Petaka di Tengah Kemacetan

Hari ini Minggu, 27 Desember 2009 pada siang hari di rumah. Cuaca di luar agak mendung. Telah 10 hari aku menikmati liburan Natal dan cukup puas berkumpul bersama keluarga. Libur Natal maupun Tahun Baru kali ini tidak kemana-mana, hanya sekitar Jabodetabek.  Biasanya mudik sekeluarga—pulang kampung ke Sumatera Utara. Mengunjungi orangtua di Sarimatondang sambil menikmati indahnya kampung halaman.

Kebetulan Ibu—kini tinggal sendiri setelah Bapak meninggal dunia pada 2006—barusan datang  Nopember lalu ke Jakarta untuk menghadiri acara wisuda cucunya Maria. Beliau memang selalu hadir pada acara serupa, juga terhadap cucu-cucu yang lain. Tapi kali ini tidak bisa berlama-lama disini. Harus segera pulang untuk keperluan mendesak. Cuma  seminggu di Jakarta, namun cukup untuk melepas kerinduan  setelah lama tidak bertemu.

Kini suasana santai selama menikmati hari libur sudah berakhir. Sore  ini aku musti kembali  ke Surabaya sebab  cuti telah habis. Kurencanakan berangkat pukul 18.00 dengan kereta api (KA). Mudah-mudahan masih dapat tiket.  Sebenarnya nekad juga tidak menyiapkan tiket  jauh hari sebelumnya. Biasanya  beli  tiket pas waktu keberangkatan pada hari-hari libur amat berisiko. Pada hari biasa saja bisa kehabisan tiket, apalagi hari libur!

Aku hanya  bisa berspekulasi dan tergantung pada nasib baik saja. Toh suasana libur Natal tidak seramai ketika suasana Lebaran. Logikanya, harapan mestinya masih ada. Bagaimana pula bila  tempat duduk sudah habis? Ambil saja tiket tanpa tempat duduk, lalu siap-siap duduk di restorasi. Bagi saya, ini bukan masalah serius. Telah terbiasa mengalami  hal seperti ini selama hampir 4 tahun bertugas di Surabaya.

Ketika akan berangkat, hujan turun lebat. Padahal Ari  dari tadi sudah siap  mau mengantar ke depan. Syukur, hujan tidak lama. Setelah menunggu sesaat kini hanya tinggal gerimis. Kamipun segera berangkat. Ketika itu jam menunjukkan pukul 15.30. Masih cukup banyak waktu hingga tiba di stasiun Gambir. Tiba di jalan raya, Ari  segera kembali ke rumah. Aku  sendiri  menunggu angkutan umum jurusan UKI di Cawang.

Cukup lama aku berdiri disana, tetapi kenderaan yang ditunggu belum datang juga. Kalaupun ada selalu penuh, lalu lewat begitu saja. Aku mulai gelisah. Tiba-tiba sebuah taxi berhenti persis di depan saya  Sopirnya menawarkan agar saya naik. Saya sempat bimbang sejenak, mau naik taxi saja atau menunggu lebih lama lagi? Gerimis belum berhenti sedang tas bawaan terasa makin berat. Lalu, tanpa pikir panjang lagi aku segera naik.

Suasana jalan raya hingga Plaza Cibubur tampak agak lengang. Bisanya ada kemacetan disini. Aku sempat mau bilang sopir, agar keluar dari pintu tol Cimanggis saja. Namun kubatalkan, setelah melihat situasi jalan tidak begitu ramai. Tetapi,  apa yang  terlihat  di depan sana? Tepat pada jalan menurun, antrian kenderaan ternyata sudah panjang. Hanya bisa bergerak perlahan, kadang berhenti sama sekali. Sesaat kemudian, kamipun ikut terperangkap di dalamnya.

Kini mulai timbul sedikit penyesalan. Tadi, kenapa  tidak lewat Cimanggis saja? Mau putar balik agaknya sudah terlambat, karena putaran di persimpangan Kranggan sudah pasti ditutup. Tidak bisa belok ke kanan arah ke Cimanggis. Kalau mau putar balik, harus turun lebih jauh lagi ke bawah  hingga putaran depan Cibubur Times Square. Tampaknya pilihan inipun tidak membantu karena arus kenderaan disanapun  sudah pasti tersendat.

Aku hanya bisa pasrah dan mulai pesimis KA pukul 18.00 masih bisa terkejar. Perjalanan masih panjang sedang lalu lintas hanya bisa merayap seperti siput.  Celakanya, sopir tampak  mulai mengantuk! Kelihatan dia mulai dihinggapi rasa bosan dan letih. Ketika mobil di depan sudah jalan, dia masih berhenti. Agaknya terlelap. Begitu suara klakson terdengar bertalu-talu  dari belakang, baru dia jalan. Peristiwa ini sempat terulang sampai 3 kali.

Perasaan saya mulai panik, resah, dan jadi serba salah. Waktu terus berjalan,  sementara  arus kenderaan tampak seperti jalan di tempat. Aku mulai uring-uringan.  Melihat  jarum jam terus berputar dan waktu kini semakin kritis. Juga melihat kondisi sopir yang mengantuk. Sialnya argometer jalan terus meskipun mobil berhenti. Mobil baru berjalan sekitar 2 km tetapi argometer sudah menunjukkan angka diatas dua puluh ribuan.

Tengah saya melamun, tiba-tiba “Bukk!” terdengar bunyi tumbukan keras. Aku sempat terguncang di jok belakang. Ternyata mobil yang kutumpangi telah menabrak mobil di depan. Kuperhatikan, pintu belakang mobil yang tertabrak penyok cukup parah. Begitu terjadi tabrakan, rasa kantuk sang sopir kelihatan mendadak hilang. Dia kaget bukan main. Tapi, mau bagaimana lagi? Segalanya telah terjadi, tak guna disesali!

Tak lama kemudian, pengemudi mobil korban turun. Sejurus dia memperhatikan bekas-bekas  tumbukan, lalu mendatangi sopir taxi. Sang sopir yang lagi bengong hanya bisa memberi isyarat, agar menepi saja dulu. Takut kalau membuat kemacetan semakin parah. Peristiwa itu terjadi di bagian tengah jalur jalan sehingga untuk menepi sajapun terasa amat sulit. Tambahan lagi mobil  yang menepi bukan cuma 1, tetapi 2 sekaligus.

Tiba di pinggir jalan, sopir turun lalu mereka mulai terlibat dialog. Aku memilih diam saja dalam mobil, tidak mau mencampuri. Cukup lama mereka saling adu argumentasi. Tapi, sopir taxi tampak banyak mengalah. Rupanya sadar, bahwa dia yang salah. Korban menuntut agar ganti rugi dibayar saat itu juga. Tetapi sopir taxi bilang tidak punya uang. Dia memberi alasan baru saja turun. Sambil menunjuk ke arah saya, dia bilang aku penumpang pertama sore itu.

