Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 3

Lalu kami masuk ke mobil. Posisi duduk tetap seperti semula. Hawa pegunungan kini tidak sedingin pagi tadi. Mobil mulai menurun mengikuti arah dari mana kami datang sebelumnya. Kini suasana agak santai, tidak setegang tadi pagi. Tadi pagi masih gelap dan berkabut sehingga tidak ingin membuka percakapan dengan sopir. Takut konsentrasi  terganggu sehingga bisa membahayakan. Namun suasana kini sudah berubah, keadaan sekeliling sudah terang. Lama berdiam diri, kucoba membuka percakapan dengan sopir:

“Mas, sudah lama jadi sopir disini?”  tanya saya.

“Kira-kira sepuluh tahun lebih,” sopir menjawab tetapi pandangannya tetap ke depan.

“Penduduk disini?”

“Ya, tinggal di Ngadisari.”

“Subuh tadi saat melintas melewati kabut, Mas kelihatan santai saja. Padahal, kita-kita ini sudah pada deg-degan?”

“Saya juga sedikit kuatir. Hanya saja jalur yang kita lalui cuma dataran pasir. Tak ada  jurang maupun parit di tepi jalan. Paling mobil salah arah atau menabrak gundukan tanah. Lagi pula jejak roda masih terlihat jelas. Tinggal kita ikuti saja. Cuma harus hati-hati dan jalan musti pelan,” lanjutnya menjelaskan.

“Wah, pengalaman 10 tahun berarti sudah hapal benar tempat ini. Bahkan kalau tutup matapun masih ingat arah yang mau dituju!” seru saya memuji.

Dia hanya ketawa kecil. Lalu diam dan suasana hening kembali. Di belakang sama sekali tak terdengar suara. Barangkali tidur atau melamun? Bisa juga tutup mata lantaran takut mabuk. Jalan terus menurun dan berliku-liku. Kadang terlihat jurang amat dalam menganga di tepi jalan. Kelihatan jalan disini apalagi tepi jurang tidak semua pakai pagar pembatas sebagimana lazimnya jalan di pengunungan. Kalau tidak hati-hati, kenderaan bisa  menerobos dan menyemplung masuk jurang. Bah, kalau sempat kejadian, bisa-bisa tak balik lagi ke Jakarta atau  Pematang Siantar. Namun, saya percayakan saja pada sopir begitu pula kenderaan yang kami tumpangi. Tentu saja tidak lupa berdoa, semoga tetap dilindungi dalam perjalanan.

Tidak berapa lama, akhirnya kami tiba di laut  pasir yang kami lintasi tadi pagi. Suasana telah berobah drastis dibanding sebelumnya. Udara cerah dan pemandangan sekitar kini terlihat dengan jelas. Benar-benar indah dan mengagumkan. Pagi tadi ketika dilihat dari puncak, tempat ini tampak begitu angker saat masih diselimuti kabut tebal. Kini kabut telah sirna, entah kemana. Sejauh mata memandang hanya ada laut pasir luas dengan latar belakang tebing gunung yang curam.  Pemandangan lain yang tak kalah bagus adalah Gunung Batok. Sebelumnya tampak hitam kelam di balik awan putih tebal. Kini telah terbebas dari awan dan warna asli hitam kecoklatan terlihat dengan jelas.

Sesaat kemudian kami telah tiba di tempat parkir mobil. Lokasi parkir tidak jauh dari sebuah pura Hindu yang berdiri  disana. Tampak mobil lain yang tiba lebih dahulu sudah terparkir. Sekarang mereka sedang menunggu penumpang yang sedang naik ke atas melihat kawah Tengger.  Begitu turun dari mobil, kami langsung disambut oleh beberapa orang penunggang kuda. Mereka menawarkan untuk membawa kami ke atas sampai ke tangga menuju kawah. Saya telah diwanti-wanti oleh sopir kalau menyewa kuda pembayaran dilakukan setelah kami tiba kembali disini.

