho mandihuti pesta parunjukon i Manik Saribu. Sanggah marpikir-pikir ia aha do hira-hira sihorjahonon, roh ma bani pingkiranni sihol mangkail. “Huarahkon ma lobei Gompang an mangkail, ase adong hasomanku,” nini uhurni.

Dob das ia i rumah ni ai, sanggah mambasa-basa buku Gompang  jumpahsi. “Gom, eta mangkail ambia,” nini. “Huja sihol mangkail?” balos ni Gompang. “Hu Aek Bustak, hujanari be. Adong gakni na legan?” nini use. “Atap na hu Aek Simatahuting do laho mangkail Haporas. Tarsingatni mase lang ipaima ho au nongkan sanggah mulak sikolah, mintor littun ho songon naniayakan ni baliang” nini Gompang use. “Yah, ambia on. Nai ma tong ho, mintor margoni.  Domma lohean tumang au nongkan ai, songon na minggot ma huahap. Hadogasku pe songon udan naman halani gayuran. Anggo pala hupaima ho janah seng tolaphu be mardalan halani lohean, ai lang ho do holi loja mangombah au das hu rumah?’’ nini Palnut use. “Iombah untunganmu pe ho!” nini Gompang janah masuk ia hu rumah sihol marugas.

Dob sirsir ganup borhat ma sidea na dua hu Bustak, hurang lobih sabatu daoh ni. Aek Bustak on sada bongbongan na bolag janah bagas homa. Bolagni adong do 10 Ha janah bah sibagasan adong do 6 meter lobih. Seng piga dokah das ma sidea ijai. Goya bahen oppan domma sirsir hinan ibagas sada guri-guri. Dob ibere oppan, idabuh bei ma hail ni hubagas bah, dob ai soh paimahon. Dob dokah paimahon, sada ikan pe lang opei dapot sidea. Bois goya, tapi ikan seng naidah. Gakni pitah ikan Bunting hansa roh marpesta mangankon goya ni hail ai. “Husuba ma lobei hujan, ho ijon malah soh,” nini Palnut janah mosor ia bani ianan na legan, lobih hurang 20 m daoh ni. Tapi ijai pe dos do tong, seng adong ikan manggiut oppan ni hail ni. Gompang pe mulai ma homani munduh-unduh janah hoyam-hoyamon.

“Eta Gom, maridi ma lobei ase mulak hita. Mangaha hita dokah-dokah ijon. Otik pe lang marosuh ikan mangidah goyanta on,” nini Palnut. Irik hujai idanggurhon ma guri-guri ianan ni goya ai hu tongah bah janah nini, “Andon pangan, marpesta hanima ibagas in!” Dob ai maridi  ma sidea hubagas bah i bongbongan ai. Sodap ma tongon na maridi ai halani borsih tumang bah ni. “Bahat do naidah ikan  marlangei i toruh an, tapi mase lang adong na mandohori hailta? Ulang-ulang atap na lang maridi do ho nasogot,” nini Gompang dompak Palnut. “Yaa, na rado hutenju holi osang-osangmin da, ihatahon ho au lape maridi,” nini bani Gompang. Gompang domma mintor podas misir hu darat janah kehkehan.

Dob salosei maridi, mulak ma sidea. Sanggah mardalan, adong ma ididah Palnut sada bona ni bagod na dob iagati i tongah ni juma. Taridah tangkas domma adong buluh pananggoan ni bagod i atas. “Paima ijon lobei, hujan au tongkin,” nini Palnut janah misir ia dompak bona ni bagod ai. Sungkun-sungkun Gompang ibagas uhurni, “ Laho huja do nani nasalakan on?” Tapi sonaipe sip do hansa ia irik ididah huja Palnut laho. Dob das ia i bona ni bagod ai, mintor manangkih ma ia hu atas. Das ijai ididah i bagas buluh domma marisi bagod lobih satongah. Ibuat ma buluh ai, ihadanghon janah nanget-nanget ma ia turun hu toruh.

Dob satongah dalan ia turun, nini ma bani Gompang, “Gom, hujon lobei ho. Tangkap lobei buluh on ambia, domma ngayotan au.” Tapi nini Gompang ma mambalosi, “Ai mase buaton mu bagod in ambia, ai sedo bageanta in. Anggo pala ididah ompunganni, bois ma hita imarahi holi!” “Seng pala mahua ai, tutur Tulangta do ai. Porini roh ia holi hatahon hitalah, horas Tulang, ibuat hanami bagodmu halani domma horahan tumang hanami,” nini Palnut on use.  Roh ma tongon Gompang mangayaki Palnut janah itangkap ma buluh ianan ni bagod ai.