Eh, nanti dulu! Taxi sudah menepi tapi argometer koq masih jalan? Bah, tak benar lagi ini! Kuputuskan untuk keluar mau mencari kenderaan lain. Rupanya sopir taxi telah datang lebih dahulu dan minta agar aku pindah  kenderaan saja. Rupanya mereka hendak ke pool bersama korban karena solusi menemui jalan buntu. Korban bersikeras urusan selesai sore ini juga. Dia takut dipersulit, apabila datang sendiri ke pool sesuai permintan sopir taxi.

Lalu aku keluar setelah membayar tarip argometer Rp 25.000. Harga yang terlalu mahal untuk sebuah jarak tempuh yang tidak setara. Sopir menawarkan untuk  mencarikan taxi pengganti, tapi kutolak. Lebih baik aku naik angkot saja, karena  pintu tol sudah dekat. Nanti di depan BJ Junction aku bisa turun, lalu mengambil kenderaan lain jurusan Cawang. Yang paling utama, aku bisa terlepas dulu dari  kemacetan ini.

Menjelang masuk tol Jagorawi, aku ganti kenderaan. Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul 17.00 tepat. Situasi di jalan tol lancar meskipun kenderaan agak ramai. Tidak sampai terjadi kemacetan yang menyebabkan kenderaan harus berhenti. Tidak berapa lama kemudian, kenderaan tiba di Cawang. Lalu saya turun dekat jembatan penyeberangan persis di depan UKI. Kini waktu hanya tersisa 35 menit menuju pukul 18.00.

Begitu turun aku  langsung berhitung. Dengan sisa waktu 35 menit, pasti tak terkejar bila naik Busway. Begitu pula dengan taxi. Sarana paling cepat agaknya hanya ojek. Seorang pengojek kutanya apakah bisa sampai di Gambir dalam waktu 15 menit. Ternyata dia jawab bisa. Setelah sepakat soal  harga, kamipun berangkat. Dari Cawang langsung melaju arah Otista terus lurus ke Kramat.  Di Senen naik jalan layang lalu belok dari samping Atrium terus ke Pejambon.

Dan benar, pukul 17.40 kami telah tiba di stasiun Gambir. Terus terang, tadi sempat juga merasa deg-degan selama dalam perjalanan. Kuatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Selesai membayar ojek sambil mengucapkan terima kasih, aku buru-buru ke loket. Kebetulan tidak ada antrian pembeli disana. Puji Tuhan, tiket KA tujuan Surabaya untuk keberangkatan jam 18.00 ternyata masih ada. Begitu dapat tiket, aku langsung naik ke ruang tunggu.

Tepat pukul 18.00 KA berangkat. Kini lega sudah, beban yang terasa menghimpit telah sirna. Masih terbayang jelas saat-saat dilanda rasa panik ketika terperangkap dalam kemacetan. Dan sopir taxi yang malang, masih nekad menyetir kendati sudah mengantuk berat. Mestinya  terus terang saja bilang sudah mengantuk, butuh istirahat. Tak terbayangkan, jika peristiwa tadi terjadi saat melintas di jalan tol. Atau, boleh jadi ada semacam blessing in disguise atau rahmat tersembunyi di balik peristiwa ini? Hanya Tuhan yang tahu.

.

Surabaya, 4 Januari 2010 – Oleh Farel M. Sinaga

Selingan Manis Dalam Penantian

Pada Minggu pagi, 20 Desember 2009 pergi ke gereja bersama keluarga. Habis kebaktian, Kris dan Mia bergabung dengan pemuda lain. Mereka membahas  persiapan dalam rangka pelaksanaan Natal yang akan berlangsung Sabtu, 26 Desember 2009. Setelah itu kami langsung balik  ke rumah. Rencana sore ini hendak pergi ke Kelapa Gading di Jakarta Utara. Anak-anak minta ditemani  untuk belanja keperluan Natal. Agaknya barang yang mereka butuhkan tidak ditemukan di Cibubur maupun Depok, jadi harus jauh-jauh mencari kesana. Tapi bisa dimaklumi, mereka memang sudah familiar dengan kawasan itu.

Yah, musti bagaimana lagi? Mau tidak mau harus pergi. Kebetulan minggu ini aku sedang menjalani cuti. Kini cukup banyak waktu untuk berkumpul maupun bepergian dengan keluarga. Lain kalau pada hari-hari biasa ketika tidak cuti. Sepulang dari  gereja sudah harus langsung berkemas-kemas. Kalau tidak bakal ketinggalan kereta api yang akan berangkat sore ke Surabaya. Kebiasaan ini sudah rutin saya jalani selama 4 tahun bertugas disana. Oleh sebab itu, mumpung ada waktu senggang, harus betul-betul dimanfaatkan.

Tiba di rumah, kami segera makan siang. Habis itu istirahat sebentar. Anak-anak menyempatkan diri buka internet untuk melihat-lihat status di Facebook. Saat itu yang kuperlukan cuma satu hal, tidur lebih kurang 1 jam. Tadi malam susah tidur karena kepala terasa pusing. Aku kuatir, kalau tak tidur bisa mengantuk saat menyetir, terutama di jalan tol. Tepat pukul 14.15 kami berangkat dari rumah. Niel—anak paling tua— tadi pagi kebaktian di Cempaka Putih. Dia telah dihubungi, dan janji akan datang menyusul ke Kelapa Gading.

Ketika hendak berangkat, Kris bilang nanti sore pukul 16 akan ada latihan pemuda di gereja. Dia minta, kalau bisa sebelum pukul 16 sudah tiba di Cibubur. Aku sih oke-oke saja. Tetapi, apakah mungkin? Mustahil belanja bisa selesai dalam 1 jam, lokasinya di Jakarta Utara lagi. Menurut pengalaman sebelumnya, begitu tiba di Mal waktu akan terlupakan dalam seketika. Belum pernah kejadian, begitu barang telah  ditemukan langsung jadi. Biasanya harus putar sini putar sana dulu, baru bisa mengambil keputusan.

Yah, mudah-mudahan saja cepat selesai sesuai harapan. Bagi saya sendiri, cepat atau lambat tidak menjadi masalah. Yang penting mereka bisa mendapatkan apa yang mereka cari. Coba kalau tidak ketemu, berarti harus siap-siap untuk mencari ke Mal lain. Keputusan kali ini kuserahkan sepenuhnya pada anak-anak. Peran kami orangtua hanya sebatas menemani. Boleh jadi kasih saran, itupun kalau diminta. Tetapi yang pasti, sejumlah dana untuk keperluan belanja  mutlak sudah harus disiapkan sebelumnya.

Menuju tol Jagorawi, kami lewat pintu tol Cimanggis. Jalur ini sengaja kupilih menghindari kemacetan di Jalan Trans Yogi Cibubur. Situasi sepanjang jalan lancar kendati ada lubang di beberapa tempat sehingga kenderaan harus melambat. Namun tidak sampai terjadi kemacetan karena kenderaan yang melintas tidak begitu ramai. Perkiraan saya lewat Cimanggis ternyata tepat. Dari jalan tol terlihat jelas antrian kenderaan merayap dengan perlahan di  jalan layang menuju pintu tol masuk Jagorawi.

