Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 1

Jumat, 21 Nopember 2009. Tiba di kantor agak pagi. Suasana di ruangan masih sepi. Tak terasa besok sudah akhir pekan. Jumat malam biasanya pulang dan kumpul dengan keluarga di Jakarta. Namun malam ini sudah kuputuskan tidak pulang. Terlalu capek  bolak-balik tiap minggu. Hari ini tas juga  terasa ringan─hanya berisi kotak kacamata, charger telepon selular, dua buah buku serta surat-surat. Coba kalau pulang, tas akan dipenuhi berbagai macam tetek bengek. Cuma sedikit bingung, disini mau melakukan apa untuk mengisi libur besok? Lihat-lihat buku ke Gramedia atau cuci mata di Mall? Berapa lama saya bisa bertahan disana? Ah, peduli amat. Browsing saja di rumah. Dijamin waktu akan berlalu dengan cepat tanpa terasa.

Ruang Kerja di Kantor

Begitu sadar dari lamunan, segera komputer kuhidupkan. Kumulai menjelajahi intranet untuk  melihat  informasi apa saja yang baru terbit dari kantor pusat. Selagi asyik mencari-cari, sekilas terbaca ada email masuk. Segera kubaca, ternyata ucapan selamat pagi dari Imam di Facebook (FB). Lalu kubalas sekenanya dengan jawaban singkat “morning too”. Setelah  itu  larut lagi dalam  pencarian. Tiba-tiba SMS masuk lewat ponsel. Ternyata dari Imam lagi. Dia minta kesediaan saya ikut rombongan mereka malam ini ke Gunung Bromo kalau  tidak pulang ke Jakarta. Dia menambahkan, peserta yang ikut hanya bujang lokal, tanpa keikutsertaan anggota keluarga.

Saya mulai menimbang-nimbang, mau pergi atau tidak. Dalam hati saya berkata: “Koq sepertinya Imam tahu kalau sore ini saya tidak balik?” Setelah mempertimbangkan sebentar, lalu kuambil keputusan. Langsung saya kasih jawaban bersedia untuk ikut. Hanya saya tekankan tidak keberatan asal tidak merepotkan. Tak lama dia langsung kirim informasi bahwa berangkat dari Surabaya sekitar pukul 21.00 malam. Tak lupa dia mengingatkan agar saya membawa pakaian tebal atau jacket, karena udara di pegunungan sangat dingin. Dia minta agar saya menunggu saja di rumah. Nanti malam mereka akan datang menjemput.

Sorenya tiba di rumah pulang dari kantor, saya langsung berkemas-kemas. Satu persatu  barang-barang keperluan kusiapkan untuk dibawa nanti. Habis itu saya mandi, lalu makan malam. Tepat pukul 19.00 semua sudah siap, tinggal menunggu keberangkatan. Menunggu sampai jam 21.00 tentu akan terasa lama. Komputer segera kuhidupkan untuk mengisi waktu sambil melihat-lihat status teman di FB. Beragam kebiasaan maupun perilaku facebooker ini. Tidak semua aktip mengupdate status. Ada yang rajin mengisi tiap hari,  ada pula melakukannya secara berkala. Namun tak sedikit membiarkan kosong begitu saja. Boleh jadi pemiliknya sibuk sehingga tak ada kesempatan untuk mengupdate status sendiri.

Sampai saat ini,  teman saya di  FB jumlahnya relatif sedikit dibanding pengguna lain. Memang tujuan utama menjadi pengguna semata-mata untuk memperlancar komunikasi dengan keluarga terutama anak-anak. Komunikasi lewat FB terasa lebih asyik ketimbang telepon atau SMS. Biayapun relatip lebih murah.  Hingga kini jumlah teman saya masih di bawah seratus orang. Jauh dibawah  pengguna lain yang punya ratusan bahkan ribuan teman. Bahkan cenderung meningkat dengan tambahnya teman baru. Muncul pertanyaan, bagaimana jika seluruh teman-teman ini rajin update status. Pasti butuh waktu banyak hanya untuk membaca saja. Belum lagi kalau kasih komentar, minimal buat teman yang perduli dan setia. Hitung-hitung  ungkapan rasa terima kasih karena dia masih menaruh perhatian dan menganggap kita sebagai teman.