Jalan Menuju Kawah Tengger

Sejenak saya memandang ke atas. Puncak Gunung Tengger cukup jauh dan jalan terus mendaki. Barangkali jaraknya ada satu kilometer. Bagaimana kalau saya coba jalan kaki dulu hingga sebatas saya mampu, baru naik kuda kalau tidak kuat lagi? Tidak apa-apa, soalnya hanya ingin menguji stamina saja. Apakah dengan usia segini saya masih kuat untuk bertualang ke atas sana? Lalu rencana ini saya utarakan pada teman-teman. Saya sarankan mereka boleh saja naik kuda kalau tidak kuat berjalan kaki. Tetapi merekapun agaknya ingin juga menguji kemampuan dan bersikukuh untuk ikut jalan kaki.

Kelihatan banyak pengunjung yang pergi berjalan kaki. Diantaranya para ibu serta orang tua. Kalau  mereka saja mampu, kenapa kami tidak? Kami mulai melangkah dan berjalan menyusuri dataran berpasir. Begitu berjalan beberapa langkah, tiba-tiba tercium bau pesing dimana-mana. Rupanya kuda-kuda itu pada kencing disini. Hanya saja begitu kencing langsung terserap oleh pasir, sehingga tidak sampai tergenang. Kotoran kuda sendiri  tidak terlihat berserakan. Boleh jadi pemiliknya diwajibkan untuk segera membersihkan apabila kudanya mengotori jalan.

Gunung Batok Dilihat Dari Dekat

Letak jalan menuju kawah Tengger persis bersebelahan dengan Gunung Batok. Kini bentuknya tampak jelas sekali dilihat dari jarak dekat. Cocok sekali dengan namanya Gunung Batok, bentuk maupun warnanya memang mirip tempurung kelapa yang terbalik. Permukaan gunung ini gundul, nyaris tak ditumbuhi apapun. Tumbuhan, kalaupun ada hanya di beberapa tempat  berupa ilalang atau belukar di antara celah bebatuan. Kalau diperhatikan, gunung ini terlihat laksana sebuah onggokan cadas keras kokoh tersembul dari permukaan bumi. Mirip dengan foto gunung di permukaan Mars produksi NASA.

Lembah antara Jalan Ke Kawah dan Gunung Batok

Antara jalan setapak menunju kawah dengan Gunung Batok dibatasi oleh lembah. Lembah ini tidak begitu dalam maupun curam. Tapi kalau sempat terperosok dan jatuh tergelincir, cadas keras dan tajam dengan celah sempit siap menampung di bawah sana. Pagar pengaman sekedar untuk pembatas di pinggir jalan tidak ada. Cukup berbahaya apabila naik kuda, bisa-bisa kudanya tergelincir masuk lembah. Tapi kemungkinan ini kecil sekali. Soalnya setiap kuda yang dinaiki oleh turis selalu dituntun oleh pemiliknya. Dia berjalan di depan  sambil menarik tali kekang kuda yang mengikut dari belakang.

Rombongan Turis Dilihat Dari Tebing Kawah

Kuda-kuda yang disewakan di tempat ini cukup banyak. Barangkali jumlahnya ada 100 ekor lebih. Para penunggang ini kelihatan sabar mengikuti orang-orang yang berjalan sambil menawarkan kudanya. Berbagai cara mereka lakukan untuk mempengaruhi pengunjung. Misalnya, ada yang mengatakan:

“Capek lho, Pak. Itu lihat, tempatnya jauh sekali di atas sana. Jalan harus mendaki lagi. Jarang ada orang yang mampu berjalan sejauh itu.”

Sudah bisa ditebak, makin dekat ke tujuan tarip sewa juga akan turun. Penunggang kuda yang dari tadi mengikuti saya juga bertindak demikian. Tiap saya melangkah sekitar 50 meter sewa juga diturunkan. Tetapi saya tetap menolak secara halus . Satu hal yang membuat saya terkesan, mereka kelihatan sabar biarpun tawarannya ditolak. Tindakan  mereka cukup sopan, tidak terlihat ada pemaksaan.

Sejak berangkat dari tempat parkir, saya berjalan di depan dengan Sudaryadi. Imam dan sopir menyusul dari belakang dengan jarak sekitar 10 meter. Namun, semakin lama berjalan tampak kedua orang itu semakin jauh tertinggal di belakang. Bahkan sesaat kemudian tampak keduanya sudah terduduk di atas bebatuan. Agaknya mereka sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Wah, masih usia muda begini sudah ampun! Melihat mereka berhenti, segera kuajak Sudaryadi untuk istirahat sambil menunggu. Tapi dari jauh kelihatan Imam memberi tanda agar kami jalan terus, tidak usah menunggu mereka.