Dari jalan tol Jagorawi kami keluar di Cawang, lalu melaju lewat jalan By-Pass. Begitu tiba di Kelapa Gading, kami langsung ke pusat perbelanjaan. Suasana sekitar Mal cukup ramai sedang halaman parkir sudah terisi penuh. Kami mulai mencari tempat di dalam. Ternyata lantai dasar sudah terisi penuh. Lantai selanjutnya  kami telusuri, juga penuh. Bahkan jalan antara ruang parkirpun sudah berisi  mobil. Wah, gawat ini! Kalau begini bisa-bisa harus turun lagi, lalu mulai mencari lagi dari awal. Pekerjaan ini tampaknya sepele, tetapi cukup berat. Kini tinggal satu lantai lagi. Seandainya penuh juga apa boleh buat, siap-siap untuk turun.

Ternyata kami telah tiba di atap gedung. Kawasan ini merupakan  ruang terbuka tanpa atap yang dijadikan tempat parkir. Rupanya tempat disinipun sudah dipenuhi oleh kenderaan. Tetapi mujur, sebuah mobil sedan tampak  mau keluar. Begitu dia keluar, kami langsung menggantikan tempatnya. Di belakang kami ternyata masih ada beberapa kenderaan yang antri mencari tempat parkir. Sudah bisa diduga mereka harus turun lagi, kecuali bernasib baik mendapatkan tempat kosong disini.

Tiba di dalam Mal, aku segera memisahkan diri. Isteri dan anak-anak kuminta agar langsung mendatangi gerai yang hendak dituju. Aku sendiri akan menunggu di Gramedia karena tidak kuat kalau harus ikut jalan berkeliling bersama mereka. Berdiri terlalu lama akan membuat saya merana karena pinggang akan terasa sakit. Lebih baik aku berkeliling saja melihat-lihat buku sambil santai. Bila sudah kepayahan sementara tempat duduk tidak ada, aku bisa jongkok sambil membaca buku.

Telah  1 jam lebih  aku berkeliling di Gramedia. Sebagian besar rak buku telah saya kunjungi terutama mengenai pajak, akuntansi, komputer, dan blogging. Namun kali ini saya bermaksud untuk melihat-lihat saja, tidak ada niat untuk membeli. Beberapa buku yang kubeli  jauh hari sebelumnyapun belum sempat terbaca. Masih terbungkus rapi dalam sampul plastik. Kebiasaan saya memang begitu. Buku yang baru dibeli sementara disimpan dulu. Begitu ada waktu senggang, baru dibaca sampai habis.

Ketika sedang asyik melihat-lihat isi etalase, tiba-tiba Ari—putra bungsu—sudah berada di sampingku. Kutanya apakah barang yang dia cari sudah dapat, ternyata dijawab belum. Lho, ngapain terus datang kesini kalau belum dapat? Dia bilang sudah capek mencari kesana kemari tetapi tidak ada yang cocok.  Masa di Mal segini luas tak ada satupun yang cocok? Lalu kuminta dia agar berusaha mencari  lagi di tempat lain. Saat senggang untuk belanja seperti ini amat terbatas, jadi harus digunakan mumpung ada kesempatan.

Setelah puas berkeliling sambil melihat-lihat, aku membeli sebuah buku catatan saku lalu keluar dari Gramedia. Selanjutnya waktu kuisi  dengan berjalan berkeliling. Cuci mata  melihat-lihat barang di gerai maupun tingkah polah para pengunjung. Situasi di dalam Mal tampak semakin ramai. Orang pada sibuk berlalu-lalang kesana kemari. Namun sialan, pinggang saya secara perlahan terasa mulai sakit karena kebanyakan jalan dan berdiri. Mata mulai jelalatan mencari-cari cafe agar bisa duduk istirahat sambil menikmati segelas kopi.

Tepat ketika aku melintas saat mencari-cari cafe,  seorang bocah laki-laki tampak sedang bernyanyi. Dia membawakan lagu-lagu rock Indonesia masa kini. Penampilannya amat memukau dengan gaya dan suara layaknya seorang rocker sejati. Yang mengagumkan,  semua lagu betul-betul dia kuasai dan dinyanyikan luar kepala. Ada tiga buah lagu yang dia nyanyikan sejak saya tiba disana.  Dia bernyanyi diiringi oleh musik pengiring yang telah terekam dalam sebuah laptop. Banyak pengunjung yang berhenti untuk menonton  karena merasa tertarik dengan penampilan anak ini.

Ternyata anak ini hanya seorang tamu dadakan di Charlie Eagles—sebuah grup musik asal Amerika. Selesai bernyanyi, dia langsung pamit setelah disalami oleh Charlie—pimpinan kelompok. Grup ini menempati sedikit ruang di lantai Mal untuk peragaan dan penjualan CD rekaman. Seperangkat alat musik tampak terpasang disana. Yang menarik adalah Zamponas, alat musik  tradisional Indian. Terbuat dari bambu mirip  angklung, tetapi ditiup. Sebuah topi kebesaran kepala suku Indian tampak tergantung anggun pada tangkai pengeras suara. Setiap kru mengenakan pengikat kepala, rompi, dan atribut khas Indian lainnya. Seluruh atribut ini didominasi oleh warna coklat—warna khas Indian.

Zamponas / Gonzalo Cortes

Tidak jauh dari sana kulihat ada sebuah bangku panjang terbuat dari kayu. Muat 8 orang, masing-masing 4 orang duduk saling membelakangi.  Agaknya khusus disediakan buat pengunjung yang butuh istirahat setelah penat berbelanja. Kebetulan ada tempat kosong sehingga saya langsung duduk. Kini aku bisa  istirahat sambil menikmati musik Charlie Eagles. Lagu-lagu instrumental  yang mereka bawakan terdengar syahdu dan sangat menyentuh. Tentu suasana ini tidak terlepas dari peran Charlie—seorang keturunan Indian Amerika yang meniup Zamponas dengan begitu sempurna dan penuh penghayatan.

Satu Zamponas hanya bisa membawakan satu nada dasar. Ketika hendak membawakan lagu dengan nada dasar lain, tampak Charlie menggunakan  Zamponas yang lain. Disamping Zamponas, alat musik lain yang ada hanya gitar.  Maka ketika membawakan sebuah lagu, hanya ada dua orang yang tampil. Bunyi  instrumen musik lainnya sudah terekam dalam laptop. Anggota kelompok selebihnya adalah dua orang wanita yang  bertugas untuk administrasi dan menjajakan barang dagangan. Kedua wanita ini memakai sepatu bot yang tingginya sampai sebatas lutut.  Warna pakaian yang mereka kenakan juga bernuansa kecoklatan.

Cukup lama aku duduk sambil menikmati permainan mereka. Kemudian Kris  saya hubungi lewat HP, apakah sudah selesai belanja atau belum. Ternyata belum. Dia bilang Niel baru saja tiba dan kini mereka sedang sibuk membantu mencari barang yang dia perlukan.  Bersamaan ketika kelompok musik ini beristirahat, sayapun mulai keliling lagi. Rasa sakit di pinggang sudah tidak terasa lagi. Malah kini pantat yang sakit karena kebanyakan duduk. Oalah, berdiri lama salah, duduk lama juga salah!