Membuat teman baru di FB tidak sulit. Tinggal tambah lalu tunggu konfirmasi. Atau bisa orang lain yang menambahkan kita, tinggal kita mau atau tidak. Tetapi yang sulit adalah mengisi agar pertemanan berlanjut dan memberi manfaat. Tidak sekedar asal teman. Pengalaman justru membuktikan lain sehingga timbul  rasa galau dan kurang nyaman. Setelah mendapat  teman baru, saya selalu berusaha agar pertemanan bisa berjalan lebih akrab. Cara paling praktis adalah mengomentari status maupun foto-foto yang dia sodorkan. Tentu cukup wajar dan tidak berlebihan jika saya juga mengharapkan  tindakan serupa─meski kenyataannya tak bisa berharap terlalu banyak. Komunikasi akan berjalan dua arah, tampak ada niat baik sebagai teman,   dan tidak sekedar basa-basi.

Sering aku menemukan teman agak sulit dipahami. Pengguna lain barangkali juga pernah mengalami hal sama.  Telah kucoba  berbagai cara menjalin komunikasi namun serasa menghadapi tembok.  Dia kasih komentar? Jangan harap! Komentar kita atas sodoran dia saja tidak  direspon. Memang  tak ada keharusan mengomentari status orang lain.  Cuma kalau berteman wajar terjadi saling komunikasi. Tapi  agaknya mereka ini lebih senang jadi pusat perhatian. Lama-lama  timbul juga semacam keraguan, jangan-jangan saya dikira usil atau kurang kerjaan.  Sadar usaha saya percuma, tindakan ini akhirnya kuhentikan. Tapi kasus ini tampaknya belum apa-apa dibanding pengguna lain. Ada pengguna punya teman lebih dari seribu tetapi statusnya miskin komentar─ibarat pedagang,  sepi dari pembeli.

Seorang pengguna mestinya sadar, status yang disodorkan akan ditampung oleh pengguna lain. Begitu pula sebaliknya. Komputer penerima akan dibanjiri oleh status sodoran  pengguna lain─entah itu disukai atau tidak. Tidak jarang komputer menjadi lambat karena over kapasitas. Tetapi, jika pertemanan berlangsung baik resiko seperti ini tidak menjadi masalah. Malah semakin ramai terasa semakin menyenangkan. Resiko bisa diterima sebagai  buah dari suatu pertemanan. Yang penting jangan sibuk sendiri tanpa mau melirik sedikitpun status teman. Sodoran dari seorang pengguna egois apalagi bernada arogan jelas tidak diinginkan, bahkan bisa bikin mual.

Tengah saya tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba terdengar SMS masuk. Saya baca di ponsel, ternyata mereka sudah meluncur. Kini posisi mereka di Jalan Kayoon, sedang menuju ke tempat saya. Komputer langsung kumatikan, lalu menyambar tas. Saya   segera keluar untuk menyongsong, agar mereka tidak sampai menunggu. Tiba di mobil saya lihat hanya ada tiga orang. Imam, Sudaryadi dan Satpam kantor bertugas sebagai sopir. Satpam ini sebelumnya telah pernah berkunjung ke Bromo sehingga tidak ada keraguan akan tersesat dalam perjalanan. Satu hal paling penting adalah penguasaan lokasi. Semula saya sempat kuatir karena tak seorangpun dari kami bertiga pernah berkunjung kesana.

Saat mau berangkat kulirik jam, ternyata sudah pukul 21.45. Berarti terlambat berangkat dari jadwal semula. Sore tadi memang sempat turun hujan lebat di Surabaya sehingga beberapa ruas jalan digenangi air. Kenderaan banyak yang merubah arah mencari jalur lain untuk menghindari genangan. Rupanya kenderaan lain juga berbuat serupa. Bisa ditebak jalanan akhirnya menjadi macet karena terjadi penumpukan kenderaan. Imam juga sempat terperangkap cukup lama dalam kemacetan sepulang dari kantor.  Ini terbaca dari status  di Facebook. Disana dia teriak-teriak, ini masih Surabaya apa Jakarta? Barangkali keterlambatan ini  efek samping dari  kemacetan tadi sehingga molor 45 menit dari rencana semula.