Istirahat Memulihkan Tenaga

Sudaryadi rupanya sudah kebelet mau buang air kecil sejak tadi. Dia mulai mencari lokasi aman namun tak ada karena banyak orang. Kusarankan agar dia pergi ke balik batu besar saja, tidak usah jauh-jauh. Tak bakal ada yang mengintip. Memangnya siapa yang mau mengintip, dan apa yang mau diintip? Begitu dia berlalu, saya cari tempat duduk buat istirahat sejenak. Cukup lama saya menunggu, tetapi Sudaryadi belum muncul-muncul. Lho, si kawan ini kemana? Saya bangkit untuk mencari tahu, kenapa bisa sampai segitu lama. Tetapi, alamak! Hanya  untuk pipis harus beranjak sampai sejauh 50 m?

Tak sabar lagi menunggu, akhirnya saya melanjutkan perjalanan.  Seorang penunggang  kuda tiba-tiba sudah membuntuti. Harga yang ditawarkanpun makin turun. Tetapi saya  tolak. Kelihatan dari raut wajahnya dia kecewa namun tidak bilang apa-apa. Kujelaskan pada dia bahwa sekarang  sudah tanggung naik kuda karena jarak hanya sekitar 50 m lagi. Kutambahkan lagi bahwa saya hanya ingin menguji kemampuan untuk berjalan sampai ke puncak. Sekembali dari kawah nanti kemungkinan saya akan naik kuda. Kusarankan agar dia mencoba mendatangi teman-teman yang tertinggal di belakang.

Akhirnya saya tiba di bawah tangga. Lalu istirahat sebentar sambil menaksir jarak yang harus ditempuh. Tampak ujung tangga di atas sana cukup  jauh. Berarti perjuangan masih berat agar bisa lolos sampai final. (Lho, kayak Piala Dunia saja, pakai final segala!) Telah kutekadkan untuk menghitung anak tangga dari awal sampai akhir. Kabarnya telah banyak turis yang mencoba tetapi hasilnya tidak pernah sama. Menurut saya ini harus pakai kiat khusus, agar jawaban akurat. Lalu saya mulai melangkah menapaki anak tangga. Pada anak tangga ke-10 berhenti untuk istirahat—dan tentu saja agar tetap bisa fokus.

Bersambung ke Bagian 4

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 2

Pria ini menawarkan agar kami menginap di hotel tempat kami berhenti. Sedikit berpromosi  dia kasih tahu fasilitas apa saja yang tersedia. Segera kami masuk untuk melihat kamar yang dia maksud. Kami sendiri hanya butuh satu kamar sekedar untuk istirahat. Dalam kamar ada dua tempat tidur masing-masing bisa muat dua orang. Setelah berunding sebentar kami menyatakan setuju. Lalu kami serahkan uang panjar Rp 200.000. Sisanya dibayar besok. Sewa kamar satu malam Rp 150.000 sedang tarip satu kenderaan buat empat orang Rp 400.000. Sebelum pergi, dia berjanji akan datang menjemput pukul 04.00 dini hari nanti.

Udara malam di Ngadisari terasa dingin sekali. Jacket yang saya kenakan agaknya tidak mempan untuk menahan hawa dingin. Beberapa orang pedagang asongan datang ke hotel menjajakan jaket, kain tebal penutup kepala, syal, dan sarung tangan. Saya beli sebuah penutup kepala serta sepasang sarung tangan. Harga jadi seluruhnya tidak kurang dari Rp 25.000, itupun setelah terjadi tawar-menawar. Biasalah, namanya pedagang. Dengan  sedikit memelas dia bilang di bawah harga itu dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Hanya itu yang saya perlukan. Sweater dan syal telah saya siapkan dari rumah.

Setelah masuk kamar saya coba menyentuh air di wastafel. Auh, dinginnya bukan main! Terasa membekukan! Lantas kran air panas saya buka. Butuh waktu agak lama hingga  airnya keluar. Lalu saya membasuh wajah dan tangan. Habis itu mengenakan sweater serta berbagai atribut lainnya. Teman-teman juga melakukan hal serupa. Selesai lalu keluar untuk mencari kopi di kantin. Ternyata kantin sudah tutup, maklum sudah pukul 01.30 pagi. Kami diminta pria penjaga  hotel pergi ke warung kopi di seberang jalan.