Niat untuk minum kopi akhirnya saya batalkan. Lebih baik menunggu anak-anak selesai belanja, lalu makan Pempek Palembang bersama-sama. Tak sengaja aku melihat penjual Pempek ketika mencari-cari ATM Mandiri di lantai dasar. Keinginan untuk makan Pempek selalu timbul setelah terbiasa makan makanan ini selama 3 tahun lebih  bertugas di Bengkulu. Tempat makan Pempek yang menjadi favourit  saya ketika itu adalah di  Jalan Todak  samping  Gereja Katolik sambil menunggu anak-anak pulang dari sekolah.

Ingat Pempek, tak terasa air liurpun mulai mengalir. Kuhubungi Kris lagi, ternyata belum selesai juga. Dia bilang sebentar lagi. Saya pesankan, bila selesai nanti agar kumpul semua di depan Gramedia. Lalu aku balik lagi ke Charlie Eagles, ternyata mereka sudah main lagi. Aku hanya menonton dari kejauhan sambil berdiri menyandarkan kedua tangan ke pagar pembatas balkon. Kali ini mereka bermain cukup lama. Lagu demi lagu instrumental mengalir seiring dengan tiupan Zamponas oleh Charlie yang mendayu-dayu.

Tiba-tiba HP saya berbunyi. Ternyata dari Kris. Dia memberi tahu, kini mereka ada di depan Gramedia. Aku  segera menyusul kesana. Saat mau tiba disana  baru terpikir untuk membeli sebuah CD rekaman Charlie Eagles. Tapi saya urungkan karena hari sudah mulai malam. Kapan-kapan bisa dicari di toko-toko musik, kemungkinan besar ada dijual disana. Tiba di Gramedia ternyata sudah lengkap menunggu. Mereka segera kuajak makan Pempek  di lantai dasar. Oh, kelihatan mereka senang sekali. Barangkali  masing-masing sudah lapar karena belum makan padahal sudah lewat waktu makan malam.

Tiba disana kami langsung pesan makanan. Namun harus menunggu  sebentar karena meja-meja masih terisi. Setelah ada meja kosong, kamipun duduk. Tak lama pesananpun datang, lalu kami mulai makan. Pempeknya terasa lezat, tidak berbeda jauh dengan aslinya dari Palembang. Dalam tempo singkat makanan telah ludes tak bersisa. Mata dan mulut Ari sampai memerah  karena kepedasan. Sengaja kami pesan secukupnya agar tidak ada yang terbuang percuma. Kalau masih ada yang merasa kurang, bisa minta tambah lagi. Ternyata semua telah kenyang, dan kini adalah saatnya untuk pulang.

Empat Bersaudara Habis Makan Pempek

Ketika mau pulang jam telah menunjukkan pukul 21.15. Berarti kami telah berada disana selama 5 jam lebih. Sebuah penantian panjang yang butuh kesabaran ekstra. Untung ada selingan pengisi waktu sehingga waktu berlalu tanpa terasa. Disamping melihat-lihat buku di Gramedia,  terasa amat berkesan adalah suguhan musik manis dari Charlie Eagles. Tampil apa adanya, jauh dari hura-hura. Bila pengunjung mulai sepi, Charlie segera meniup Zamponas lalu orangpun berdatangan. Setiap selesai membawakan lagu, tak lupa dia menyapa pengunjung dengan ucapan:  “Terima Kasih dan Selamat Malam!”
.

Surabaya, 29 Desember 2009 – Oleh Farel M. Sinaga

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 4

Setiap menaiki 10 anak tangga langsung berhenti. Lalu jari tangan saya lipat 1. Demikian kulakukan seterusnya. Tiap 10 anak tangga lantas berhenti lalu melipat jari lagi satu.  Tepat pada anak tangga ke-40 seorang anak gadis tampak berdiri. Dia lagi istirahat sambil bersandar pada tiang tangga. Napasnya tersengal-sengal kelelahan. Tiba disini, mau tak mau aku harus berhenti.  Kalau tidak hasil perhitungan bisa buyar. Terlihat jelas dia protes ketika saya memaksakan diri untuk berhenti.

Begitu saya berhenti sehingga harus berdiri berdesakan, lalu dia bilang:

“Aduh, Paaak! Koq berhenti disini, sempit sekali. Bapak tolong naik ke atas saja!” Maksudnya anak tangga ke-41. Langsung aku pasang aksi, seolah-olah tidak tahan lagi.

“Sorry!  Tidak tahan lagi, Dik. Habis tenaga, nanti malah bisa ambruk disini,” jawab saya pura-pura ngosngosan.

Kelihatan dia bisa terima lalu mengalah. Dia  lantas naik satu tingkat ke anak tangga 41. Dalam hati saya amat berterima kasih. Gadis ini  begitu baik sehingga hitungan  sejauh ini masih fokus. Pada anak tangga  100, seluruh jari tangan saya sudah terlipat. Lalu aku mendongak ke atas. Astaga, ternyata ini masih separuh jalan. Masih ada seratus lebih anak tangga lagi yang harus saya daki. Menyerah? Hoho, tidak! Tak ada istilah untuk menyerah. Lagi pula  puncak sudah di depan mata, dan pekerjaan ini akan segera berakhir.

Kini kesepuluh jari tangan sudah terlipat. Kalau ada orang memperhatikan kelakuan saya pasti merasa geli. Dua-dua tangan terkepal seolah mau main tinju. Tapi, bodo amat!      Sebenarnya saya mampu menapaki 20 anak tangga sekaligus tanpa istirahat. Cuma salah-salah perhitungan bisa buyar dan perjuangan sia-sia. Pada anak tangga 110 seluruh jari diluruskan kembali. Seratus besar kusimpan di otak. Lalu mulai melipat satu jari lagi dari awal. Tiba di anak tangga 200 ternyata jalan masih panjang. Berarti jari harus diluruskan untuk memulai hitungan 210. Kini 200 besar sudah tersimpan aman di otak. Wah, pekerjaan ini cukup asyik dan menantang!

Akhirnya saya lolos ke final pada hitungan 51. Berarti seluruh anak tangga ada 251 buah. Tentu bisa jadi bahan cerita dengan teman-teman setiba di Surabaya nanti. Atau, bahkan ke anak cucu. Siapa tahu kalau diberi usia panjang? Tiba di atas saya langsung terduduk. Capek baru terasa setelah tujuan tercapai. Tadi semangat begitu bergelora sehingga tak terpikir sama sekali bahwa pendakian ini merupakan suatu pekerjaan berat. Rasa ingin tahu melihat kawah kutahan dulu untuk menenangkan diri sambil menunggu tenaga pulih kembali.