Tiba di Sidoarjo kami berhenti untuk mengisi bahan bakar. Habis itu membeli beberapa makanan kecil sambil istirahat sebentar. Kebetulan ketiga teman saya ini adalah perokok. Momen ini mereka gunakan untuk melampiaskan hasrat yang agaknya telah tertahan sejak dari  tadi. Setengah jam kemudian kami meneruskan perjalanan. Situasi di jalan umumnya lancar, tidak terjadi kemacetan. Begitu pula di Porong, lokasi lumpur panas yang menenggelamkan sebagian wilayah Sidoarjo. Biasanya tempat ini selalu macet karena terdapat penyempitan jalan.

Masih jelas terbayang ketika melintas dari sini mau pergi wisata ke Batu Malang pada pertengahan 2006. Ketika itu lumpur belum menyembur di Porong, sehingga jalan tol arah Gempol masih utuh. Lama perjalanan dari Surabaya ke Malang dan sebaliknya hanya makan waktu lebih kurang satu jam. Namun kondisi sekarang amat jauh berbeda dan benar-benar memprihatinkan. Tiang penyangga jalan tol yang berdiri tepat di kolam lumpur secara perlahan turun dan amblas ke tanah. Begitu amblas badan jalan tol pun ikut-ikutan retak dan patah. Akhirnya jalan tol Sidoarjo–Gempol harus dibongkar karena mustahil bisa digunakan lagi.

Kini kami telah melewati wilayah Pasuruan. Tiba di sebuah jalan alternatip kami belok kanan lalu langsung menuju arah Probolinggo. Kondisi jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Udara mulai terasa dingin. Dalam mobil kami lebih banyak diam namun tidak ada yang tertidur. Mata mulai terasa berat namun terpaksa ditahan. Kuatir kalau tertidur, sopir juga ikut mengantuk. Sudaryadi kelihatan tidak bisa menahan kantuk. Dari tadi kelihatan mengangguk-angguk saja. Saya dan Imam—yang duduk di sebelah sopir—berusaha tetap terjaga. Jalan-jalan tampak sepi padahal baru pukul 22.00 malam. Agaknya warga lebih senang tinggal di rumah ketimbang menahan udara dingin di luar.

Pukul 24.15 kami tiba di Desa Ngadisari. Kami langsung berhenti tepat di depan sebuah hotel begitu melihat tanda larangan tidak boleh lewat. Beberapa pria tampak duduk mengelilingi api unggun. Pakaian tebal yang mereka kenakan seolah belum mampu menahan hawa dingin. Salah seorang bangkit lalu datang menghampiri. Dia mengatakan, izin lewat bagi kenderaan milik turis hanya sampai disini. Para  wisatawan yang ingin berkunjung ke puncak Bromo bisa menyewa salah satu kenderaan yang tersedia.  Tampak  puluhan jeep merk Toyota Hardtop berjejer rapi. Kenderaan ini agaknya armada khusus yang sengaja disiapkan untuk mengangkut turis. Menurut pria ini, jumlah kenderaan jenis ini ada 200 buah. Dalam hati saya berpikir: “Pantas jeep Toyota Hardtop sudah jarang terlihat berseliweran di Jakarta. Rupanya sebagian besar sudah dipindahkan kemari.”

Bersambung ke Bagian 2

Hai Bes, Apa Kabar?

Besan—sebuah panggilan dalam hubungan kekerabatan di lingkungan warga Simalungun. Bila seorang laki-laki menikah, maka isteri dari saudara laki-laki isterinya secara otomatis akan menjadi besan. Demikian pula berlaku sebaliknya. Jika seorang wanita menikah, maka suami dari saudara perempuan sang suami akan dipanggil besan. Tetapi, apakah selalu harus persis seperti itu? Tidak juga. Cuma pada umumnya setiap isteri dari laki-laki yang semarga dengan isteri kita, meskipun dia bukan saudara kandung semestinya dipanggil besan.