Tiba disana tampak warung itu ditunggui oleh seorang nenek tua. Rupanya dia sudah sempat tertidur. Begitu mengetahui  kami datang dia lantas bangun. Kopi yang dia suguhkan ternyata kopi instan, bukan kopi hitam kesukaan saya. Kami cuma sebentar disana. Habis minum kopi  langsung balik ke hotel. Udara di luar amat dingin dan terasa badan saya menggigil. Walau begitu para penjaja barang tampak masih berkeliaran. Dua orang mengikuti kami sampai ke pintu. Setelah yakin kami tidak butuh apa-apa lagi, mereka pergi. Kami langsung tidur karena waktu tinggal 2 jam lagi sebelum berangkat.

Lagi enak mimpi, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu. Kulirik jam, ternyata sudah pukul 03.30. Kami diminta untuk berkemas karena pukul 04.00 tepat harus berangkat. Segera kami bangun lalu berbenah. Pakaian saya tambah menjadi tiga lapis, yakni kaos oblong, sweater, dan jacket. Sudah itu kami masuk mobil. Sebuah jeep Toyota Hardtop warna merah telah menunggu. Pengemudinya seorang Tengger. Saya duduk di jok depan  sebelah sopir sementara teman-teman mengambil tempat di jok belakang. Sebelum keluar dari perkampungan, kami harus melewati dua gardu penjaga. Pada setiap gardu sopir menghentikan mobil lalu melapor ke dalam.

Lewat perkampungan jalan mulai mendaki tajam. Lalu mulai menurun dan berliku-liku. Suasana sekeliling gelap, tidak terlihat apa-apa. Hanya bagian depan yang tersorot lampu mobil yang bisa dilihat. Tidak lama kemudian, kami tiba di jalan mendatar─tepatnya hamparan pasir. Tiba-tiba pemandangan di depan tampak serba putih tertutup kabut tebal. Jarak pandang ke depan tidak lebih dari 5 meter. Mobil terpaksa berjalan pelan karena kaca juga tertutup kabut. Sopir berusaha menyapu kaca dengan punggung telapak tangan namun tidak banyak membantu. Beruntung lintasan hanya sebuah dataran luas, jadi tidak perlu kuatir akan terperosok.

Setelah berjuang melewati kabut, jalan terasa mulai mendaki. Cuma anehnya semakin tinggi mendaki kabut juga berangsur hilang. Dalam keremangan pagi mulai terlihat  pepohonan, bukit maupun jurang. Kenderaan terus mendaki dan kadang menikung tajam.  Jalan amat sempit, hanya muat satu kenderaan. Kalau berpapasan, salah satu harus mengalah untuk menunggu. Disini kita hanya bisa yakin pada kehandalan dan pengalaman sopir saja. Begitu juga dengan kondisi mobil. Biarpun kelihatan tua, mobil ini masih kuat dan handal untuk mendaki. Hanya saja sebelum mendaki pada tanjakan curam, mobil harus berhenti dulu. Terlihat sopir mengambil ancang-ancang sambil ganti persnelling sebelum tancap gas.

Semakin lama pemandangan indah pegunungan mulai terlihat dalam keremangan pagi.  Tampak pula sorotan lampu kenderaan dari arah lain di kejauhan. Ternyata cahaya itu berasal dari barisan kenderaan yang mengambil jalur lain. Sesaat kemudian kami tiba di pemberhentian mobil. Tampak kenderaan lain sudah banyak yang tiba lebih dahulu. Beberapa mobil angkutan umum sekelas minibus juga terlihat  disana. Bahkan, Toyota Avanza juga ada. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa mobil sekelas ini melintasi jalan seperti yang kami lalui barusan. Ternyata mereka melintas dari jalur lain dimana tanjakan tidak begitu curam.

Turun dari mobil kami jalan kaki menuju pasenggarahan di puncak. Beberapa menara  telekomunikasi dan microwave terlihat berdiri disana. Anak tangga yang kami lalui cukup banyak untuk membuat napas ngosngosan. Tapi hitung-hitung tidak ada salahnya, anggap saja  olah raga pagi. Udara disana dingin seolah membekukan. Kucoba melepas sarung tangan, terasa dingin bukan main. Lalu cepat-cepat saya kenakan lagi. Terlihat cukup ramai orang berkunjung kesana. Tetapi sebagian besar adalah wisatawan manca daerah atau wisatawan lokal. Orang asing tidak begitu banyak. Hanya ada beberapa  turis orang Bule serta turis dengan wajah Asia seperti Jepang dan Korea.