Tak lama rasa letihpun hilang. Mataku mulai mencari posisi teman-teman di bawah sana. Ternyata mereka masih jauh dari tangga. Kini mereka bertiga sudah bergabung dan berjalan bersama. Lalu saya bangkit dan mendekat ke pagar pembatas untuk memandang ke kawah. Tampak asap putih tebal mengepul dari dalam. Lobang kawah sama sekali tidak kelihatan karena tertutup asap. Kucoba memandang dari posisi lain, hasilnya sama. Sudah itu aku mulai mengambil foto-foto. Kumulai dari kawah lalu pemandangan  Lautan Pasir dan Puncak Bromo di kejauhan. Udara saat itu sangat cerah sehingga foto yang dihasilkan cukup bagus.

Asap Putih Mengepul dari Kawah Tengger

Puas mengambil foto saya bersandar lagi pada pagar pembatas sambil memandang ke kawah. Kemudian saya mencari-cari ke bawah tangga, ingin tahu mereka sudah sampai dimana. Ternyata hanya Sudaryadi yang terlihat melangkah naik. Imam dan sopir sedang  berhenti tepat pada pertengahan tangga. Mereka berdua agaknya tidak bersemangat lagi untuk mencapai puncak. Sambil menunggu Sudaryadi, saya bangkit lalu memutar untuk melihat kawah dari sisi lain. Tetapi tidak ada ruang kosong untuk memandang. Sepanjang pagar pengaman dipadati oleh pengunjung yang memandang maupun foto-foto.

Tiba-tiba angin berembus kencang sambil berputar. Asap putih dalam kawah semula tenang lalu terangkat naik dan bertebaran mengenai orang disekitar itu. Mata saya terasa perih terkena asap dan napas sesak. Bau asap belerang itu amat menyengat. Sambil menutup mulut dan hidung aku berlari ke arah tangga. Pengunjung lain juga melakukan hal yang sama. Sudaryadi baru saja tiba ketika saya mau turun. Kuminta dia ikut turun segera karena situasi sekitar kawah cukup berbahaya. Lantas dia ikut turun tanpa sempat melihat kawah, walau sesaat.

Tangga Menuju Kawah Tengger

Sekitar 15 menit berlalu situasi tenang kembali. Rupanya anginnya tidak lama. Meskipun begitu orang-orang tetap saja turun. Sambil turun kami saling mengambil foto di tangga sebagai kenangan. Cukup memprihatinkan, perjuangan Imam dan sopir pada kesempatan berharga ini hanya separuh tangga. Mereka harus rela pulang tanpa menjejakkan kaki di puncak Tengger. Setiba di bawah para penunggang kuda sudah berebutan hendak menyongsong. Tanpa pikir panjang kuputuskan kali ini naik kuda saja. Badan sudah terlalu penat untuk dipaksa jalan kaki. Kupesan empat ekor kuda sambil menanyakan harga. Tawar menawarpun terjadi. Setelah tercapai kesepakatan, kamipun segera naik.

Ternyata naik kuda tidak segampang yang kukira. Sebelum berangkat pemilik kuda memang telah memberitahu cara maupun posisi duduk ketika jalan menurun. Mula-mula  terasa gamang dan sedikit takut. Kuatir ketika sedang menurun sedang di sisi jalan sebelah kiri terdapat lembah. Kalau terjatuh dari kuda saja mungkin tidak begitu berbahaya. Bagaimana kalau kuda tergelincir lalu ambruk ke lembah? Namun perasaan  ini hanya sesaat. Tak lama saya mulai terbiasa dan sedikit tenang. Barangkali pengalaman  menunggang kerbau semasa kecil di kampung halaman di Sarimatondang Kabupaten Simalungun turut membantu.

Setelah bisa mengendalikan diri, pemilik kuda kutanya:

“Mas, sehari bisa berapa kali bolak balik dari bawah ke atas?”

“Yah, kalau banyak pengunjung sampai enam kali bisa.”

“Enam kali? Tidak sedikitpun merasa capek? Kami baru sekali ini saja sudah ampun. Bahkan, ada yang tidak berhasil sampai ke puncak.”

“Sudah biasa, Pak. Sejak kecil sudah terbiasa jalan kesana. Tidak masalah.”

“Ada berapa ekor kuda sewaan disini?”

“Lebih kurang seratus.”

“Kudanya jenis apa?”

“Kuda Sumbawa.”

“Kuda-kuda ini asli dari Sumbawa atau sudah lahir disini?”

“Asli dari Sumbawa. Entah kenapa kuda yang lahir disini tidak kuat dipakai untuk bekerja. Padahal jenisnya sama.”

“Orang Tengger itu sebenarnya ada dimana?”

“Saya salah satunya. Seluruh penunggang kuda disini serta pengemudi mobil Hardtop adalah orang Tengger.”

“Berarti mereka semua termasuk Mas adalah penganut agama Hindu?”

“Ya, benar!”

Dalam hati saya memuji kelincahan dan kekuatan orang ini. Tapi, bila diperhatikan pemilik kuda lainpun memiliki kemampuan sama. Gerakan mereka cukup gesit dan lincah. Postur tubuh memang cocok dengan alam setempat. Tinggi badan umumnya sedang dan perawakan  langsing─bukan berarti kurus. Tak seorangpun kelihatan gemuk. Bisa jadi pengaruh alam yang keras menempa mereka jadi seperti itu. Bagi pendatang, berjalan tanpa membawa apapun harus istirahat sampai beberapa kali. Sebaliknya mereka kelihatan biasa saja. Tetap mantap ketika jalan kaki sambil menuntun kuda bahkan pada jalan mendaki sekalipun.

Foto di Laut Pasir dengan Latar Belakang Puncak Bromo

Lebih kurang setengah jam kemudian kami tiba di mobil. Setelah kumpul, kami berfoto  dengan latar belakang puncak Bromo. Selesai foto langsung menuju  mobil untuk kembali ke hotel. Kami harus gedor-gedor pintu mobil karena ternyata sang sopir lagi tidur nyenyak. Dia segera terbangun sambil minta maaf. Lalu kamipun berangkat. Dalam perjalanan kami ditanya, apakah masih ingin melihat tempat lain sekedar berfoto? Kuminta pendapat teman-teman. Ternyata mereka lebih suka langsung ke hotel saja.

Dalam perjalanan kami melewati rombongan penunggang kuda yang mau pulang. Berjalan beriringan laksana cowboy dalam film Western. Bedanya, mereka tidak pakai topi sombrero. Tampak dua orang penunggang memacu kudanya kencang-kencang di hamparan pasir yang luas. Asyik juga kalau lautan pasir ini dijadikan arena reli maupun ajang lomba pacuan kuda.

Menuju Mobil Mau Balik ke Hotel

Tak sampai satu jam kami sudah masuk perkampungan Ngadisari. Langit kelihatan mendung kehitaman tanda hujan akan turun. Tepat pukul 11.00 kami tiba di hotel. Sisa rekening sewa kenderaan berikut kamar hotel segera kami lunasi. Jam chek-out hotel adalah pukul 13.00, berarti masih ada waktu 2 jam untuk istirahat sambil kemas-kemas. Makan siang kami putuskan dalam perjalanan saja. Sisa roti yang dibeli tadi malam masih banyak tersisa. Cukup untuk menopang perut sebelum tiba waktu makan siang.