Dalam tradisi Batak Simalungun, ada beberapa larangan yang sifatnya tabu dilakukan oleh  dua orang yang saling berbesan. Misalnya, mereka berdua secara kebetulan berada pada satu tempat dalam waktu yang sama. Selain mereka tidak ada orang lain disana. Dalam kondisi seperti ini, biasanya salah seorang dari mereka akan menyingkir secara halus. Tentu saja dia menyingkir bukan lantaran tidak suka bertemu, tetapi tradisi memang mengharuskan demikian. Bisa saja dia pergi pura-pura mau mengambil sesuatu, agar besannya tidak tersinggung ditinggal begitu saja.

Selain tabu berada berduaan pada satu tempat, waktu berbicarapun selalu fokus pada inti permasalahan tanpa perlu berpanjang-lebar.  Pokoknya, suasana benar-benar kaku, kikuk dan serba formal. Bagaimana jika seandainya terlihat mereka berdua sedang bercanda? Wah, perbuatan ini bisa  bikin heboh karena dianggap tabu dan terlarang. Kecuali kalau ada orang lain disana, tidak menjadi masalah. Biasanya suasana kaku akan sedikit mencair dengan kehadiran seseorang. Bahkan, sekalipun dia itu hanya seorang bayi.  Bayi ini bisa dimanfaatkan menjadi semacam perantara bila mereka berdua ingin saling berkomunikasi.

Hingga kini aturan kaku semacam ini masih bisa ditemukan diberbagai desa pedalaman Kabupaten Simalungun. Namun kebiasaan ini berangsur-angsur mulai  mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Kebiasaan lama yang dianggap merugikan mulai ditinggalkan. Misalnya, seorang wanita mengalami kecelakaan. Kebetulan tidak ada orang di sekitar itu selain besannya sendiri. Besan ini pasti diliputi keraguan untuk bertindak segera mengangkat dan membopong korban. Keraguan ini timbul karena  tradisi tidak membolehkan mereka berdua saling bersentuhan.

Tak dapat dipungkiri, situasi sekarang amat jauh berbeda dibanding sebelumnya. Terutama  bagi warga Simalungun yang sudah menjadi masyarakat perkotaan. Orang desa yang baru tiba di kota akan dibuat terpana dan terheran-heran melihat perilaku orang kota. Dua orang  saling berbesan mestinya selalu berusaha agar tidak melampaui batasan yang ada. Tetapi apa yang dia saksikan malah sebaliknya. Orang yang saling berbesan terlihat bersenda gurau selayaknya dua orang teman karib. Tidak terlihat lagi batasan atau norma yang harus dipatuhi sebagaimana berlaku di desa. Kebiasaan yang dianggap menghambat kemajuan tampak telah dibuang jauh-jauh. Para orang tua hanya bisa mengelus dada melihat tingkah polah para usia muda yang sudah melupakan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.

Tahun 1990-an penulis pernah bertemu dua orang saling berbesan dalam satu pesta perkawinan di Pematang Siantar. Wanita menyapa pria dengan cara gaul dan penuh percaya diri. “Hai Bes, sombong sekarang, ya! Dari mana saja selama ini, koq tidak kasih-kasih kabar. Mentang-mentang sudah punya posisi bagus sekarang jadi lupa, ya?” “Wah, sorry Bes!” jawab sang pria tak kalah gaul. “Bukan sombong. Selama ini saya berada di Jakarta  mengikuti Diklat. Baru minggu kemarin tiba disini. Wah, besan kelihatan makin cantik dan ceria saja!”

Dalam komunitas Batak, kita sering menemukan satu atau lebih perkumpulan arisan marga.  Pertemuan biasanya dilakukan sekali sebulan di rumah anggota secara bergiliran. Disamping arisan, juga untuk saling melepas rindu dan bernostalgia. Usai acara arisan kadang-kadang dilanjutkan dengan main kartu pakai taruhan uang kecil-kecilan.  Nilai taruhan paling besar hanya Rp 500. Taruhan dimaksudkan agar setiap orang bermain dengan serius dan tidak asal-asalan.

Nah, ini adalah pengalaman nyata dalam salah satu arisan marga. Sehabis acara arisan, kegiatan  dilanjutkan dengan permainan joker karo. Biasanya para pemain dipisah dalam  kelompok bapak dan kelompok ibu. Tetapi kali ini para pemain baik pria maupun wanita digabung karena kurang pemain. Duduk bebas dimana dia suka sehingga dua orang saling berbesanpun akhirnya harus duduk berdampingan.