Akhirnya kami tiba di puncak. Disana terdapat tempat duduk besi tanpa atap dibangun secara permanen. Letaknya di udara terbuka  sehingga cocok buat tempat istirahat sambil menikmati pemandangan. Disitu ada juga pendopo pakai atap. Kemungkinan dibuat untuk tempat berteduh apabila turun hujan. Tempat duduk ini sudah terisi penuh oleh para turis yang tiba lebih dulu. Pagar pembatas juga telah dipenuhi pengunjung yang ingin melihat matahari terbit. Kamera telah disiapkan, siap untuk mengabadikan momen langka saat mentari naik perlahan dari balik horizon. Tujuan utama sebagian besar pengunjung memang untuk mengamati momen ini. Terang saja kami tidak mau ketinggalan, ingin melihat apa sesungguhnya yang terjadi.

Kini posisi bagus untuk memandang dari dalam tidak ada lagi. Sia-sia kami mencari kesana kemari. Tempat-tempat strategis sudah dipadati pengunjung. Tak mau menyerah begitu saja kami segera keluar. Kini kami dapat tempat disamping pasenggrahan. Tidak ada tempat duduk, tetapi pandangan ke depan leluasa tak terhalang apapun. Dan apa yang terlihat disana membuat kami takjub. Sebuah panorama indah tampak terbentang di bawah sana. Sangat mempesona dan mengagumkan. Kami hanya bisa terdiam buat beberapa saat. Kini segalanya hening, tak ada suara berisik. Hanya bunyi serangga yang terdengar bersahutan. Memperdengarkan irama seolah melantunkan sebuah gita. Gita pujian bagi kebesaran Sang Pencipta. Ya, gita damai di puncak Bromo.

Gunung Batok dan Gunung Semeru

Dalam kegelapan terlihat jelas awan putih laksana salju menutupi hamparan luas bentuk persegi. Seolah terkurung oleh dinding terjal pada empat sisi—tak bisa beranjak kemana-mana, selain melayang keatas. Puncak Gunung Batok tampak kokoh menyembul dari balik awan. Warna kehitaman terlihat amat kontras dengan awan putih yang menyelubungi. Nun di balik Gunung Batok, tampak puncak Gunung Semeru memperlihatkan diri dari balik mega. Gunung tertinggi di bumi pertiwi ini terlihat menjulang ke atas seolah menggapai langit.

Matahari Terbit Dilihat dari Puncak Bromo

Tak lama warna merah kuning keemasan mulai muncul di balik horizon. Pertanda fajar akan menyingsing di ufuk Timur. Orang-orangpun mulai sibuk saling jepret sana-sini. Seorang wanita Bule datang menghampiri sambil membawa sebuah kamera. Lalu kusapa:

“Can I help you?”

“Excuse me. Would you please help me to take some pictures?” katanya sambil menyerahkan kamera.

“Sure. Of course I would,” jawab saya.

Agaknya wanita ini hanya datang seorang diri. Dia minta tolong untuk diambilkan foto. Saya tak keberatan lalu mulai membidik. Ternyata jari telunjuk saya kaku tak bisa menekan tombol akibat terbungkus sarung tangan tebal. Sarung tangan kanan kulepas, tapi huuuh…, dinginnya bukan kepalang. Tapi kupaksakan juga memoto hingga  dua kali, agar dia tidak kecewa. Dia tampaknya mengerti kondisi saya. Lalu mendekat meninggalkan posisi semula. Kuserahkan kameranya, lalu dia melihat hasilnya.

“How do you think?” tanya saya.

“Oh, nice. Thank you very much!” jawabnya. Kemudian dia berlalu.

Sarung tangan kupakai lagi lalu bergabung dengan teman-teman untuk foto. Gantian kami saling bidik dari berbagai posisi dan sudut pandang. Tak lupa saya ambil beberapa foto pemandangan alam sekitar. Suasana di puncak sudah mulai terang seiring naiknya matahari. Hawa mulai terasa sedikit hangat. Kini saya berani melepas sarung tangan agar lebih leluasa menekan tombol kamera. Tampak suasana di Pasenggerahan sudah mulai longgar. Kami cari tempat duduk kosong buat istirahat sejenak. Kini waktu kami gunakan  buat menikmati pemandangan sepuasnya karena kesempatan seperti ini amat langka.