Pukul 12.30 kami mulai siap-siap. Seluruh barang-barang kami masukkan dalam mobil. Kami cek ulang sekali lagi memastikan tak ada yang terlewatkan. Setelah semua beres, kami masuk mobil. Belum sempat masuk hujan sudah turun. Memasuki jalan raya sampai keluar perkampungan hujan semakin lebat. Sepanjang jalan arah Probolinggo kabut mulai turun. Gunung sebelah kiri maupun kanan jalan tidak kelihatan sama sekali karena tertutup kabut tebal. Sayang sekali panorama indah pegunungan ini tidak bisa kami nikmati. Tiba di kota Probolinggo hujan baru reda. Bahkan kontras dengan apa yang kami alami barusan. Kini kami melaju di bawah terik matahari dan jalan sedikit berdebu.

Sebelum kota Pasuruan kami berhenti di depan sebuah restoran untuk makan siang. Mobil travel tumpangan Sudaryadi rupanya sering singgah disini sepulang dari Denpasar. Restoran itu cukup bagus dan bersih. Pelayanan cukup prima. Masakan juga lezat terutama tempe goreng yang dipotong agak besar. Ketika disuguhkan masih terasa panas. Harus menunggu sejenak sebelum bisa dilahap. Lupa nama restoran itu, tetapi agaknya cukup terkenal. Mobil yang singgah banyak pakai plat luar daerah Pasuruan. Ada dari Bali, Surabaya, Mojokerto, Semarang, bahkan dari Jakarta. Tetapi yang pasti meski sudah payah mencari-cari, plat BK asal daerah saya di Sumatera Timur tidak ada.

Habis makan kami melanjutkan perjalanan. Situasi dalam perjalanan lancar, tidak ada kendala. Masuk Gempol jalan mulai tersendat. Terdapat antrian kenderaan cukup panjang. Penyebab kemacetan bisa ditebak, pasti akibat tertahan di sekitar danau lumpur Porong Sidoarjo. Lambatnya arus kenderaan menyebabkan kebosanan dan rasa kantuk. Tambahan lagi baru makan siang, biasanya jam begini sudah tidur sebentar. Cuma kami tak berani tidur, takut sopir ikut mengantuk. Imam yang duduk di depan berusaha tetap terjaga. Sekali-sekali dia mengajak sopir mengobrol. Bagaimana pula Sudaryadi? Sobat ini dari tadi sudah mimpi. Kelihatan lelap sekali, tak ingat apa-apa lagi.

Tepat di Pujasera pinggir jalan tol kami berhenti. Mau istirahat sebentar sambil minum kopi. Teman-teman ambil kesempatan untuk merokok. Ada setengah jam lebih kami disana. Tepat pukul 15.30 kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari tol lalu langsung masuk Surabaya. Saya diantar lebih duluan ke rumah. Begitu saya turun mereka pamit, bilang mau langsung pulang. Tampaknya Imam  tak sabaran lagi mau ketemu si Kecil di rumah.

Tiba di kamar, tubuh terasa lunglai akibat kelelahan. Tidak lama saya terlelap. Tidur nyenyak sampai malam. Dalam tidur saya bermimpi menulis status di Facebook: “Pulang dari perjalanan ke Bromo, kini badan pegal linu. Selamat malam sahabat, semoga mimpi indah. Mau oleh-oleh dari sana? Sebentar gua kirimkan, pokoknya sip, deh!” Tiba-tiba saya terbangun, kaget. Mimpi koq menulis status. Janjikan oleh-oleh lagi. Oleh-oleh apaan? Hm… barangkali sharing bisa juga, sekedar bagi-bagi pengalaman. Wah, benar-benar sudah terobsesi dengan Facebook!

Surabaya, 14 Desember 2009 – Oleh Farel M. Sinaga

Gita Damai di Puncak Bromo – Bagian 2

Pria ini menawarkan agar kami menginap di hotel tempat kami berhenti. Sedikit berpromosi  dia kasih tahu fasilitas apa saja yang tersedia. Segera kami masuk untuk melihat kamar yang dia maksud. Kami sendiri hanya butuh satu kamar sekedar untuk istirahat. Dalam kamar ada dua tempat tidur masing-masing bisa muat dua orang. Setelah berunding sebentar kami menyatakan setuju. Lalu kami serahkan uang panjar Rp 200.000. Sisanya dibayar besok. Sewa kamar satu malam Rp 150.000 sedang tarip satu kenderaan buat empat orang Rp 400.000. Sebelum pergi, dia berjanji akan datang menjemput pukul 04.00 dini hari nanti.

Udara malam di Ngadisari terasa dingin sekali. Jacket yang saya kenakan agaknya tidak mempan untuk menahan hawa dingin. Beberapa orang pedagang asongan datang ke hotel menjajakan jaket, kain tebal penutup kepala, syal, dan sarung tangan. Saya beli sebuah penutup kepala serta sepasang sarung tangan. Harga jadi seluruhnya tidak kurang dari Rp 25.000, itupun setelah terjadi tawar-menawar. Biasalah, namanya pedagang. Dengan  sedikit memelas dia bilang di bawah harga itu dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Hanya itu yang saya perlukan. Sweater dan syal telah saya siapkan dari rumah.

Setelah masuk kamar saya coba menyentuh air di wastafel. Auh, dinginnya bukan main! Terasa membekukan! Lantas kran air panas saya buka. Butuh waktu agak lama hingga  airnya keluar. Lalu saya membasuh wajah dan tangan. Habis itu mengenakan sweater serta berbagai atribut lainnya. Teman-teman juga melakukan hal serupa. Selesai lalu keluar untuk mencari kopi di kantin. Ternyata kantin sudah tutup, maklum sudah pukul 01.30 pagi. Kami diminta pria penjaga  hotel pergi ke warung kopi di seberang jalan.

Tiba disana tampak warung itu ditunggui oleh seorang nenek tua. Rupanya dia sudah sempat tertidur. Begitu mengetahui  kami datang dia lantas bangun. Kopi yang dia suguhkan ternyata kopi instan, bukan kopi hitam kesukaan saya. Kami cuma sebentar disana. Habis minum kopi  langsung balik ke hotel. Udara di luar amat dingin dan terasa badan saya menggigil. Walau begitu para penjaja barang tampak masih berkeliaran. Dua orang mengikuti kami sampai ke pintu. Setelah yakin kami tidak butuh apa-apa lagi, mereka pergi. Kami langsung tidur karena waktu tinggal 2 jam lagi sebelum berangkat.

Lagi enak mimpi, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu. Kulirik jam, ternyata sudah pukul 03.30. Kami diminta untuk berkemas karena pukul 04.00 tepat harus berangkat. Segera kami bangun lalu berbenah. Pakaian saya tambah menjadi tiga lapis, yakni kaos oblong, sweater, dan jacket. Sudah itu kami masuk mobil. Sebuah jeep Toyota Hardtop warna merah telah menunggu. Pengemudinya seorang Tengger. Saya duduk di jok depan  sebelah sopir sementara teman-teman mengambil tempat di jok belakang. Sebelum keluar dari perkampungan, kami harus melewati dua gardu penjaga. Pada setiap gardu sopir menghentikan mobil lalu melapor ke dalam.

