Hari ini Minggu, 27 Desember 2009 pada siang hari di rumah. Cuaca di luar agak mendung. Telah 10 hari aku menikmati liburan Natal dan cukup puas berkumpul bersama keluarga. Libur Natal maupun Tahun Baru kali ini tidak kemana-mana, hanya sekitar Jabodetabek. Biasanya mudik sekeluarga—pulang kampung ke Sumatera Utara. Mengunjungi orangtua di Sarimatondang sambil menikmati indahnya kampung halaman.
Kebetulan Ibu—kini tinggal sendiri setelah Bapak meninggal dunia pada 2006—barusan datang Nopember lalu ke Jakarta untuk menghadiri acara wisuda cucunya Maria. Beliau memang selalu hadir pada acara serupa, juga terhadap cucu-cucu yang lain. Tapi kali ini tidak bisa berlama-lama disini. Harus segera pulang untuk keperluan mendesak. Cuma seminggu di Jakarta, namun cukup untuk melepas kerinduan setelah lama tidak bertemu.
Kini suasana santai selama menikmati hari libur sudah berakhir. Sore ini aku musti kembali ke Surabaya sebab cuti telah habis. Kurencanakan berangkat pukul 18.00 dengan kereta api (KA). Mudah-mudahan masih dapat tiket. Sebenarnya nekad juga tidak menyiapkan tiket jauh hari sebelumnya. Biasanya beli tiket pas waktu keberangkatan pada hari-hari libur amat berisiko. Pada hari biasa saja bisa kehabisan tiket, apalagi hari libur!
Aku hanya bisa berspekulasi dan tergantung pada nasib baik saja. Toh suasana libur Natal tidak seramai ketika suasana Lebaran. Logikanya, harapan mestinya masih ada. Bagaimana pula bila tempat duduk sudah habis? Ambil saja tiket tanpa tempat duduk, lalu siap-siap duduk di restorasi. Bagi saya, ini bukan masalah serius. Telah terbiasa mengalami hal seperti ini selama hampir 4 tahun bertugas di Surabaya.
Ketika akan berangkat, hujan turun lebat. Padahal Ari dari tadi sudah siap mau mengantar ke depan. Syukur, hujan tidak lama. Setelah menunggu sesaat kini hanya tinggal gerimis. Kamipun segera berangkat. Ketika itu jam menunjukkan pukul 15.30. Masih cukup banyak waktu hingga tiba di stasiun Gambir. Tiba di jalan raya, Ari segera kembali ke rumah. Aku sendiri menunggu angkutan umum jurusan UKI di Cawang.
Cukup lama aku berdiri disana, tetapi kenderaan yang ditunggu belum datang juga. Kalaupun ada selalu penuh, lalu lewat begitu saja. Aku mulai gelisah. Tiba-tiba sebuah taxi berhenti persis di depan saya Sopirnya menawarkan agar saya naik. Saya sempat bimbang sejenak, mau naik taxi saja atau menunggu lebih lama lagi? Gerimis belum berhenti sedang tas bawaan terasa makin berat. Lalu, tanpa pikir panjang lagi aku segera naik.
Suasana jalan raya hingga Plaza Cibubur tampak agak lengang. Bisanya ada kemacetan disini. Aku sempat mau bilang sopir, agar keluar dari pintu tol Cimanggis saja. Namun kubatalkan, setelah melihat situasi jalan tidak begitu ramai. Tetapi, apa yang terlihat di depan sana? Tepat pada jalan menurun, antrian kenderaan ternyata sudah panjang. Hanya bisa bergerak perlahan, kadang berhenti sama sekali. Sesaat kemudian, kamipun ikut terperangkap di dalamnya.
Kini mulai timbul sedikit penyesalan. Tadi, kenapa tidak lewat Cimanggis saja? Mau putar balik agaknya sudah terlambat, karena putaran di persimpangan Kranggan sudah pasti ditutup. Tidak bisa belok ke kanan arah ke Cimanggis. Kalau mau putar balik, harus turun lebih jauh lagi ke bawah hingga putaran depan Cibubur Times Square. Tampaknya pilihan inipun tidak membantu karena arus kenderaan disanapun sudah pasti tersendat.
Aku hanya bisa pasrah dan mulai pesimis KA pukul 18.00 masih bisa terkejar. Perjalanan masih panjang sedang lalu lintas hanya bisa merayap seperti siput. Celakanya, sopir tampak mulai mengantuk! Kelihatan dia mulai dihinggapi rasa bosan dan letih. Ketika mobil di depan sudah jalan, dia masih berhenti. Agaknya terlelap. Begitu suara klakson terdengar bertalu-talu dari belakang, baru dia jalan. Peristiwa ini sempat terulang sampai 3 kali.
Perasaan saya mulai panik, resah, dan jadi serba salah. Waktu terus berjalan, sementara arus kenderaan tampak seperti jalan di tempat. Aku mulai uring-uringan. Melihat jarum jam terus berputar dan waktu kini semakin kritis. Juga melihat kondisi sopir yang mengantuk. Sialnya argometer jalan terus meskipun mobil berhenti. Mobil baru berjalan sekitar 2 km tetapi argometer sudah menunjukkan angka diatas dua puluh ribuan.