Tempat Peristirahatan di Puncak Bromo

Satu persatu pengunjung kelihatan beranjak meninggalkan lokasi. Sebelum pergi, kami masih menyempatkan diri saling berfoto di lingkungan dalam  Pasenggarahan. Puas, lalu kami keluar. Kami mulai berjalan menuruni tangga. Ketika lewat, tampak beberapa penjual jagung bakar teriak-teriak menawarkan dagangannya. Saya ajak teman berhenti sebentar makan jagung. Tambahan perut mulai keroncongan karena belum masuk makanan sejak berangkat dini hari tadi. Cuma sebentar kami disini. Dari jauh sopir kelihatan sudah menunggu. Kini kami siap untuk berangkat menuju kawah Tengger. Suasana   sekitar terlihat sepi, ternyata banyak pengunjung sudah berangkat lebih dulu.

Bersambung ke Bagian 3

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 1

Jumat, 21 Nopember 2009. Tiba di kantor agak pagi. Suasana di ruangan masih sepi. Tak terasa besok sudah akhir pekan. Jumat malam biasanya pulang dan kumpul dengan keluarga di Jakarta. Namun malam ini sudah kuputuskan tidak pulang. Terlalu capek  bolak-balik tiap minggu. Hari ini tas juga  terasa ringan─hanya berisi kotak kacamata, charger telepon selular, dua buah buku serta surat-surat. Coba kalau pulang, tas akan dipenuhi berbagai macam tetek bengek. Cuma sedikit bingung, disini mau melakukan apa untuk mengisi libur besok? Lihat-lihat buku ke Gramedia atau cuci mata di Mall? Berapa lama saya bisa bertahan disana? Ah, peduli amat. Browsing saja di rumah. Dijamin waktu akan berlalu dengan cepat tanpa terasa.

Ruang Kerja di Kantor

Begitu sadar dari lamunan, segera komputer kuhidupkan. Kumulai menjelajahi intranet untuk  melihat  informasi apa saja yang baru terbit dari kantor pusat. Selagi asyik mencari-cari, sekilas terbaca ada email masuk. Segera kubaca, ternyata ucapan selamat pagi dari Imam di Facebook (FB). Lalu kubalas sekenanya dengan jawaban singkat “morning too”. Setelah  itu  larut lagi dalam  pencarian. Tiba-tiba SMS masuk lewat ponsel. Ternyata dari Imam lagi. Dia minta kesediaan saya ikut rombongan mereka malam ini ke Gunung Bromo kalau  tidak pulang ke Jakarta. Dia menambahkan, peserta yang ikut hanya bujang lokal, tanpa keikutsertaan anggota keluarga.

Saya mulai menimbang-nimbang, mau pergi atau tidak. Dalam hati saya berkata: “Koq sepertinya Imam tahu kalau sore ini saya tidak balik?” Setelah mempertimbangkan sebentar, lalu kuambil keputusan. Langsung saya kasih jawaban bersedia untuk ikut. Hanya saya tekankan tidak keberatan asal tidak merepotkan. Tak lama dia langsung kirim informasi bahwa berangkat dari Surabaya sekitar pukul 21.00 malam. Tak lupa dia mengingatkan agar saya membawa pakaian tebal atau jacket, karena udara di pegunungan sangat dingin. Dia minta agar saya menunggu saja di rumah. Nanti malam mereka akan datang menjemput.

Sorenya tiba di rumah pulang dari kantor, saya langsung berkemas-kemas. Satu persatu  barang-barang keperluan kusiapkan untuk dibawa nanti. Habis itu saya mandi, lalu makan malam. Tepat pukul 19.00 semua sudah siap, tinggal menunggu keberangkatan. Menunggu sampai jam 21.00 tentu akan terasa lama. Komputer segera kuhidupkan untuk mengisi waktu sambil melihat-lihat status teman di FB. Beragam kebiasaan maupun perilaku facebooker ini. Tidak semua aktip mengupdate status. Ada yang rajin mengisi tiap hari,  ada pula melakukannya secara berkala. Namun tak sedikit membiarkan kosong begitu saja. Boleh jadi pemiliknya sibuk sehingga tak ada kesempatan untuk mengupdate status sendiri.