Lewat perkampungan jalan mulai mendaki tajam. Lalu mulai menurun dan berliku-liku. Suasana sekeliling gelap, tidak terlihat apa-apa. Hanya bagian depan yang tersorot lampu mobil yang bisa dilihat. Tidak lama kemudian, kami tiba di jalan mendatar─tepatnya hamparan pasir. Tiba-tiba pemandangan di depan tampak serba putih tertutup kabut tebal. Jarak pandang ke depan tidak lebih dari 5 meter. Mobil terpaksa berjalan pelan karena kaca juga tertutup kabut. Sopir berusaha menyapu kaca dengan punggung telapak tangan namun tidak banyak membantu. Beruntung lintasan hanya sebuah dataran luas, jadi tidak perlu kuatir akan terperosok.

Setelah berjuang melewati kabut, jalan terasa mulai mendaki. Cuma anehnya semakin tinggi mendaki kabut juga berangsur hilang. Dalam keremangan pagi mulai terlihat  pepohonan, bukit maupun jurang. Kenderaan terus mendaki dan kadang menikung tajam.  Jalan amat sempit, hanya muat satu kenderaan. Kalau berpapasan, salah satu harus mengalah untuk menunggu. Disini kita hanya bisa yakin pada kehandalan dan pengalaman sopir saja. Begitu juga dengan kondisi mobil. Biarpun kelihatan tua, mobil ini masih kuat dan handal untuk mendaki. Hanya saja sebelum mendaki pada tanjakan curam, mobil harus berhenti dulu. Terlihat sopir mengambil ancang-ancang sambil ganti persnelling sebelum tancap gas.

Semakin lama pemandangan indah pegunungan mulai terlihat dalam keremangan pagi.  Tampak pula sorotan lampu kenderaan dari arah lain di kejauhan. Ternyata cahaya itu berasal dari barisan kenderaan yang mengambil jalur lain. Sesaat kemudian kami tiba di pemberhentian mobil. Tampak kenderaan lain sudah banyak yang tiba lebih dahulu. Beberapa mobil angkutan umum sekelas minibus juga terlihat  disana. Bahkan, Toyota Avanza juga ada. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa mobil sekelas ini melintasi jalan seperti yang kami lalui barusan. Ternyata mereka melintas dari jalur lain dimana tanjakan tidak begitu curam.

Turun dari mobil kami jalan kaki menuju pasenggarahan di puncak. Beberapa menara  telekomunikasi dan microwave terlihat berdiri disana. Anak tangga yang kami lalui cukup banyak untuk membuat napas ngosngosan. Tapi hitung-hitung tidak ada salahnya, anggap saja  olah raga pagi. Udara disana dingin seolah membekukan. Kucoba melepas sarung tangan, terasa dingin bukan main. Lalu cepat-cepat saya kenakan lagi. Terlihat cukup ramai orang berkunjung kesana. Tetapi sebagian besar adalah wisatawan manca daerah atau wisatawan lokal. Orang asing tidak begitu banyak. Hanya ada beberapa  turis orang Bule serta turis dengan wajah Asia seperti Jepang dan Korea.

Akhirnya kami tiba di puncak. Disana terdapat tempat duduk besi tanpa atap dibangun secara permanen. Letaknya di udara terbuka  sehingga cocok buat tempat istirahat sambil menikmati pemandangan. Disitu ada juga pendopo pakai atap. Kemungkinan dibuat untuk tempat berteduh apabila turun hujan. Tempat duduk ini sudah terisi penuh oleh para turis yang tiba lebih dulu. Pagar pembatas juga telah dipenuhi pengunjung yang ingin melihat matahari terbit. Kamera telah disiapkan, siap untuk mengabadikan momen langka saat mentari naik perlahan dari balik horizon. Tujuan utama sebagian besar pengunjung memang untuk mengamati momen ini. Terang saja kami tidak mau ketinggalan, ingin melihat apa sesungguhnya yang terjadi.

Kini posisi bagus untuk memandang dari dalam tidak ada lagi. Sia-sia kami mencari kesana kemari. Tempat-tempat strategis sudah dipadati pengunjung. Tak mau menyerah begitu saja kami segera keluar. Kini kami dapat tempat disamping pasenggrahan. Tidak ada tempat duduk, tetapi pandangan ke depan leluasa tak terhalang apapun. Dan apa yang terlihat disana membuat kami takjub. Sebuah panorama indah tampak terbentang di bawah sana. Sangat mempesona dan mengagumkan. Kami hanya bisa terdiam buat beberapa saat. Kini segalanya hening, tak ada suara berisik. Hanya bunyi serangga yang terdengar bersahutan. Memperdengarkan irama seolah melantunkan sebuah gita. Gita pujian bagi kebesaran Sang Pencipta. Ya, gita damai di puncak Bromo.

Gunung Batok dan Gunung Semeru

Dalam kegelapan terlihat jelas awan putih laksana salju menutupi hamparan luas bentuk persegi. Seolah terkurung oleh dinding terjal pada empat sisi—tak bisa beranjak kemana-mana, selain melayang keatas. Puncak Gunung Batok tampak kokoh menyembul dari balik awan. Warna kehitaman terlihat amat kontras dengan awan putih yang menyelubungi. Nun di balik Gunung Batok, tampak puncak Gunung Semeru memperlihatkan diri dari balik mega. Gunung tertinggi di bumi pertiwi ini terlihat menjulang ke atas seolah menggapai langit.

Matahari Terbit Dilihat dari Puncak Bromo

Tak lama warna merah kuning keemasan mulai muncul di balik horizon. Pertanda fajar akan menyingsing di ufuk Timur. Orang-orangpun mulai sibuk saling jepret sana-sini. Seorang wanita Bule datang menghampiri sambil membawa sebuah kamera. Lalu kusapa:

“Can I help you?”

“Excuse me. Would you please help me to take some pictures?” katanya sambil menyerahkan kamera.

“Sure. Of course I would,” jawab saya.

Agaknya wanita ini hanya datang seorang diri. Dia minta tolong untuk diambilkan foto. Saya tak keberatan lalu mulai membidik. Ternyata jari telunjuk saya kaku tak bisa menekan tombol akibat terbungkus sarung tangan tebal. Sarung tangan kanan kulepas, tapi huuuh…, dinginnya bukan kepalang. Tapi kupaksakan juga memoto hingga  dua kali, agar dia tidak kecewa. Dia tampaknya mengerti kondisi saya. Lalu mendekat meninggalkan posisi semula. Kuserahkan kameranya, lalu dia melihat hasilnya.

“How do you think?” tanya saya.

“Oh, nice. Thank you very much!” jawabnya. Kemudian dia berlalu.