Tengah saya melamun, tiba-tiba “Bukk!” terdengar bunyi tumbukan keras. Aku sempat terguncang di jok belakang. Ternyata mobil yang kutumpangi telah menabrak mobil di depan. Kuperhatikan, pintu belakang mobil yang tertabrak penyok cukup parah. Begitu terjadi tabrakan, rasa kantuk sang sopir kelihatan mendadak hilang. Dia kaget bukan main. Tapi, mau bagaimana lagi? Segalanya telah terjadi, tak guna disesali!
Tak lama kemudian, pengemudi mobil korban turun. Sejurus dia memperhatikan bekas-bekas tumbukan, lalu mendatangi sopir taxi. Sang sopir yang lagi bengong hanya bisa memberi isyarat, agar menepi saja dulu. Takut kalau membuat kemacetan semakin parah. Peristiwa itu terjadi di bagian tengah jalur jalan sehingga untuk menepi sajapun terasa amat sulit. Tambahan lagi mobil yang menepi bukan cuma 1, tetapi 2 sekaligus.
Tiba di pinggir jalan, sopir turun lalu mereka mulai terlibat dialog. Aku memilih diam saja dalam mobil, tidak mau mencampuri. Cukup lama mereka saling adu argumentasi. Tapi, sopir taxi tampak banyak mengalah. Rupanya sadar, bahwa dia yang salah. Korban menuntut agar ganti rugi dibayar saat itu juga. Tetapi sopir taxi bilang tidak punya uang. Dia memberi alasan baru saja turun. Sambil menunjuk ke arah saya, dia bilang aku penumpang pertama sore itu.
Eh, nanti dulu! Taxi sudah menepi tapi argometer koq masih jalan? Bah, tak benar lagi ini! Kuputuskan untuk keluar mau mencari kenderaan lain. Rupanya sopir taxi telah datang lebih dahulu dan minta agar aku pindah kenderaan saja. Rupanya mereka hendak ke pool bersama korban karena solusi menemui jalan buntu. Korban bersikeras urusan selesai sore ini juga. Dia takut dipersulit, apabila datang sendiri ke pool sesuai permintan sopir taxi.
Lalu aku keluar setelah membayar tarip argometer Rp 25.000. Harga yang terlalu mahal untuk sebuah jarak tempuh yang tidak setara. Sopir menawarkan untuk mencarikan taxi pengganti, tapi kutolak. Lebih baik aku naik angkot saja, karena pintu tol sudah dekat. Nanti di depan BJ Junction aku bisa turun, lalu mengambil kenderaan lain jurusan Cawang. Yang paling utama, aku bisa terlepas dulu dari kemacetan ini.
Menjelang masuk tol Jagorawi, aku ganti kenderaan. Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul 17.00 tepat. Situasi di jalan tol lancar meskipun kenderaan agak ramai. Tidak sampai terjadi kemacetan yang menyebabkan kenderaan harus berhenti. Tidak berapa lama kemudian, kenderaan tiba di Cawang. Lalu saya turun dekat jembatan penyeberangan persis di depan UKI. Kini waktu hanya tersisa 35 menit menuju pukul 18.00.
Begitu turun aku langsung berhitung. Dengan sisa waktu 35 menit, pasti tak terkejar bila naik Busway. Begitu pula dengan taxi. Sarana paling cepat agaknya hanya ojek. Seorang pengojek kutanya apakah bisa sampai di Gambir dalam waktu 15 menit. Ternyata dia jawab bisa. Setelah sepakat soal harga, kamipun berangkat. Dari Cawang langsung melaju arah Otista terus lurus ke Kramat. Di Senen naik jalan layang lalu belok dari samping Atrium terus ke Pejambon.
Dan benar, pukul 17.40 kami telah tiba di stasiun Gambir. Terus terang, tadi sempat juga merasa deg-degan selama dalam perjalanan. Kuatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Selesai membayar ojek sambil mengucapkan terima kasih, aku buru-buru ke loket. Kebetulan tidak ada antrian pembeli disana. Puji Tuhan, tiket KA tujuan Surabaya untuk keberangkatan jam 18.00 ternyata masih ada. Begitu dapat tiket, aku langsung naik ke ruang tunggu.
Tepat pukul 18.00 KA berangkat. Kini lega sudah, beban yang terasa menghimpit telah sirna. Masih terbayang jelas saat-saat dilanda rasa panik ketika terperangkap dalam kemacetan. Dan sopir taxi yang malang, masih nekad menyetir kendati sudah mengantuk berat. Mestinya terus terang saja bilang sudah mengantuk, butuh istirahat. Tak terbayangkan, jika peristiwa tadi terjadi saat melintas di jalan tol. Atau, boleh jadi ada semacam blessing in disguise atau rahmat tersembunyi di balik peristiwa ini? Hanya Tuhan yang tahu.
.
Surabaya, 4 Januari 2010 – Oleh Farel M. Sinaga