Sampai saat ini,  teman saya di  FB jumlahnya relatif sedikit dibanding pengguna lain. Memang tujuan utama menjadi pengguna semata-mata untuk memperlancar komunikasi dengan keluarga terutama anak-anak. Komunikasi lewat FB terasa lebih asyik ketimbang telepon atau SMS. Biayapun relatip lebih murah.  Hingga kini jumlah teman saya masih di bawah seratus orang. Jauh dibawah  pengguna lain yang punya ratusan bahkan ribuan teman. Bahkan cenderung meningkat dengan tambahnya teman baru. Muncul pertanyaan, bagaimana jika seluruh teman-teman ini rajin update status. Pasti butuh waktu banyak hanya untuk membaca saja. Belum lagi kalau kasih komentar, minimal buat teman yang perduli dan setia. Hitung-hitung  ungkapan rasa terima kasih karena dia masih menaruh perhatian dan menganggap kita sebagai teman.

Membuat teman baru di FB tidak sulit. Tinggal tambah lalu tunggu konfirmasi. Atau bisa orang lain yang menambahkan kita, tinggal kita mau atau tidak. Tetapi yang sulit adalah mengisi agar pertemanan berlanjut dan memberi manfaat. Tidak sekedar asal teman. Pengalaman justru membuktikan lain sehingga timbul  rasa galau dan kurang nyaman. Setelah mendapat  teman baru, saya selalu berusaha agar pertemanan bisa berjalan lebih akrab. Cara paling praktis adalah mengomentari status maupun foto-foto yang dia sodorkan. Tentu cukup wajar dan tidak berlebihan jika saya juga mengharapkan  tindakan serupa─meski kenyataannya tak bisa berharap terlalu banyak. Komunikasi akan berjalan dua arah, tampak ada niat baik sebagai teman,   dan tidak sekedar basa-basi.

Sering aku menemukan teman agak sulit dipahami. Pengguna lain barangkali juga pernah mengalami hal sama.  Telah kucoba  berbagai cara menjalin komunikasi namun serasa menghadapi tembok.  Dia kasih komentar? Jangan harap! Komentar kita atas sodoran dia saja tidak  direspon. Memang  tak ada keharusan mengomentari status orang lain.  Cuma kalau berteman wajar terjadi saling komunikasi. Tapi  agaknya mereka ini lebih senang jadi pusat perhatian. Lama-lama  timbul juga semacam keraguan, jangan-jangan saya dikira usil atau kurang kerjaan.  Sadar usaha saya percuma, tindakan ini akhirnya kuhentikan. Tapi kasus ini tampaknya belum apa-apa dibanding pengguna lain. Ada pengguna punya teman lebih dari seribu tetapi statusnya miskin komentar─ibarat pedagang,  sepi dari pembeli.

Seorang pengguna mestinya sadar, status yang disodorkan akan ditampung oleh pengguna lain. Begitu pula sebaliknya. Komputer penerima akan dibanjiri oleh status sodoran  pengguna lain─entah itu disukai atau tidak. Tidak jarang komputer menjadi lambat karena over kapasitas. Tetapi, jika pertemanan berlangsung baik resiko seperti ini tidak menjadi masalah. Malah semakin ramai terasa semakin menyenangkan. Resiko bisa diterima sebagai  buah dari suatu pertemanan. Yang penting jangan sibuk sendiri tanpa mau melirik sedikitpun status teman. Sodoran dari seorang pengguna egois apalagi bernada arogan jelas tidak diinginkan, bahkan bisa bikin mual.

Tengah saya tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba terdengar SMS masuk. Saya baca di ponsel, ternyata mereka sudah meluncur. Kini posisi mereka di Jalan Kayoon, sedang menuju ke tempat saya. Komputer langsung kumatikan, lalu menyambar tas. Saya   segera keluar untuk menyongsong, agar mereka tidak sampai menunggu. Tiba di mobil saya lihat hanya ada tiga orang. Imam, Sudaryadi dan Satpam kantor bertugas sebagai sopir. Satpam ini sebelumnya telah pernah berkunjung ke Bromo sehingga tidak ada keraguan akan tersesat dalam perjalanan. Satu hal paling penting adalah penguasaan lokasi. Semula saya sempat kuatir karena tak seorangpun dari kami bertiga pernah berkunjung kesana.