Sarung tangan kupakai lagi lalu bergabung dengan teman-teman untuk foto. Gantian kami saling bidik dari berbagai posisi dan sudut pandang. Tak lupa saya ambil beberapa foto pemandangan alam sekitar. Suasana di puncak sudah mulai terang seiring naiknya matahari. Hawa mulai terasa sedikit hangat. Kini saya berani melepas sarung tangan agar lebih leluasa menekan tombol kamera. Tampak suasana di Pasenggerahan sudah mulai longgar. Kami cari tempat duduk kosong buat istirahat sejenak. Kini waktu kami gunakan  buat menikmati pemandangan sepuasnya karena kesempatan seperti ini amat langka.

Tempat Peristirahatan di Puncak Bromo

Satu persatu pengunjung kelihatan beranjak meninggalkan lokasi. Sebelum pergi, kami masih menyempatkan diri saling berfoto di lingkungan dalam  Pasenggarahan. Puas, lalu kami keluar. Kami mulai berjalan menuruni tangga. Ketika lewat, tampak beberapa penjual jagung bakar teriak-teriak menawarkan dagangannya. Saya ajak teman berhenti sebentar makan jagung. Tambahan perut mulai keroncongan karena belum masuk makanan sejak berangkat dini hari tadi. Cuma sebentar kami disini. Dari jauh sopir kelihatan sudah menunggu. Kini kami siap untuk berangkat menuju kawah Tengger. Suasana   sekitar terlihat sepi, ternyata banyak pengunjung sudah berangkat lebih dulu.

Bersambung ke Bagian 3

Hai Bes, Apa Kabar?

Besan—sebuah panggilan dalam hubungan kekerabatan di lingkungan warga Simalungun. Bila seorang laki-laki menikah, maka isteri dari saudara laki-laki isterinya secara otomatis akan menjadi besan. Demikian pula berlaku sebaliknya. Jika seorang wanita menikah, maka suami dari saudara perempuan sang suami akan dipanggil besan. Tetapi, apakah selalu harus persis seperti itu? Tidak juga. Cuma pada umumnya setiap isteri dari laki-laki yang semarga dengan isteri kita, meskipun dia bukan saudara kandung semestinya dipanggil besan.

Dalam tradisi Batak Simalungun, ada beberapa larangan yang sifatnya tabu dilakukan oleh  dua orang yang saling berbesan. Misalnya, mereka berdua secara kebetulan berada pada satu tempat dalam waktu yang sama. Selain mereka tidak ada orang lain disana. Dalam kondisi seperti ini, biasanya salah seorang dari mereka akan menyingkir secara halus. Tentu saja dia menyingkir bukan lantaran tidak suka bertemu, tetapi tradisi memang mengharuskan demikian. Bisa saja dia pergi pura-pura mau mengambil sesuatu, agar besannya tidak tersinggung ditinggal begitu saja.

Selain tabu berada berduaan pada satu tempat, waktu berbicarapun selalu fokus pada inti permasalahan tanpa perlu berpanjang-lebar.  Pokoknya, suasana benar-benar kaku, kikuk dan serba formal. Bagaimana jika seandainya terlihat mereka berdua sedang bercanda? Wah, perbuatan ini bisa  bikin heboh karena dianggap tabu dan terlarang. Kecuali kalau ada orang lain disana, tidak menjadi masalah. Biasanya suasana kaku akan sedikit mencair dengan kehadiran seseorang. Bahkan, sekalipun dia itu hanya seorang bayi.  Bayi ini bisa dimanfaatkan menjadi semacam perantara bila mereka berdua ingin saling berkomunikasi.

Hingga kini aturan kaku semacam ini masih bisa ditemukan diberbagai desa pedalaman Kabupaten Simalungun. Namun kebiasaan ini berangsur-angsur mulai  mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Kebiasaan lama yang dianggap merugikan mulai ditinggalkan. Misalnya, seorang wanita mengalami kecelakaan. Kebetulan tidak ada orang di sekitar itu selain besannya sendiri. Besan ini pasti diliputi keraguan untuk bertindak segera mengangkat dan membopong korban. Keraguan ini timbul karena  tradisi tidak membolehkan mereka berdua saling bersentuhan.

Tak dapat dipungkiri, situasi sekarang amat jauh berbeda dibanding sebelumnya. Terutama  bagi warga Simalungun yang sudah menjadi masyarakat perkotaan. Orang desa yang baru tiba di kota akan dibuat terpana dan terheran-heran melihat perilaku orang kota. Dua orang  saling berbesan mestinya selalu berusaha agar tidak melampaui batasan yang ada. Tetapi apa yang dia saksikan malah sebaliknya. Orang yang saling berbesan terlihat bersenda gurau selayaknya dua orang teman karib. Tidak terlihat lagi batasan atau norma yang harus dipatuhi sebagaimana berlaku di desa. Kebiasaan yang dianggap menghambat kemajuan tampak telah dibuang jauh-jauh. Para orang tua hanya bisa mengelus dada melihat tingkah polah para usia muda yang sudah melupakan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.

Tahun 1990-an penulis pernah bertemu dua orang saling berbesan dalam satu pesta perkawinan di Pematang Siantar. Wanita menyapa pria dengan cara gaul dan penuh percaya diri. “Hai Bes, sombong sekarang, ya! Dari mana saja selama ini, koq tidak kasih-kasih kabar. Mentang-mentang sudah punya posisi bagus sekarang jadi lupa, ya?” “Wah, sorry Bes!” jawab sang pria tak kalah gaul. “Bukan sombong. Selama ini saya berada di Jakarta  mengikuti Diklat. Baru minggu kemarin tiba disini. Wah, besan kelihatan makin cantik dan ceria saja!”

Dalam komunitas Batak, kita sering menemukan satu atau lebih perkumpulan arisan marga.  Pertemuan biasanya dilakukan sekali sebulan di rumah anggota secara bergiliran. Disamping arisan, juga untuk saling melepas rindu dan bernostalgia. Usai acara arisan kadang-kadang dilanjutkan dengan main kartu pakai taruhan uang kecil-kecilan.  Nilai taruhan paling besar hanya Rp 500. Taruhan dimaksudkan agar setiap orang bermain dengan serius dan tidak asal-asalan.

Nah, ini adalah pengalaman nyata dalam salah satu arisan marga. Sehabis acara arisan, kegiatan  dilanjutkan dengan permainan joker karo. Biasanya para pemain dipisah dalam  kelompok bapak dan kelompok ibu. Tetapi kali ini para pemain baik pria maupun wanita digabung karena kurang pemain. Duduk bebas dimana dia suka sehingga dua orang saling berbesanpun akhirnya harus duduk berdampingan.

Permainan diselingi tawa ria para pemain dan penonton terutama ibu-ibu. Namun, seorang ibu yang ikut main dari tadi tampak cemberut dan kebanyakan diam. Kebetulan di atasnya adalah besan sendiri. Lama-lama lelaki ini menjadi heran, lalu  bertanya, “Besan dari tadi koq diam saja, kurang sehat ya?” “Besan pelit kalipun. Buangannya satupun tak termakan dari tadi. Kasih dulu satu, Bes!” jawab si ibu sedikit memelas. Alamak! Gejala apa ini?

.

Surabaya, 2 Desember 2009

Oleh Farel M. Sinaga