Permainan diselingi tawa ria para pemain dan penonton terutama ibu-ibu. Namun, seorang ibu yang ikut main dari tadi tampak cemberut dan kebanyakan diam. Kebetulan di atasnya adalah besan sendiri. Lama-lama lelaki ini menjadi heran, lalu  bertanya, “Besan dari tadi koq diam saja, kurang sehat ya?” “Besan pelit kalipun. Buangannya satupun tak termakan dari tadi. Kasih dulu satu, Bes!” jawab si ibu sedikit memelas. Alamak! Gejala apa ini?

.

Surabaya, 2 Desember 2009

Oleh Farel M. Sinaga

Keprihatinan atas Bencana Lingkungan yang Merusak Danau Toba

 

Toba LakeSampai sekarang masih jelas terbayang peristiwa tahun 1970-an ketika objek wisata di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir ramai dikunjungi oleh wisatawan. Bus-bus milik biro perjalanan sering terlihat lewat dari Jalan Sutomo Pematang Siantar membawa rombongan turis asing dari Medan. Kadang-kadang mereka berhenti dan singgah sebentar untuk berbagai keperluan sebelum melanjutkan perjalanan ke Prapat. Turis asing yang datang secara berombongan biasanya adalah orang-orang tua yang dikirim oleh biro perjalanan dari negara asal bekerjasama dengan biro perjalanan dalam negeri yang akan memandu mereka selama berada di tempat tujuan.

Turis asing yang datang secara sendiri-sendiri juga banyak. Mereka sering terlihat naik bus PMH dari Medan atau Pematang Siantar menuju Prapat. Turis ini sering disebut hippies yang populer pada tahun 60-an. Tampil berpakaian seadanya, dekil dengan rambut gondrong sebahu. Perempuannya berbaju kaos dan celana pendek. Di tangan mereka sering terlihat peta, kamus dan buku catatan sedang buntalan tas besar selalu menggantung di punggung. Biasanya kota Prapat bagi turis kelompok ini hanya sekedar persinggahan sedang tujuan utama mereka adalah Tomok atau Tuktuk Siadong di Pulau Samosir. Penulis pernah berbincang-bincang dengan seorang turis asal Austria yang mengatakan bahwa informasi mengenai Tuktuk Siadong dia dapat dari teman yang telah pernah berkunjung kesana sebelumnya. Agaknya keindahan alam Tuktuk Siadong ini sudah tersohor dan tersebar luas dari mulut ke mulut ke manca negara.

Turis-turis ini biasanya menginap di rumah-rumah warga setempat yang menyediakan kamar khusus untuk disewakan bagi turis. Tarip sewa yang dikenakan sudah pasti jauh lebih murah bila dibandingkan dengan tarip hotel. Wisatawan asing yang mampu dan tidak perlu irit biaya biasanya menginap di hotel yang ada disana seperti Hotel Carolina atau Toledo Inn yang berhadapan langsung dengan pemandangan indah permukaan danau berlatar belakang perbukitan Simarjarunjung dan Aek Nauli di kejauhan.

Hari Minggu merupakan giliran turis lokal yang memadati Prapat. Mereka datang dengan bus secara berombongan, kenderaan pribadi, sepeda, atau bahkan jalan kaki. Rombongan turis lokal ini biasanya berasal dari sekolah dan karyawan instansi atau perusahaan dari berbagai tempat di Sumatera Utara. Sedang pejalan kaki biasanya adalah anak-anak sekolah yang sedang menikmati liburan yang berasal dari Pematang Siantar maupun desa-desa lain di sepanjang jalan raya antara Pematang Siantar dengan Prapat. Biasanya mereka berangkat pada sore hari untuk menghindari panas selama perjalanan dan berjalan membentuk kelompok terdiri dari laki-laki maupun perempuan sambil membawa perbekalan dan peralatan untuk camping.