Das honsi itoruh, mintor isobur Palnut ma bagod ai han bagas buluh. Dob minum ia piga-piga  dorguk, iberehon ma buluh ai bani Gompang. “Nah, andon ambia. Suba lobei. Mattin tumang, matobu,” nini.  Ihatahon matobu, Gompang pe seng ra homani hatadingan. Mintor itatang ma buluh ai, ipadohor dompak babah ni janah mintor idorguk homani piga-piga hali. Dob ai hundul ma sidea songon na marsaran tongkin itoruh ni bagod ai. Boltokni pe domma gojong iahap halani bahatni bagod iinum. “Holi ulakhon hita use, adong  pe saparopat nari tading ibagas buluh on,” nini Palnut.

Tapi seng piga dokah sidea na soh on, mulai ma songon na mayap-ayap pangahap ni sidea.  “Minggot tumang ulungku huahap,” nini Gompang. “Au pe sonai do homa,” nini Palnut janah ijolomi uluni. Dob ai ipagallei sidea nadua ma itoruh ni bagot ai, lanjar mintor tarpodom. Domma mulai golap ari, tapi sidea nadua sinok tumang opei. Rongit domma bahat mallutungi sidea. Hira pukul 7 borngin, tarpuho ma Gompang. Tarsonggot ia dob ididah Palnut sinok opei ilambungni. Dob tarjolma ia bahasa domma golap ari, tapi seng ibagas rumah, roh ma biarni. Ipuhoi ma Palnut, “Pal, Pal. Na ija do hita on? Puho podas, domma golap ari!” nini ma dompaksi.

Puho ma tongon Palnut on, dob ai songon na taroto ma ia tongkin. Ikawahkon inggot, suan-suanan ganup. Tarsonggot ma ia dobkonsi ibotoh, itongah ni juma opei sidea. Jongjong ma ia,  iarahkon ma Gompang mulak. Mulak ma sidea idugot mabiar halani dalan pe seng pala torang be ididah. Ipinggir dalan malele huta, adong sada hayu banggal maningon laosan. Ongga ibogei sidea  barita, bahasa hayu banggal ai ianan parsinumbahan. Girgir tumang pangahap sidea dob lambin dohor bani hayu ai. Das honsi ijai, mintor marlintun ma Palnut  janah nini, “Eta, podaskon, marlintun ho! Idadap holi tanggurungmin hanpudi!” Mintor ma tongon marlintun sidea songon halisungsung halani biar ni.

Lobih hurang pukul 8 borngin das ma sidea i huta. Namatorasni pe domma busisaon torih-torih. Isungkuni hasoman sada pe lang mambotoh huja sidea laho. Das i huta mintor masuk ma sidea hu rumah ni bei. Das honsi Gompang i rumah roh ma inang ni manungkunsi, “Hunja do hanima nadua nongkan, Gom. Mase sonai dokah ni ase mulak? Bapani sip hassa halani domma ipalumba inangni hinan ase ulang imarahi ia. Ipatugah Gompang ma ganup namasa ai bani  namatorasni. “Tarpodom hanami ibonani bagod halani bagodon. Tapi sedo au mambuat bagod ai, Palnut do,” nini janah mabiar. “Iinum hanima bagod sanggah baru ibuat pe han atas?” isungkun bapani ia. “Eak Pa, ai mattin tumang idai hanami halani matobu. Paima ai, domma horahan hanami dob salosei mangkail,” nini.

“Gom, bagod na baru ibuat han bonani seng boi mintor inumon.  Na ijual i kode tuak ai pe seng mintor han bonani iboban hujai. Ibahen do lobei sampuranni songon bah pakon raru ase boi inumon,” nini bapani irik mangupir mangidah parlahou ni sidea. “Sonari eta hu rumahni ompungan ni bagod ai. Maningon mangaku salah hanima, halani domma loja ia maragat  ipabois hanima bagodni. Iarahkon ma homa Palnut, ase riap sidea hujai. Das honsi i rumah ai, ipatugah bapani Gompang on ma ganup namasa ai janah sihol ma ia pasuanghon harugian ni paragat ai. Palnut pakon Gompang on sip hassa, domma gobor imarahi. Tapi paragat ai seng marah, gariada tartawai ia use dob ibotoh namasa ai. “Seng pala pasuangon mu ai dahkam, paturut ham ma gelah. Parlajaran ma ai bani sidea nadua, ase ulang iulakhon be sonai,” nini. “Hanima nadua, uttung ma lang roh ulog modom hutongah-tongah nima. Seng ongga itangar hanima adong ulog na banggal ijai?” nini dompak sidea nadua.

Surabaya, 21 Agustus 2009 – Oleh Farel M. Sinaga