Saat mau berangkat kulirik jam, ternyata sudah pukul 21.45. Berarti terlambat berangkat dari jadwal semula. Sore tadi memang sempat turun hujan lebat di Surabaya sehingga beberapa ruas jalan digenangi air. Kenderaan banyak yang merubah arah mencari jalur lain untuk menghindari genangan. Rupanya kenderaan lain juga berbuat serupa. Bisa ditebak jalanan akhirnya menjadi macet karena terjadi penumpukan kenderaan. Imam juga sempat terperangkap cukup lama dalam kemacetan sepulang dari kantor.  Ini terbaca dari status  di Facebook. Disana dia teriak-teriak, ini masih Surabaya apa Jakarta? Barangkali keterlambatan ini  efek samping dari  kemacetan tadi sehingga molor 45 menit dari rencana semula.

Tiba di Sidoarjo kami berhenti untuk mengisi bahan bakar. Habis itu membeli beberapa makanan kecil sambil istirahat sebentar. Kebetulan ketiga teman saya ini adalah perokok. Momen ini mereka gunakan untuk melampiaskan hasrat yang agaknya telah tertahan sejak dari  tadi. Setengah jam kemudian kami meneruskan perjalanan. Situasi di jalan umumnya lancar, tidak terjadi kemacetan. Begitu pula di Porong, lokasi lumpur panas yang menenggelamkan sebagian wilayah Sidoarjo. Biasanya tempat ini selalu macet karena terdapat penyempitan jalan.

Masih jelas terbayang ketika melintas dari sini mau pergi wisata ke Batu Malang pada pertengahan 2006. Ketika itu lumpur belum menyembur di Porong, sehingga jalan tol arah Gempol masih utuh. Lama perjalanan dari Surabaya ke Malang dan sebaliknya hanya makan waktu lebih kurang satu jam. Namun kondisi sekarang amat jauh berbeda dan benar-benar memprihatinkan. Tiang penyangga jalan tol yang berdiri tepat di kolam lumpur secara perlahan turun dan amblas ke tanah. Begitu amblas badan jalan tol pun ikut-ikutan retak dan patah. Akhirnya jalan tol Sidoarjo–Gempol harus dibongkar karena mustahil bisa digunakan lagi.

Kini kami telah melewati wilayah Pasuruan. Tiba di sebuah jalan alternatip kami belok kanan lalu langsung menuju arah Probolinggo. Kondisi jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Udara mulai terasa dingin. Dalam mobil kami lebih banyak diam namun tidak ada yang tertidur. Mata mulai terasa berat namun terpaksa ditahan. Kuatir kalau tertidur, sopir juga ikut mengantuk. Sudaryadi kelihatan tidak bisa menahan kantuk. Dari tadi kelihatan mengangguk-angguk saja. Saya dan Imam—yang duduk di sebelah sopir—berusaha tetap terjaga. Jalan-jalan tampak sepi padahal baru pukul 22.00 malam. Agaknya warga lebih senang tinggal di rumah ketimbang menahan udara dingin di luar.

Pukul 24.15 kami tiba di Desa Ngadisari. Kami langsung berhenti tepat di depan sebuah hotel begitu melihat tanda larangan tidak boleh lewat. Beberapa pria tampak duduk mengelilingi api unggun. Pakaian tebal yang mereka kenakan seolah belum mampu menahan hawa dingin. Salah seorang bangkit lalu datang menghampiri. Dia mengatakan, izin lewat bagi kenderaan milik turis hanya sampai disini. Para  wisatawan yang ingin berkunjung ke puncak Bromo bisa menyewa salah satu kenderaan yang tersedia.  Tampak  puluhan jeep merk Toyota Hardtop berjejer rapi. Kenderaan ini agaknya armada khusus yang sengaja disiapkan untuk mengangkut turis. Menurut pria ini, jumlah kenderaan jenis ini ada 200 buah. Dalam hati saya berpikir: “Pantas jeep Toyota Hardtop sudah jarang terlihat berseliweran di Jakarta. Rupanya sebagian besar sudah dipindahkan kemari.”

Bersambung ke Bagian 2