Kenapa tahun 1970-an Danau Toba dan Pulau Samosir selalu ramai dikunjungi wisatawan? Karena situasi  lingkungan disana relatif masih alami, air danau masih dalam dan jernih, udara nyaman dan sejuk dan keamanan yang kondusif. Peranan pemerintah daerah setempat untuk mempromosikan Danau Toba dan sekitarnya juga sangat besar manfaatnya, yaitu dengan cara menggelar Pesta Danau Toba yang diadakan secara rutin setiap tahun di Prapat bertepatan dengan liburan panjang sekolah. Kegiatan seperti ini terus berlanjut sampai akhirnya keseimbangan alam terasa mulai terganggu akibat ulah manusia yang merusak lingkungan alam sekitar.

Penulis sendiri sudah lama tidak melihat Danau Toba secara langsung. Terakhir kali kesana tahun 2001 dan hanya melintas lewat Prapat dalam perjalanan dari Sarimatondang ke Bengkulu. Ketika itu kami sekeluarga sengaja mengambil jalan lewat jalur barat dengan mobil menyusuri perbukitan Aek Nauli agar bisa melihat keindahan Danau Toba dari kejauhan sepanjang perjalanan.

Menurut informasi dari berbagai sumber seperti media massa dan internet, situasi terkini disana sungguh amat memprihatinkan. Kondisi air danau kotor akibat sampah dan limbah di beberapa tempat. Kebakaran hutan juga sering terjadi akibat ulah manusia sehingga turut merusak daerah resapan air. Air hujan yang turun dari langit akhirnya tumpah langsung ke danau karena tidak teresap lagi secara alami. Hal ini mengakibatkan arus air yang keluar lewat Sungai Asahan menjadi tidak seimbang dengan air yang masuk ke danau. Dengan kata lain arus keluar lebih besar dari arus masuk sehingga permukaan air danau mengalami penurunan secara perlahan tapi pasti.

Kini Danau Toba dan Samosir mulai sepi dari kunjungan wisatawan, makin jauh tertinggal dari Bali yang semakin ramai. Kondisi seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya untuk mengatasi. Danau Toba dan Samosir yang merupakan kebanggaan bagi suku Batak harus dibenahi dengan cara-cara yang lebih profesional dan terarah. Teriakan-teriakan sloganis dan saling menyalahkan satu sama lain tidak akan memberi manfaat apa-apa. Yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan nyata dan segera sebelum semuanya menjadi terlambat.

Tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran pada warga setempat agar tidak membuang sampah dan limbah secara sembarangan ke danau. Kebiasaan warga untuk membakar alang-alang di sekitar danau harus dilarang dan diawasi dengan ketat karena dapat membahayakan serta merusak lingkungan di sekitarnya. Tindakan selanjutnya adalah membuat aturan-aturan yang jelas dan tegas yang harus dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali. Ini tentu saja merupakan wewenang pemerintah daerah setempat di bawah koordinasi Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara karena menyangkut beberapa wilayah kabupaten. Dalam hal ini masukan berharga berupa sumbangan pemikiran dari berbagai pihak termasuk perantau yang ahli di bidang ini akan sangat banyak membantu.

Apakah semua itu bisa dilakukan? Tentu saja bisa, kenapa tidak. Banyak orang Batak yang pintar dan cerdas, masak urusan untuk membenahi lingkungan sendiri tidak bisa. Cuma ego pribadi atau kesukuan yang perlu dibuang jauh-jauh. Seiring dengan adanya pemekaran wilayah di Sumatera Utara -kalau tidak salah- wilayah Danau Toba dan Samosir saat ini berada di bawah pengawasan 5 daerah kabupaten, yaitu Simalungun, Karo, Dairi, Samosir, dan Toba. Kalau kelima pemerintah daerah ini bisa kompak dan bahu-membahu untuk membangun kembali kejayaan Danau Toba dan Pulau Samosir, niscaya kebanggaan kita sebagai orang Batak akan pulih secara keseluruhan. Tidak ada yang bisa mengembalikan kebanggaan itu kalau tidak dimulai dari diri kita sendiri.

Akhirnya, izinkanlah saya meminjam satu umpasa Batak yang berbunyi :

Balintang ma pagabe, tumundalhon sitadoan

Arinta do gabe, molo olo marsipaolo-oloan

Horas!

.

Surabaya, 25 Juni 2009 – Oleh Farel M. Sinaga